Seharian ini Nadia berdiam diri di dalam kamar hotel hingga bel berbunyi. Gadis ini segera mengintip lewat kaca kecil di pintu. "Pak Kafka mau apa?" Bukan curiga, hanya saja Kafka sudah mengajaknya pergi maka Nadia pikir pria itu akan kembali mengatakan hal yang sama.Bunyi bel kedua sudah terngiang hingga Nadia membuka pintu. "Eh bapak, ada apa?""Saya mau mengajak makan di bawah, kasihan cacing di perut kamu." Wajah teduh Kafka."Eu-tidak usah pak," tolak Nadia karena tidak enak hati."Tidak apa, saya tidak bisa membiarkan kamu kelaparan," tulus Kafka, "oh iya, kamu tidak perlu memanggil saya dengan sebutan bapak, kakak saja atau apapun itu asalkan jangan terlalu formal.""Tapi Nadia tidak biasa kalau tidak memanggil bapak," jujurnya sedikit canggung."Kalau begitu mulai sekarang panggil kakak saja." Kafka sudah menyodorkan telapak tangannya seperti yang sudah-sudah. Namun, Nadia hanya memandangi sering menghenbus napas tipis karena sebenarnya dirinya diambang iya dan tidak ketika h
Malam ini Nadia tidur di kamar hotel. "Iya ampun ..., nenek sudah telepon dua puluh dua kali!" Gadis ini sangat merasa bersalah pada satu-satunya wanita yang selalu menemani dalam suka dan duka. Jadi, dia memutuskan untuk menghubungi. "Nenek ..., maaf Nadia tidak pulang, pasti nenek sendiri di rumah.""Kamu di mana ..., tolong jangan buat nenek khawatir ...," lirih Sarswati."Maaf ya, nek. Nadia belum siap pulang," rintih Nadia."Pulang sayang, nenek sangat khawatir," mohon saraswati disertai raungan."Maaf ...." Nadia menangis, "Nadia minta maaf karena tidak berbakti pada nenek ...." Suaranya meraung-raung."Sayang, katakan pada nenek, Nadia kenapa?" Saraswati menangkap kejanggalan karena Nadia menangis. Cucunya tidak akan menangis jika pergi sesuai keinginannya."Nadia tidak kenapa-napa." Isak tangis mulai mengudara."Katakan saja pada nenek supaya nenek tidak khawatir." Suara membatin Saraswati ketika dirinya sedang terbaring sendiri membayangkan wajah cucunya."Nenek ... Nadia kan
Tania sudah berada di dalam area kampus, wanita itu kembali melambaikan tangannya ke arah Nadia yang masih berjalan cukup jauh. Namun, kali ini langkah Tania menghampiri."Saya tidak mau bertemu Tania!" panik Nadia mengadu pada Devan."Iya sudah jalan cepat!" ajak grasah-grusuh Devan senada dengan langkahnya hingga Nadia mensejajarkan intensitas kakinya."Apa dia mengejar?" Masih panik Nadia seiring langkah.Devan melirik singkat ke arah belakang. "Dia masih berjalan, tapi sangat pelan mungkin karena heelsnya. Wkwk. Sudahlah kita sembunyi saja dulu di perpustakaan, tempat itu sulit ditemukan." Segera, Devan mengajak Nadia berbelok ke arah lain.Di belakang mereka, Tania semakin tertinggal jauh. "Menyebalkan sekali anak itu, dan siapa laki-laki di sisinya? Mereka sangat menempel!" Seringai jahat mengembang, kemudian malanjutkan langkah pendeknya seiring merogoh handphone kamudian mengambil gambar Nadia dan laki-laki di sisinya. "Untung saya pakai handphone sultan, kameranya sangat memu
Selesai kuliah Nadia segera pulang ke rumahnya, dia mengadu pada Saraswati, "Tadi ada berita miring tentang Nadia.""Berita apa, sayang?" Saraswati segera menyuguhkan segelas air putih."Artikel mengatakan kalau Nadia berselingkuh, tapi untung saja wajah Nadia tidak terlihat.""Kalau berita miring itu tidak benar, kan bisa saja berita miring pada Abimana juga tidak benar.""Heuh!" Nadia bergeming karena segera merenung, "i-ya sih, tapi Nadia bertanya langsung pada sumbernya.""Siapa, Abi?" Santai Saraswati supaya cucunya tidak tegang."Iya, termasuk Abi." Tatapan sendu Nadia karena isi kepalanya semakin berputar."Abi bilang berita miringnya tidak benar, kan. Mengapa Nadia tidak memercayai Abi?""Susah nek ..., kalau berita perselingkuhan Nadia sih masih mending, tapi kan kalau Abi beda lagi, Abi diberitakan menghamili wanita lain sebelum menikahi Nadia." Wajahnya dilipat."Iya sudah ..., pasti Abi tidak akan tinggal diam, kamu tunggu saja kabar baik dari Abi jika tidak mau bertemu de
