Nadia segera berpamitan setelah mendapatkan informasi dari Kafka, dirinya tidak ingin berlama-lama lagi di tempat ini apalagi mendengar segala hal tentang Tania. "Pak, saya pulang dulu.""Mau saya antar? Tapi paling hanya satengah jalan karena saya tidak ingin bertemu dengan Abimana atau Tania.""Tidak usah pak, Nadia bisa pulang sendiri." Gadis ini sudah meninggalkan duduknya, kemudian disusul Kafka. Segera, Nadia mengangguk kecil sebagai tanda hormat kepada tenaga pengajar, "kalau begitu saya permisi.""Biar saya antar sampai kamu naik taxi." Dengan cekatan kafka menggiring Nadia ke tempat yang lebih straregis hingga Nadia masuk ke dalam taxi. "Kasihan sekali padahal kamu masih sangat muda."Di balik kekhawatiran Kafka, justru Nadia tidak memikirkannya sama sekali karena pikirannya sedang dipenuhi oleh Tania dan Abimana. "Kenapa kalian sangat jahat? Dan kenapa papa harus meminta Nadia menikah dengan Abi?" raungnya seiring terisak, "Pak Wira memang baik dan menyetujui perjodohan anak
“Kenapa berani sekali kamu kesini, padahal saya tidak ingin melihat kamu!” ketus Nadia, “hidup saya hancur karena ternyata kamu menikahi saya untuk menghindari tanggung jawab pada Tania!” Suaranya sedikit meraung.“Saya tidak pernah bermaksud seperti itu,” sendu Abimana, “tapi saya tidak akan memaksa kamu percaya karena saya harus menunjukan bukti pada kamu, saya mengerti.”“Sekarang pulang saja, saya tidak ingin melihat kamu.” Nadia segera memunggungi Abimana hendak meninggalkannya, tetapi Abimana menahan tangan kiri si gadis.“Masih banyak yang ingin saya bicarakan.”“Saya tidak mau mendengarnya.” Nadia mulai melepaskan cengkeraman tangan Abimana, kemudian pergi hingga Saraswati harus menemui Abimana.“Nak Abimana, nenek minta maaf, nenek sudah menasihati Nadia, tapi mungkin Nadia belum bisa percaya pada Nak Abi, tapi tolong Nak Abi jangan marah.” Bagaimanapun juga Saraswati tidak ingin cucunya salah langkah maka dirinya harus melihat dari kedua sisi, wanita tua ini bertanya lembut,
Esoknya Abimana kembali menemui Tania. “Saya tahu kamu inginkan saya, tapi jangan dengan cara menyakiti Nadia!”“Apa maksud kamu? Jangan bicara tidak jelas.” Tania akan berakting seperti biasanya.“Kapan kamu akan berhenti seperti ini?” Abimana memandangi Tania dengan dingin dan seribu heran karena ternyata mantan pacarnya bisa bertindak sejauh ini.“Saya tidak akan pernah berhenti selama kamu belum menjadi milik saya.” Tania menunjukan tekadnya di balik sendu.“Saya tidak bisa,” tegas Abimana dengan suara biasa saja.“Kalau begitu saya tidak akan berhenti!” Tatapan Tania menunjukan obsesi kuat.Abimana tidak akan pernah bisa membujuk Tania, pria ini menyadarinya. Embusan udara jengah menyatu bersama udara. “Terserah kamu, saya lelah dengan semua sikap kamu, tapi jangan salahkan saya kalau papa bertindak hingga menghancurkan hidup kamu.”“Kenapa kalian begitu egois!” Tania menaikan volume suaranya.“Bagaimana kami bisa sabar saat menghadapi kamu yang sangat egois!” Abimana menatap ber
Nadia sudah bertemu Kafka di tempat yang dijanjikan, kemudian gadis ini pergi bersama pria yang tidak begitu dikenalinya. “Pak, kita akan bicara di mana?” Mobil sedang melaju dengan kecepatan normal menyusuri arah luar kota.“Ke tempat yang tidak akan ditemukan Abimana dan Tania.” Santai Kafka bersama senyuman teduh.“Tapi ... Nadia pikir tidak perlu jauh-jauh karena Nadia meninggalkan nenek di rumah,” pintanya tanpa berbasa-basi.“Baiklah, kita ke tempat dekat saja, di perbatasan kota.” Masih santai Kafka dengan senyuman teduh yang tidak pernah pudar.Nadia menarik udara tipis. “Pak, kalau misalnya Nadia bertanya sekali lagi apa bapak akan menjawab jujur?”“Tentu, tanyakan apa saja bapak akan menjawab jujur.” Lirikan teduh Kafka bersama senyuman indah sebagai pengiringnya.“Nadia ....” Kafka memotong maka Nadia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.“Kita bicara di tempat nyaman saja kalau di mobil saya tidak bisa bicara banyak apalagi menyangkut hal penting, saya sering tidak fokus,”
