Share

Bab 4

          

           “Serius, Gita! Aku ‘kan kerja sama Ustadz dan Ibuk udah belasan tahun. Tau, gak? Dia itu santriwati kesayangan Ustadz sama Ibuk. Pas kejadian lepas hijab, Ibuk sampe ribut sendiri karena dia gak bisa dihubungi. Wong aku liat dewek gimana khawatirnya Ibuk.”

            “Masa, sih?”

            “Iya, mentang-mentang cantik sama pinter, dia tetep dipuji banyak orang, dibela sama Ibuk dan temen-temen sekelasnya dulu. Padahal udah malu-maluin Ma’had banget!”

           “Tapi pantes dapet pujian Mbak Pur. Gita liat di berita, kalo dia penulis sama sutradara film terkenal. Katanya, dia satu-satunya orang Indonesia yang bisa menang di ajang film Amerika yang bagus itu. Apa, yaa namanya? Sebentar Gita cek dulu  di internet.” Ada hening yang memberi jeda beberapa detik. “Ini, Golden Globe sama Oscar!”

           “Kamu tau sendiri. Anak-anak kelas Ustadz Wafiq emang pada sukses. Salah satunya santri bule itu. Wali kelas dia disini hebat-hebat. Selain Ustadz Wafiq, ada Ustadz Fajri juga. Tapi percuma cantik, pinter, kalo berani gadai agama buat dunia fana. Padahal, banyak alumni sini bisa sukses tanpa perlu lepas kerudung. Dianya aja bego, buta dunia...”

Cukup sudah! Sepasang indera pendengar sekaligus hati Charlotte mendidih mendengar percakapan para asisten rumah tangga yang sedang menggosipkan dirinya itu. Meski sindiran mereka beralasan, ia tetap saja tidak terima. Napasnya memburu dengan tangan terkepal.

Ia ingin melangkah ke sebelah, menangkap basah mereka. Tapi cekalan tangan halus mencegahnya. Charlotte menoleh ke kanan dan mendapati Avicenna tersenyum lembut. Sahabatnya itu juga mengelus-elus pergelangan tangannya berulang kali.

            “Gak usah didengerin. Mereka gak tau apa-apa. Cuma kamu yang tau, paham, dan ngerasain kepelikan yang kamu alami sendiri. Gak usah sibuk ngeladenin orang-orang negatif kayak mereka. Masih ada banyak hal yang lebih penting di hidup kamu. Masih banyak orang yang sayang sekaligus dukung kamu,” ucap Avicenna dengan nada lembut nan menenangkan.

Charlotte mengangguk mendengar kata-kata Avicenna. Ia menghela napas perlahan. Rasa dingin dari tangan basah sang sahabat cukup mampu meredam amarah yang tengah membumbung tinggi. Keduanya lekas menyelesaikan kegiatan mencuci itu. Charlotte tak ingin berdiam diri di sini lebih lama lagi.

Avicenna yang peka dengan perubahan suasana hati Charlotte sontak pamit undur diri. Setelah berbincang beberapa patah kata bersama Nurul, Avicenna segera menarik Charlotte dari sana.

********************

            “Are you alright?” tanya Avicenna hati-hati. Ia memiringkan tubuh ke kiri agar dapat melihat wajah Charlotte yang menekuk sejak pulang dari rumah Wafiq.

Charlotte tak berkutik sedikit pun. Ia tetap setia di posisi telentangnya, menahan rinai air mata yang siap melesak dari sangkarnya hingga sepasang kelopak itu memanas. “Yeah, I’m good.” Ia menjawab tenang dan datar sekali, seolah tidak ada rasa maupun emosi dalam intonasinya.

Terdengar helaan napas berat Avicenna. “Char, jangan dimasukin ke hati kata-kata mereka tadi, ya?” pintanya lirih. Charlotte tak bergeming seinci pun. Di tengah pencahayaan temaram kamar, Avicenna melihat sahabatnya memejamkan mata rapat-rapat. Tapi ia tahu, Charlotte belum terlelap sama sekali. “Besok, pagi-pagi, ke pasar, yuk! Cari jajan,” ajaknya.

Rupanya, kalimat terakhir Avicenna mampu memantik atensi Charlotte. Perempuan itu sontak menyamping, menghadap ke ranjang di sebelah kanannya. Senyum di bibir tipisnya mengembang indah. “Pasar yang deket alun-alun kantor kecamatan?” tanya Charlotte antusias.

