Kini, Nadia duduk bersisian dengan Tania di taman kota. "Saya yakin kamu sudah mendengar atau bahkan melihat sendiri berita tentang Abimana." Tatapan lirih Tania selaras dengan kalimatnya."Saya baru saja mendengarnya dari Amira. Apa itu ulah Anda?" selidik Nadia penuh kecurigaan."Iya, saya yang membuat berita itu!" aku Tania dengan tegas."Apa alasannya? Kan kasihan Abi, sepertinya dia frustrasi, pantas saja sering pulang malam," ocehan kecil Nadia dengan volume terjaga hingga membuat Tania tersenyum getir."Apa kamu tidak cemburu mendengar berita itu?""Mana mungkin sih Abimana menghamili, siapa yang dia hamili?" Santai Nadia yang tampak tidak peduli karena selama ini yang dilihatnya dari Abimana adalah pria dingin walau dia memang mesum, tapi rasanya Abimana tidak akan melakukan hal kotor seperti itu. Dia pernah melihat tangan suaminya sedikit gemetar kala menyentuh bagian sensitif di tubuhnya."Saya yang Abi hamili!" tegas Tania dengan tatapan sengit ke arah Nadia yang selalu dia
Abimana terpaku sesaat seiring menatap sendu ke arah Nadia. "Jadi kamu tidak percaya pada saya?""Bagaimana saya bisa percaya sama kamu, karena semua yang dikatakan Tania masuk akal dan sekarang kamu menjadi pria yang berbeda, sangat jelas kalau kamu sedang berusaha membujuk saya supaya memercayai kamu." Tatapan dingin nan penuh selidik Nadia."Saya mohon, percayalah, saya tidak menghamili Tania, bahkan menyentuhnya saja tidak pernah!" Abimana mulai menekan kalimatnya. Namun, alih-alih mendapatkan sambutan positif justru Nadia terkesan sangat dingin seiring membaringkan tubuhnya."Saya mau tidur, besok saya harus kuliah, saya tidak mau membolos lagi." Tubuh indah Nadia sudah memunggungi Abimana bersama tatapan campur aduk. Bingung dan sedih bercampur, entah siapa yang harus didengarkan, Abimana atau Tania? Andai benar Abimana menghamili mantan kekasihnya itu. Maka hati Nadia sangat hancur, pria itu sukses menghancurkan masa depannya.Ingin sekali memeluk Nadia atau hanya sekedar menga
Nadia keluar dari toilet, segera dirinya menemui Amira yang menunggu di depan. "Kamu tahu tidak rumah Pak Kafka atau mungkin Pak Kafka pindah mengajar?""Mana saya tahu. Lagian kenapa mencari Pak Kafka, ada tugas yang belum selesai? Kan bisa diberikan ke dosen yang lain," kelakar Amira dengan tawa anggun."Tidak, ada perlu saja. Iya sudah deh, saya tanya saja ke bagian informasi siapa tahu memberikan nomornya Pak Kafka.""Jangan harap deh, kampus kita ini ketat kalau soal informasi sensitif begitu.""Terus, bagaimana saya menemukan Pak kafka?""Kalau tidak salah ada akun media sosialnya deh." Amira segera membuka salah satu aplikasi, kemudian menunjukan akun milik si dosen ganteng yang tidak memposting apapun setelah resign.Nadia segera memeriksa lewat handphonenya. "Terakhir aktifnya lumayan lama, tapi semoga saja masih dipakai."Amira mulai menyelidik, "Ada urusan apa sih sama Pak Kafka, sepertinya penting sekali. Apa ada hubungannya sama Tania juga?" Tatapannya menantikan jawaban
Hari berganti, Nadia kembali ke kampus diantar Abimana dengan keadaan masih seperti kemarin, tidak banyak hal yang mereka bicarakan, justru terkesan sangat jarang berututur sapa. Namun, saat Abimana telah berlalu gadis ini segera meninggalkan kampus guna menemui Kafka di hotel yang telah dijanjikan, tepatnya di perbatasan kota. "Hotel ini sangat jauh dari rumah dan kampus, memangnya sekarang Pak Kafka bertugas di mana?" gumamnya saat menaiki taxi online yang akan membawanya langsung ke tujuan.Amira memanggil lewat saluran di udara. "Kamu mau kemana? Tadi saya melihat kamu naik taxi.""Ada yang tertinggal, tapi kalau misalnya saya tidak kuliah jangan menunggu ya, karena badan saya juga sedang kurang sehat," alasan Nadia supaya masalah rumah tangganya tidak tercium oleh Amira.Sekitar satu jam setengah perjalanan, akhirnya hotel yang jadi tujuan Nadia sudah dipijak. Gadis ini celingak-celinguk mencari keberadaan Kafka, tapi pria itu yang menemukannya. "Selamat pagi, saya pikir kamu tid
