Angin saja tidak tampak, apalagi hujan, kilat maupun petir juga tidak terlihat. Malah ada yang menyambar mood Nisha pagi itu. Tiba-tiba saja Firdaus menghubunginya. Nisha kira mau minta maaf atas sikapnya yang tidak memperbolehkan Nisha datang lagi ke rumah Salma, ternyata mau mengajak anaknya jalan-jalan. Ah, memang benar adanya kalau tidak boleh terlalu berharap pada manusia.“Nis, nanti aku ada waktu luang. Aku mau bawa Efa sama Bahri jalan,” cetus Firdaus hampir jam enam pagi tadi. Entah dapat hidayah dari mana sampai bersedia bertemu dengan anak-anaknya. Kirain sudah amnesia kalau punya keturunan yang harus diberi kasih sayang dan nafkah.Nisha menghela napas sejenak, lantas menjawab, “Bukannya ngga mau ngizinin, ya, Kak. Shareefa hari ini sekolah. Ada ujian mid katanya. Sama Bahri aja gimana?”Nisha harus menanggapi ini dengan sabar. Firdaus memang minim pengetahuan atau memang ngga mau tahu tentang sekolah Efa. Entah itu temen de
“Assalamu'alaikum, Kak." Langsung, dong diterima panggilan itu sama Nisha. Siapa tahu penting mengingat Bahri tengah bepergian sama ayah kandungnya ini.“Nis, ini Bahri poop," lapor Firdaus terdengar gusar.Nisha mengernyitkan keningnya. “Iya. Terus?” Bukannya hal yang wajar buang air besar bagi manusia, terutama batita seperti Bahri? Kenapa harus gelisah?“Gimana, nih?” tanya Firdaus. Kali ini terdengar lebih panik.“Ya, diganti dong popoknya.”“Ana ngga nitipin popok tadi.""Bukannya Ana nitipin tas, ya? Isinya lengkap disitu?""Cuma baju doang, ngga ada popoknya."“Ya, sudah beli aja. Yang sachet juga banyak, kok di warung-warung, Kak,” jawab Nisha masih tenang. Toh ini bukan masalah besar. Banyak pemecahan masalahnya, kok. Jangan panik kayak mau diserang bom atom gitu, deh.“Gantinya gimana?” Tuh, Firdaus masih aja panik luar biasa.“Ya begitu. Masak harus didikte, sih, Kak? Kakak pernah,
“Cieee ..., mobil baru.” Sudah terbayang di otak Nisha gimana hebohnya ledekan dari beberapa orang yang dikenalnya kalau tiba di kampus nanti. Sampai bergidik ini badan. Duh, Nisha benci banget kalau diledek begitu. Childish? Yes!Mariya dan Makhmud menjual mobil kijang lamanya lantas diganti mobil kelas MPV alias mobil sejuta umat.Bukan karena mau pamer, ya tapi lebih disebabkan kasihan melihat cucu-cucunya yang biasa naik mobil nyaman milik Firdaus. Bukan, sih, tepatnya mobil yang dibelikan almarhum Bakhtiar untuk digunakan cucu-cucunya melalui Firdaus. Di lain hal supaya Nisha juga bisa beraktivitas dengan lancar, apalagi mobil ini lumayan irit bensin.Plat putih dengan nomor merah masih terpampang di depan dan belakang mobil. Nisha agak risih. Takut dibilang pamer. Padahal, dia ngga ada niat mau membanggakan hal tersebut.Jadilah pagi itu ia keliling fakultas Adab —tempatnya bekerja. Parkiran di sana penuh dan ramai sekali. Banyak wajah yang diken
“Happy anniversary, Mas,” ucap Bella dengan senyum terkembang hingga pipi tembemnya kian tampak.Tahu kalau ngga akan mendapatkan surprised apapun dari kekasihnya, dia berinisiatif membuat sendiri.Malam ini, tepat satu tahun mereka memadu kasih. Bella mengajak Firdaus makan malam di restoran sebuah hotel bintang empat. Sudah disiapkannya satu meja didekor warna pink berpadu putih, lengkap dengan balon berisi helium warna senada.Firdaus tersenyum tipis. Datar saja. Yah, hampir ngga terlihat ekspresi apapun, karena memang ngga terlalu suka dengan kejutan seperti ini.“Kalau memang Kakak ngga suka kejutan, bukan berarti orang lain ngga suka diberi kejutan.” Terngiang suara tegas yang tengah protes milik Nisha saat istri, ops, mantan istrinya itu berulang tahun di awal pernikahan mereka. Seharian Nisha menunggu diberi kejutan, tapi tidak juga kunjung datang. Akhirnya, dia jujur secara lugas mengatakan ketidaksukaannya akan sikap cuek Firdaus itu.
