“Dasar jelema gelo!” umpat A' Engkus murka. Tubuh tingginya terlalu kentara ketika mondar-mandir di ruang tengah seukuran tiga kali enam itu.
“Udah, duduk, A',” pinta sang istri yang mulai risih akan tingkah sang suami.Engkus terbukti adalah suami penurut. Noh, langsung duduk dia di antara Puput dan Nisha.“Nis, dia itu berani begitu karena tahu kalau Mamang sama Bibi, tuh lagi naik haji. Kalau ngga mana berani dia datang ke sini apalagi pakai merebut motor segala,” terka Engkus.Nisha mengangguk-angguk. “Iya juga, sih, A'.”“Tapi, caranya itu, lho. Amit-amit, dah. Ngga gentleman banget,” imbuh Puput seraya bergidik. Dia sulit banget membayangkan seperti apa kejadian sebenarnya sampai Nisha naik pitam begitu. Firdaus yang selama ini mereka kenal asyik orangnya, kok bisa berbuat serendah itu.“Tadi siang, tuh Aa' ada niat mau ke sini. Seandainya jadi ke sini, ketemu Firdaus, sudah Aa' hajar habis-habisan,” dendam Engkus membara.“Kalian tinggal di sini?!” tanya Salma dengan nada tinggi, terjadi begitu saja. Dia kaget setengah mati begitu Firdaus menelepon, memberitahunya kalau akan pindah ke rumah ini bersama Bella.Bukan kenapa-kenapa, Salma merasa risih saja serumah —hampir dua puluh empat jam— dengan menantunya. Pasti bakalan canggung, deh.Firdaus juga, mau-maunya disuruh Bella, sih.“Ya, mau bagaimana lagi? Belum punya rumah sendiri, Ma,” timpal Firdaus. Sebelas tahun membina mahligai rumah tangga bersama Nisha, memang ngga ada rumah yang terbeli. Sebelas tahun, dan Firdaus, tuh punya pekerjaan yang sekali dapat insentif sampe puluhan juta, tapi ngga bisa membelikan istrinya rumah. Entah kemana uang itu raibnya.“Kapan kalian mau pindah ke sini?” tanya Salma mencoba berdamai dengan hatinya sendiri.“Besok, Ma.”“Ya, sudah. Pakai kamarmu aja, ya. Tapi, bersih-bersih sendiri. Mama capek,” kata Salma kemudian, pasrah. Tapi, tetap dong tidak mau turun tangan kalau soal bersih-bersih.Firdaus memang ragu menye
Memang aneh Bella ini di mata Salma. Dimana-mana itu menantu kalau tinggal di rumah mertua, pasti bangunnya pagi. Cuci piring, menyapu, beres-beres, atau apalah yang bisa dikerjain. Nah, menantunya ini malah bangun siang. Sudah bangun pun yang ada masak mie, cuma buat dirinya seorang. Terus, sisa memasak bahkan piring kotor dibiarkan begitu saja.Tak habis pikir Salma. Untungnya dia masih sanggup membayar Bu Desi bertugas sebagai tukang cuci piring, bersih-bersih, dan cuci baju di rumah ini. Gajinya tujuh ratus ribu satu bulan. Itu juga karena hanya dua kali sehari ke rumah.Bu Desi usianya ngga lebih tua dari Salma, namun raut wajah ditambah keriput membuatnya tampak lebih tua.Hari ini dia datang jam delapan pagi. Rumah masih hening, sama saja seperti kemarin-kemarin tiap kali datang. Namun yang berbeda cuma tumpukan piring kotor di cucian piring. Banyak banget.“Haduh!” keluh Bu Desi seraya menutup hidung dengan tangannya. “Ya Allah, bau banget. Sudah berapa jam ngga dicuci ini?”Bu
Dada Salma naik turun. Mulutnya terkatup rapat, namun menggeram, sesekali helaan napas berat juga keluar dari sana. Apa yang baru saja disampaikan oleh anak sulungnya itu begitu mudahnya memancing emosinya naik sampai ke ubun-ubun.“Mobil itu baru lunas, Us,” lirih Salma masih terpukul akan permintaan anak bungsunya. Mobil hitam tipe MPV itu dibeli oleh Bakhtiar demi Firdaus agar mencapai target saat menjadi sales mobil. Baru juga lunas kreditannya dua bulan yang lalu. “Coba kamu pikirkan lagi baik-baik,” mohonnya lagi.“Makanya, Ma. Lebih enak kalau dijual. Bisa langsung terima duit cash.” “Terus, Mama?” Salma menepuk dada dengan telapak kanannya. Firdus mengernyit. “Maksud Mama?”“Gimana dengan Mama? Kamu ngga mikirin Mama naik apa kalau mau kemana-mana?” Air mata yang menumpuk malah membuat matanya tampak berkaca-kaca.“Yaelah, Daus kira apa. Bisa aku anterin, Ma,” janji Firdaus dibayangi senyuman, ah, cengiran.Namun, Salma tahu kalau itu hanyalah janji sebatas di mulut saja. Dia
“Nisha. Katanya, Bahri sakit, demam,” jawab Firdaus hanya melirik sekilas ke arah istrinya. Tidak berani kalau Bella menangkap bahwa hal itu lebih penting dan otomatis menomor duakan dirinya.Bella memalingkan muka, berpura-pura mengecek perombakan di sisi kanannya. Padahal, dia tengah menutupi giginya yang bergemeretak dan tangannya yang terkepal kuat. Kesal, kenapa Nisha masih saja disebut-sebut padahal dia sudah sah nikah sama Firdaus.Bella menoleh. “Terus?” tanyanya lagi setelah berhasil menguasai emosinya. Akan tetapi, rahang yang mengeras itu ngga bisa ia sembunyikan.“Nisha minta biaya ke dokter anak langganan. Nanti mau aku transfer pulang dari sini.”“Ngga usah, Mas,” tukas Bella cepat.Tukang yang tengah menempel partisi sampai melirik ke arahnya. Terkejut, tampaknya. Ternyata ibu tiri jahat itu ada satu, nih, di dunia nyata.Firdaus memergoki tatapan tukang itu, lalu menatap istrinya. “Kenapa gitu, Beib?”“Pokoknya jangan! Sekarang kita itu suami istri, lho. Kalau Mas mau n