Nadia segera berpamitan setelah mendapatkan informasi dari Kafka, dirinya tidak ingin berlama-lama lagi di tempat ini apalagi mendengar segala hal tentang Tania. "Pak, saya pulang dulu.""Mau saya antar? Tapi paling hanya satengah jalan karena saya tidak ingin bertemu dengan Abimana atau Tania.""Tidak usah pak, Nadia bisa pulang sendiri." Gadis ini sudah meninggalkan duduknya, kemudian disusul Kafka. Segera, Nadia mengangguk kecil sebagai tanda hormat kepada tenaga pengajar, "kalau begitu saya permisi.""Biar saya antar sampai kamu naik taxi." Dengan cekatan kafka menggiring Nadia ke tempat yang lebih straregis hingga Nadia masuk ke dalam taxi. "Kasihan sekali padahal kamu masih sangat muda."Di balik kekhawatiran Kafka, justru Nadia tidak memikirkannya sama sekali karena pikirannya sedang dipenuhi oleh Tania dan Abimana. "Kenapa kalian sangat jahat? Dan kenapa papa harus meminta Nadia menikah dengan Abi?" raungnya seiring terisak, "Pak Wira memang baik dan menyetujui perjodohan anak
“Kenapa berani sekali kamu kesini, padahal saya tidak ingin melihat kamu!” ketus Nadia, “hidup saya hancur karena ternyata kamu menikahi saya untuk menghindari tanggung jawab pada Tania!” Suaranya sedikit meraung.“Saya tidak pernah bermaksud seperti itu,” sendu Abimana, “tapi saya tidak akan memaksa kamu percaya karena saya harus menunjukan bukti pada kamu, saya mengerti.”“Sekarang pulang saja, saya tidak ingin melihat kamu.” Nadia segera memunggungi Abimana hendak meninggalkannya, tetapi Abimana menahan tangan kiri si gadis.“Masih banyak yang ingin saya bicarakan.”“Saya tidak mau mendengarnya.” Nadia mulai melepaskan cengkeraman tangan Abimana, kemudian pergi hingga Saraswati harus menemui Abimana.“Nak Abimana, nenek minta maaf, nenek sudah menasihati Nadia, tapi mungkin Nadia belum bisa percaya pada Nak Abi, tapi tolong Nak Abi jangan marah.” Bagaimanapun juga Saraswati tidak ingin cucunya salah langkah maka dirinya harus melihat dari kedua sisi, wanita tua ini bertanya lembut,
Esoknya Abimana kembali menemui Tania. “Saya tahu kamu inginkan saya, tapi jangan dengan cara menyakiti Nadia!”“Apa maksud kamu? Jangan bicara tidak jelas.” Tania akan berakting seperti biasanya.“Kapan kamu akan berhenti seperti ini?” Abimana memandangi Tania dengan dingin dan seribu heran karena ternyata mantan pacarnya bisa bertindak sejauh ini.“Saya tidak akan pernah berhenti selama kamu belum menjadi milik saya.” Tania menunjukan tekadnya di balik sendu.“Saya tidak bisa,” tegas Abimana dengan suara biasa saja.“Kalau begitu saya tidak akan berhenti!” Tatapan Tania menunjukan obsesi kuat.Abimana tidak akan pernah bisa membujuk Tania, pria ini menyadarinya. Embusan udara jengah menyatu bersama udara. “Terserah kamu, saya lelah dengan semua sikap kamu, tapi jangan salahkan saya kalau papa bertindak hingga menghancurkan hidup kamu.”“Kenapa kalian begitu egois!” Tania menaikan volume suaranya.“Bagaimana kami bisa sabar saat menghadapi kamu yang sangat egois!” Abimana menatap ber
Nadia sudah bertemu Kafka di tempat yang dijanjikan, kemudian gadis ini pergi bersama pria yang tidak begitu dikenalinya. “Pak, kita akan bicara di mana?” Mobil sedang melaju dengan kecepatan normal menyusuri arah luar kota.“Ke tempat yang tidak akan ditemukan Abimana dan Tania.” Santai Kafka bersama senyuman teduh.“Tapi ... Nadia pikir tidak perlu jauh-jauh karena Nadia meninggalkan nenek di rumah,” pintanya tanpa berbasa-basi.“Baiklah, kita ke tempat dekat saja, di perbatasan kota.” Masih santai Kafka dengan senyuman teduh yang tidak pernah pudar.Nadia menarik udara tipis. “Pak, kalau misalnya Nadia bertanya sekali lagi apa bapak akan menjawab jujur?”“Tentu, tanyakan apa saja bapak akan menjawab jujur.” Lirikan teduh Kafka bersama senyuman indah sebagai pengiringnya.“Nadia ....” Kafka memotong maka Nadia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.“Kita bicara di tempat nyaman saja kalau di mobil saya tidak bisa bicara banyak apalagi menyangkut hal penting, saya sering tidak fokus,”