“Ma, aku mau menikah,” pinta Firdaus seperti geledek di siang bolong. Ngga ada tanda-tanda, tiba-tiba nongol aja. Bikin kaget lagi.Salma mengerjap memandangi anak lelaki bungsu juga satu-satunya dalam keluarganya itu. Sejak suaminya meninggal, jabatan kepala keluarga seharusnya diemban oleh Firdaus. Tapi, yang ada anaknya itu selalu keluyuran ngga menentu, entah ke mana. Sama sekali ngga membantunya. Dan, sekarang dia mau menikah?! “Nikah?” tanya Salma agak kurang yakin. Entah kesambet jin apa sampai-sampai anak lelakinya meminta hal itu.“Iya. Sama Bella,” jawab Firdaus lebih detail. Seolah mamanya butuh penjelasan itu.Wanita paruh baya itu menghela napas. “Daus, mau kamu menikah sama siapa itu terserah. Tapi, kamu aja belum genap setahun cerai, yakin mau membina rumah tangga lagi?” tanya Salma bersabar. Dia juga sempat mengucap istighfar di dalam hati.Saat senja menjelang, Firdaus melihat kesempatan untuk membicarakan tentang permin
Setrikaan terlihat letih digosok ke sana dan kemari. Tapi, ngga dengan tukang setrikanya. Dia konstan merapikan pakaian lembar demi lembar, terlebih lagi saat menyetrika seragam coklat milik pak suami.“Pulang jam berapa nanti, Ma?” tanya lelaki yang keluar dari kamar. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, badannya kurus kering. Biasanya lelaki yang mengenakan seragam coklat ini tubuhnya tinggi dan berbadan besar, mayoritas berperut buncit. Namun, dia ngga begitu.“Malam mungkin, Pah,” jawab sang wanita yang juga bertubuh kurus. Rambutnya dicepol asal-asalan. Sisa kecantikan tersembunyi di balik gurat capainya.“Ma, aku pergi dulu, ya,” pamit Dendi seraya mengecup kening istrinya yang cukup berkeringat. Tapi, ia tetap cinta.“Komandan!” teriak dua anak laki-laki. Mereka berdiri di pinggir pintu sambil memberikan hormat kepada ayah mereka yang hendak bertugas.Dendi bersikap tegap, melakukan hormat balik, kemudian berjongkok. “Kalian jadi anak baik nanti di rumah Nenek, ya. Turuti semua kata
“Nis, Kak Firdaus mau nikah sama Bella. Hari ini! Maharnya ... 200 juta!”Nisha menghela napas panjang setelah membaca pesan singkat dari Elza itu. Tahu aja, sih sahabatnya itu gosip termuktahir, padahal dia sudah sengaja ngga menceritakannya.Nisha lebih dahulu tahu tentang kabar itu dari Mama. Saban hari mantan mertua dan masih berstatus sebagai nenek dari kedua anaknya itu menelepon.“Assalamu'alaikum, Nis,” salam Salma begitu lembut juga sopan. Nisha sampai terbingung-bingung dibuatnya. Ngga biasanya terlalu ramah begini. Pasti ada sesuatu, deh. “Wa'alaikumsalam, Ma,” sapanya membalas.“Nis, Mama cuma mau ngasih tahu kalau seminggu habis lebaran haji nanti Daus mau menikah,” beritahu Salma tanpa ada kata pembukaan.Nisha ngga kaget lagi dengan kabar itu. Tapi, ada apa gerangan Salma memberitahunya selugas ini? Mau mengundangnya? Ngga salah, tuh? Apa Salma mau terjadi peperangan di acara itu?“Oh, selamat,” respon Ni
“Dasar jelema gelo!” umpat A' Engkus murka. Tubuh tingginya terlalu kentara ketika mondar-mandir di ruang tengah seukuran tiga kali enam itu.“Udah, duduk, A',” pinta sang istri yang mulai risih akan tingkah sang suami.Engkus terbukti adalah suami penurut. Noh, langsung duduk dia di antara Puput dan Nisha.“Nis, dia itu berani begitu karena tahu kalau Mamang sama Bibi, tuh lagi naik haji. Kalau ngga mana berani dia datang ke sini apalagi pakai merebut motor segala,” terka Engkus.Nisha mengangguk-angguk. “Iya juga, sih, A'.”“Tapi, caranya itu, lho. Amit-amit, dah. Ngga gentleman banget,” imbuh Puput seraya bergidik. Dia sulit banget membayangkan seperti apa kejadian sebenarnya sampai Nisha naik pitam begitu. Firdaus yang selama ini mereka kenal asyik orangnya, kok bisa berbuat serendah itu.“Tadi siang, tuh Aa' ada niat mau ke sini. Seandainya jadi ke sini, ketemu Firdaus, sudah Aa' hajar habis-habisan,” dendam Engkus membara.