            “Hm,” sahut Avicenna singkat.

            “Ih, mauuu! Pengen beli jajan pasar yang ada di sana, Sen. Getuk langganan kita.”

Avicenna terkikik geli. “Iya, besok kita beli cenil, lupis, nagasari, bolu kukus, pukis, lumpia telor, sarang burung, semua yang kamu mau, deh!”

            “Iya, kita beli semua macemnya. Aku kangen jajan pasar,” tukas Charlotte semangat.

            “Iya, iya. Sekarang tidur, biar besok gak kesiangan pergi ke pasarnya,” titah Avicenna.

********************

            “Guys, aku titip Aisyah bentar.” Naya berkata dengan wajah resah. “Khalisa pengen buang air kecil,” ucapnya seraya menggamit sang putri sulung yang tampak gelisah.

Charlotte dan Avicenna yang keasyikan memilih jajanan tradisional di pasar kontan menoleh ke tempat Naya berdiri. “Kamu mau bawa dia kemana?” tanya Charlotte celingukan mencari keberadaan toilet umum.

Sementara Avicenna menimang-nimang Aisyah yang digendongnya sejak dari wisma. Bayi sembilan bulan itu mulai gusar karena kegerahan. Ia sesekali merengek kecil dan minta diturunkan dari gendongan. Avicenna selalu sigap menepuk-nepuk punggung dan bokongnya.

            “Itu, di musala sebelah sana,” tukas Naya menunjuk ke arah belakang mereka berdiri.

Charlotte mengangguk. “Nanti kita nyusul, ini bentar lagi selesai. Chat aja kalo ada apa-apa,” ujarnya. Naya dan sang putri segera beranjak meninggalkan Charlotte, Avicenna, dan Aisyah.

            “Char, list yang kamu mau, udah kebeli semua?” tanya Avicenna pelan. Dalam gendongan jarik, sepasang manik mungil Aisyah menatap sayu dan kelopaknya mulai menyipit.

            “Hum,” jawab Charlotte singkat. Ia mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, menunjukkan betapa banyak belanjaan mereka di pasar pagi ini. Selain nostalgia kuliner khas Jawa Timur, perempuan itu juga membeli rempah kering guna dibawa pulang ke London.

Avicenna menggelengkan kepala melihat tas-tas belanja warna-warni yang digenggam sepasang tangan Charlotte. Banyak sekali! “Ya, udah, kita susul Mbak Naya sama Khalisa, yuk!”

            “Lho, belanjanya udah selesai?” heran Naya melihat kedua temannya menyusul ke musala. Kedua tangannya cekatan membantu Khalisa memasang kaos kaki dan sepatu.

Avicenna terkekeh jahil. “Udah, Mbak Nay. Liat, sepasar dia borong semua,” ujarnya melirik Charlotte yang kesulitan membawa tas belanjaan dan shoulder bag bersamaan.

Charlotte mencebik. “Ish, kayak kamu gak belanja banyak. Ini hampir setengahnya punya kamu!” ketus perempuan keturunan Eropa-Indonesia itu. Meski jengkel, ia tetap tertawa kecil.

Naya tak habis pikir, waktu sepuluh tahun tidak merubah keduanya sama sekali. Di matanya, Charlotte dan Avicenna tetaplah duo tengil yang hobi ngemil. “Gak ada yang mau dibeli lagi, ‘kan? Kalo gak ada, pulang, yuk! Bapaknya anak-anak udah nungguin dari tadi.”

            “Ayo, aku udah pesen ojol. Mobilnya parkir di depan pasar,” balas Charlotte.

Lima perempuan beda generasi itu berjalan beriringan menuju pintu keluar. Naya membawa beberapa kantung belanjaan dari tangan Charlotte sambil menggandeng telapak mungil Khalisa. Sementara Avicenna membawa tas kresek yang ringan. Namun, langkah mereka terhenti saat melihat kerumunan tepat di samping pintu keluar-masuk pasar. Kelimanya mendekat.

            “Ngapunten, Bapak, Ibuk, ini ada apa?” tanya Naya menggunakan bahasa Jawa Inggil.

            “Iki, Mbak, ada ibu-ibu pingsan. Sendirian lagi,” ujar salah satu dari mereka.

Charlotte, Avicenna, dan Naya membelalak saat tiga pasang netra mereka tertumbuk di titik pusat keramaian yang menampakkan seraut wajah yang cukup familier. Astaga!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status