Riana keluar dari toilet dengan santai kemudian segera masuk ke dalam fantri untuk membuatkan minuman dingin pesanan Abimana-pria yang sekarang menghuni hatinya walau pemikirannya masih samar menilai kesana. Diraihnya sebuah sirup rasa buah sekaligus mengiris buah-buahan yang tersedia di dalam kulkas. Gedung ini bertema Family maka sebisa mungkin kekeluargaan harus terbentuk termasuk unsur di dalamnya seperti isi dapur.Sirup dan irisan buah sudah menghuni gelas dengan model biasa saja karena gelas antik hanya diperuntukan di ruangan pertemuan, rapat bersama team atau bersama kolega. Batu es mulai jatuh ke dalam tempat transparans itu bersamaan dengan ingatan Riana pada Abimana. "Kalau Tania saja bisa menjerat Abi, bukan mustahil saya juga bisa, apalagi sepertinya Abimana memang menyukai wanita matang dengan tubuh propesional bukan anak kuliahan seperti istrinya. Ini sangat masuk kepada saya, saya hanya tinggal menambahkan beberapa sikap dewasa maka ... menjadi istri Abimana bukan hal
Nadia masih berada dalam dekapan Abima hingga pria itu menggiringnya masuk serta mengunci balkon. "Bagaimana apa masih berani tidur sendiri?" Seringai genit Abimana kala menatap Nadia yang sudah melepaskan diri."Tidak mau ..., petirnya besar sekali, saya tidak pernah mendengar petir sekeras itu." Nadia tampak menggigil ketakutan."Terdengar sangat keras karena kamu sedang berada di luar, sekaligus di lantai atas," jelas santai Abimana masih dengan seringai genit, kemudian menatap rindu ke arah Nadia, tapi terlalu gengsi untuk mengaku."Saya mau tidur, jangan ganggu saya." Nadia segera menggulung tubuhnya di atas ranjang. Segera, Abimana menyusul ke atas ranjang walau tidak mendapatkan selimut karena Nadia memakainya sendiri saja, pria ini memandangi istrinya yang sangat cantik, tetapi sangat kekanak-kanakan."Ada apa? Jangan memandang saya begitu!" ketus Nadia kemudian memunggungi Abimana. Pria ini hanya tetap memandangi tanpa berkata apapun hingga Nadia terlelap."Kamu sangat mencur
Nadia menyuruh sopir membawanya ke rumah lama walau sebenarnya dirinya tidak terlalu penting berkunjung kemari, tapi Nadia harus berjaga-jaga karena bisa saja Mila bertanya pada sopir atau bahkan Abimana. "Pak, tunggu sebentar ya.""Siap, neng." Santun sopir yang menunggu di teras rumah, sedangkan Nadia segera masuk ke dalam rumah, segera berdiam diri di dalam kamarnya."Pernikahan menyebalkan ini membuat saya harus terlibat dalam kasus yang sebenarnya bukan bagian dari hidup saya, tapi karena menikah dengan Abi jadi saya dibawa-bawa!" Internet segera dibuka, tidak ada berita apapun tentang dirinya, tapi hatinya tetap tidak tenang. "Apa Tania akan mencari saya lagi?" Gadis ini bergeming sesaat. "Eh!"Nadia baru saja teringat pada Kafka. "Ngomong-ngomong, waktu itu Pak Kafka mencari saya tidak ya? Tapi Pak Kafka tidak menghubungi lagi." Layar handphone segera digeser hingga tiba di nomor pria itu, "tapi mau apa Nadia menghubungi?" Embusan udara tipis dibuang, "biarkan saja deh."Nadia
Kecupan hangat bibir Abimana mendarat di permukaan bibir lembut Nadia tanpa ijin empunya. Sentuhan itu terasa sangat menyejukan pria ini hingga memandangi si gadis dengan makna dalam, tapi lain halnya dengan Nadia, gadis ini menggerutu, "Apa yang ka,u lakukan!""Mencium bibir kamu, sudah beberapa hari kita terpisah, saya baru saja bisa mencium kamu, tindakan saya ini wajar saja." Santai Abimana seiring mengelus permukaan bibir Nadia walau gadis ini sedikit menggeser wajahnya supaya terlepas dari jangkauan Abimana, tapi tetap saja pria itu dapat meraihnya.Kini Abimana kembali mendekatkan bibirnya dengan bibir Nadia, mempertemukan keduanya dengan sensual maka bibir di gadis dilumat menggunakan hasrat pria normal. Nadia ingin melepaskan diri, tapi punggungnya sudah ditahan Abimana hingga dirinya tidak mmapu kemanapun. Abimana menjeda sesaat lumatan bibirnya setelah beberapa lam bersentuhan. "Diamlah honey, jangan banyak bergerak," bisik sensualnya.Abimana semakin menekan penyatuan bibi