Nisha memang seorang perempuan yang menyandang status janda. Tahu sendiri, kan gimana orang-orang memandang perempuan yang memiliki status ini. Hampir di semua mata manusia menilai sangat jelek akan status janda. Janda apa aja, mau punya anak atau belum, mau sudah berumur atau masih muda.Padahal, nih, ya emangnya pernah Nisha meminta untuk jadi seorang janda? Ngga, dong! Keadaan yang sudah memaksanya menjalani ini semua. Karena ngga ada wanita yang ingin menjadi seorang janda sekaligus single parent. Rempong! Dikira enak kali.Bayangan menjadi seorang janda saat menikahi Firdaus sama sekali tidak terlintas barang sedetik pun. Nisha positive thinking aja kalau pernikahan ini adalah untuk yang pertama sekaligus terakhir.Baba dari kedua anaknya itu adalah jodoh terbaik untuk dirinya. Walaupun ada keburukan dalam diri Firdaus, tapi Nisha tetap bersabar. Dia tetap berdoa dan berharap kalau Firdaus bisa berubah.Namun, garis Allah berkata lain. Ternyata lelaki bernama Firdaus itu bukan lag
Sejurus kemudian, tawa Nisha pun pecah. Menghiasi ruangan itu yang tadinya tampak membosankan. Air liurnya sampai keluar sedikit. Nisha pun menyeka sudut bibirnya itu, seiring tawanya yang mulai memelan.Terlebih lagi ketika diliriknya tidak ada perubahan pada raut wajah Yahya. Masih kaku saja.Nisha memukul ala kadarnya meja. “Aa’, tuh ya bercanda, kok kelewatan, sih. Jangan main-main, deh. Entar ada yang nguping, lho.”“Aa’ ngga bercanda, kok. Memangnya wajah Aa’ ini terlihat sedang bermain-main? Coba kamu telaah lagi, Nis.” Yahya malah balik memberikan tugas.Nisha pun terdiam. Dia perhatikan baik-baik wajah lelaki di hadapannya itu. Kembali tidak terlihat ekspresi apapun. ‘Artinya dia lagi serius mode on, ya? Kalau bener, itu artinya apa yang dia bilang barusan ....’“Sejak kapan emang Aa’, tuh mulai menaruh rasa sama Nisha?” tanya wanita berbibir tipis namun merah merona itu agak menantang. Sejak kapan memangnya perasaan itu muncul?“Sejak hari pertama Nisha mulai bekerja di sini,
“Permisi,” sapa seorang wanita berjilbab dengan gaya yang tidak kekinian. Kiri kanan bagian pipi dilipit, sementara hijabnya panjang menutup sampai perut. Jika menilik wajahnya yang belum memiliki banyak kerutan, dia belumlah berumur sampai setengah abad. Bisa jadi sepuluh tahun lebih muda.Wanita itu bertanya pada Ade yang hendak berjalan keluar ruangan. “Ya, ada yang bisa Saya bantu, Bu?” Sementara dalam hatinya mencerca, ‘Mahasiswa mana ini yang menyuruh orang tuanya mengurus urusan kuliahnya? Manja sekali!’“Ibu Jenisha yang mana, ya?” tanyanya sopan. Suaranya agak tegas namun lembut.“Itu, yang pakai baju biru gelap,” jawab Ade seraya menunjuk Nisha, yang terlihat fokus dengan pekerjaannya. Lantas, ia keluar meninggalkan wanita itu.Wanita itu sepertinya masih ingin bertanya lagi, ingin memastikan, tapi orang yang mau ditanyai sudah menghilang. Penuh keraguan, dia berjalan mendekati meja Nisha.“Assalamu'alaikum,” sapanya pelan, tubuhnya agak membungkuk supaya Nisha bisa mendengar
Circle Cafe. Akhirnya berdiri sejak tiga bulan yang lalu. Bella memantau langsung perkembangannya. Terkadang sambil ditemani Firdaus, sering kali pas sore sampai malam karena ngga ada jam kuliah yang harus diisinya.“Kak Bella, maaf aku ngga bisa masuk hari ini. Ngga enak badan.”Pesan singkat dari Diva, pegawai yang baru direkrut Bella dua minggu lalu itu membuatnya gundah gulana. Bagaimana tidak, siapa yang akan bekerja di cafe ini dari jam sepuluh pagi sampai menjelang maghrib nanti. Sementara Bella hanya mempunyai dua karyawan. Diva shift pagi dan Ryan untuk shift malam.“Duh, Diva ngga masuk kerja, Mas,” keluh Bella pagi ini seraya membuang muka dari layar gawai.Firdaus tengah bersiap-siap hendak ke kampus. Ada dua kelas yang harus diisinya pagi dan siang ini. “Kamu sendirian ngga apa-apa, kan?”Bella beringsut ke pinggir tempat tidur. “Ih, kamu tega Mas biarin aku kerja sendirian?!”“Lah, jadi gimana? Ryan mau kamu suruh masuk pagi, terus siapa yang jaga malam? Atau, kamu mau ba