Seharian ini Nadia berdiam diri di dalam kamar hotel hingga bel berbunyi. Gadis ini segera mengintip lewat kaca kecil di pintu. "Pak Kafka mau apa?" Bukan curiga, hanya saja Kafka sudah mengajaknya pergi maka Nadia pikir pria itu akan kembali mengatakan hal yang sama.Bunyi bel kedua sudah terngiang hingga Nadia membuka pintu. "Eh bapak, ada apa?""Saya mau mengajak makan di bawah, kasihan cacing di perut kamu." Wajah teduh Kafka."Eu-tidak usah pak," tolak Nadia karena tidak enak hati."Tidak apa, saya tidak bisa membiarkan kamu kelaparan," tulus Kafka, "oh iya, kamu tidak perlu memanggil saya dengan sebutan bapak, kakak saja atau apapun itu asalkan jangan terlalu formal.""Tapi Nadia tidak biasa kalau tidak memanggil bapak," jujurnya sedikit canggung."Kalau begitu mulai sekarang panggil kakak saja." Kafka sudah menyodorkan telapak tangannya seperti yang sudah-sudah. Namun, Nadia hanya memandangi sering menghenbus napas tipis karena sebenarnya dirinya diambang iya dan tidak ketika h
Malam ini Nadia tidur di kamar hotel. "Iya ampun ..., nenek sudah telepon dua puluh dua kali!" Gadis ini sangat merasa bersalah pada satu-satunya wanita yang selalu menemani dalam suka dan duka. Jadi, dia memutuskan untuk menghubungi. "Nenek ..., maaf Nadia tidak pulang, pasti nenek sendiri di rumah.""Kamu di mana ..., tolong jangan buat nenek khawatir ...," lirih Sarswati."Maaf ya, nek. Nadia belum siap pulang," rintih Nadia."Pulang sayang, nenek sangat khawatir," mohon saraswati disertai raungan."Maaf ...." Nadia menangis, "Nadia minta maaf karena tidak berbakti pada nenek ...." Suaranya meraung-raung."Sayang, katakan pada nenek, Nadia kenapa?" Saraswati menangkap kejanggalan karena Nadia menangis. Cucunya tidak akan menangis jika pergi sesuai keinginannya."Nadia tidak kenapa-napa." Isak tangis mulai mengudara."Katakan saja pada nenek supaya nenek tidak khawatir." Suara membatin Saraswati ketika dirinya sedang terbaring sendiri membayangkan wajah cucunya."Nenek ... Nadia kan
Tania sudah berada di dalam area kampus, wanita itu kembali melambaikan tangannya ke arah Nadia yang masih berjalan cukup jauh. Namun, kali ini langkah Tania menghampiri."Saya tidak mau bertemu Tania!" panik Nadia mengadu pada Devan."Iya sudah jalan cepat!" ajak grasah-grusuh Devan senada dengan langkahnya hingga Nadia mensejajarkan intensitas kakinya."Apa dia mengejar?" Masih panik Nadia seiring langkah.Devan melirik singkat ke arah belakang. "Dia masih berjalan, tapi sangat pelan mungkin karena heelsnya. Wkwk. Sudahlah kita sembunyi saja dulu di perpustakaan, tempat itu sulit ditemukan." Segera, Devan mengajak Nadia berbelok ke arah lain.Di belakang mereka, Tania semakin tertinggal jauh. "Menyebalkan sekali anak itu, dan siapa laki-laki di sisinya? Mereka sangat menempel!" Seringai jahat mengembang, kemudian malanjutkan langkah pendeknya seiring merogoh handphone kamudian mengambil gambar Nadia dan laki-laki di sisinya. "Untung saya pakai handphone sultan, kameranya sangat memu
Selesai kuliah Nadia segera pulang ke rumahnya, dia mengadu pada Saraswati, "Tadi ada berita miring tentang Nadia.""Berita apa, sayang?" Saraswati segera menyuguhkan segelas air putih."Artikel mengatakan kalau Nadia berselingkuh, tapi untung saja wajah Nadia tidak terlihat.""Kalau berita miring itu tidak benar, kan bisa saja berita miring pada Abimana juga tidak benar.""Heuh!" Nadia bergeming karena segera merenung, "i-ya sih, tapi Nadia bertanya langsung pada sumbernya.""Siapa, Abi?" Santai Saraswati supaya cucunya tidak tegang."Iya, termasuk Abi." Tatapan sendu Nadia karena isi kepalanya semakin berputar."Abi bilang berita miringnya tidak benar, kan. Mengapa Nadia tidak memercayai Abi?""Susah nek ..., kalau berita perselingkuhan Nadia sih masih mending, tapi kan kalau Abi beda lagi, Abi diberitakan menghamili wanita lain sebelum menikahi Nadia." Wajahnya dilipat."Iya sudah ..., pasti Abi tidak akan tinggal diam, kamu tunggu saja kabar baik dari Abi jika tidak mau bertemu de