Iya. Bella itu memang pelit banget, deh. Firdaus juga baru tahu hal ini setelah menikah.Mungkin saat mereka pacaran dulu, sebenarnya gejala ini sudah terlihat. Seperti tiap makan yang keluar duit adalah Firdaus, beli hadiah juga Firdaus, pokoknya kemana-mana Bella ngga mengeluarkan uang sepersen pun.Tapi, yang namanya tengah dilanda mabuk cinta, bunga di hati tengah merekah-rekahnya, ya dianggap angin lalu saja hal aneh itu. Firdaus juga merasa hal itu yang wajar jika seorang lelaki yang mentraktir perempuan.Nah, yang paling bikin Firdaus malu akan sifat pelit sang istri adalah saat ia sedang berkumpul bersama teman-teman motornya. Ada Edo, Fauzan, Erik, Riki, dan Taufan. Dia sudah mengenal kelima orang ini semenjak SMA. Mereka juga salah satu pendiri klub motor bersama Firdaus, dan sudah touring kemana-mana.Sejak hari pertama Circle Coffe buka, mereka selalu datang tiap malam. Pastinya saat istri dan anak sudah pada tidur di rumah, kalau ngga ya mana diizinkan pergi.Tentu saja ad
“Diantar siapa?” tanya Balqis menyambut kedatangan istri almarhum sepupunya, Bakhtiar. Tidak luput dicipika-cipikinya pipi Salma.Salma menunjuk samar ke arah mobil Firdaus, yang mulai menjauh. “Dianter Daus.”“Walah, kenapa ngga mampir dulu dia, sih?” “Sudah buru-buru mau ke cafe dia mah,” jawab Salma seraya berusaha masuk ke rumah Balqis. Dia ngga mau ditanya yang macam-macam lagi. Apalagi kalau menyangkut Bella. Duh, bisa pusing sebelah kepalanya.“Duduk dulu. Aku mau ke belakang sebentar,” pamit Balqis yang disetujui oleh Salma. “Queen, sini,” panggilnya pada putri sulungnya.Wanita berhidung seperti perosotan di taman itu segera mengikuti ibunya ke belakang.Sementara itu, Salma berbaur dengan keluarga Firdaus yang lain. Dia cukup pendiam, sih orangnya. Paling hanya senyam-senyum mendengar celotehan wanita seumuran dengannya yang hebohnya bukan main. Apalagi duduk lesehan beralaskan karpet ini, berbagai macam gaya duduk lepas saja mereka tunjukkan. Bersila, kaki naik sebelah, ata
1 Agustus, tanggal lahir Bahri. Tanggal sederhana yang ngga terlalu sulit untuk diingat.Tepat pukul dua belas malam, Nisha beranjak dari sejadahnya menuju anak bungsunya itu. Diucapkannya Surah Al-Fatihah sebanyak tujuh kali kemudian dihembuskannya ke ubun-ubun Bahri.“Selamat ulang tahun, Sayang. Semoga kamu menjadi anak yang sholeh. Aamiin,” ucap Nisha lantas mencium kening Bahri, yang tertidur seraya menganga. Pulas sekali.Besok itu hari Sabtu, pas sekali saat Nisha sedang libur bekerja. Jadi, dia bisa membawa kedua anaknya jalan-jalan.Bahri mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti makna hari lahirnya, tapi Nisha ingin anaknya bahagia di hari itu.Meskipun, Firdaus sepertinya lupa akan hari penting itu. Tidak masalah, selama ada dirinya ngga akan dibiarkannya kedua anaknya bersedih.“Ma, belum tidur?” tanya Efa yang terbangun. Dia merasakan ada yang hadir di belakang punggungnya, saat menoleh sempat kaget karena mukena putih. Tapi, dalam hitungan detik ia mengenali sosok sang m
“Kenapa anakmu bertingkah seperti ini, Nis?” tanya Salma sinis.Nisha segera menarik Efa. Dia duduk dengan tumpuan lutut. “Ada apa, Fa?” Suaranya lembut, sama sekali tidak marah. Ia ngga mau mempermalukan anaknya. Toh, pasti ada alasannya gadis berbulu mata lentik itu meminta hal itu pada ayahnya.Efa mendelikkan bahu. “Ngga ada apa-apa. Efa lagi males aja ketemu sama Baba,” jawabnya, sejurus kemudian memalingkan muka.“Ya, sudah. Tunggu Mama di dekat mobil, ya,” suruh Nisha. Setelah Efa pergi, ia kembali berdiri.“Apa-apaan itu, Nis?!” protes Firdaus. “Kamu pasti menceritakan yang ngga-ngga, 'kan sama dia?! Biar dia benci sama Bapaknya sendiri?!” tuding lelaki berjambang tipis itu. Nisha menyeringai. Tawanya kecil nan singkat. “Aku ngga pernah berniat menceritakan yang ngga-ngga. Toh, Efa melihat sendiri perbuatan Kakak selama ini, kan? Apa Kakak pernah meminta maaf sama dia? Tidak. Kakak sama sekali ngga pernah memikirkan perasaannya. Dan, sekarang dia berbuat seperti ini Kakak masi
“Mama ngga ada uang lagi, Us,” penolakan Salma saat anak sulungnya meminta uang untuk pembayaran kelanjutan sewa ruko dimana Circle Cafe berada. “Kamu anggep Mama ini pohon uang apa? Bisa menghasilkan uang kapanpun? Mama ini hidup dari gaji pensiun Baba kamu, gaji pokok aja, Us. Kecil. Beda sama pas almarhum Baba masih hidup.”Satu tahun empat puluh juta biaya sewanya, sementara penghasilan cafe saja jauh dari mampu untuk menutupi uang sewa itu apalagi biaya lainnya. Boro-boro untung, mah, yang ada malah buntung.“Apa kita sudahi aja buka cafe ini, Beib?” tanya Firdaus suatu malam sebelum tidur. Menurutnya, hal ini harus ia diskusikan dengan Bella.Tentu saja Bella menggeleng. “Malu sama temen-temen, Mas. Pasti mereka bilang, ih ngga laku, ya cafenya makanya tutup.”Selain alasan itu, ia ngga mau Nisha berbahagia melihat cafe itu tutup. Karena lokasinya memang sering dilewati Nisha kalau mau ke mall.Firdaus menghela napas. “Jadi, aku harus minjem ke bank ini buat bayar sewanya?”“Ya,
Kehadiran anggota baru ngga lantas membuat Salma berada dalam luapan kebahagiaan. Dia, kan memang kurang dekat sama cucu-cucunya. Apalagi, tinggalnya juga ngga satu rumah, kan. Sudah kebiasaan, sih yang ia lihat selama ini kalau anak perempuan melahirkan pasti setelah itu tinggal sementara di rumah ibunya.Makanya, Salma terheran-heran melihat Bella pulang ke rumah ini setelah bermalam di rumah sakit satu malam dua hari.“Lho, kok pulang ke sini?” tanya Salma bingung setelah Firdaus mengantar Bella dan buah hati mereka ke kamar. Suaranya tertahan, ngga mau menantunya itu mendengar.“Memang mau tinggal di sini, Ma. Ya, itu gunanya kamar didekor ulang kemarin,” jawab Firdaus, kemudian meletakkan pakaian kotor di keranjang. Gayanya dekor ulang, padahal cuma ganti cat aja, lebih ke warna putih.“Kenapa ngga tinggal di rumah Mamanya aja, sih?!” desak Salma lagi mencegat Firdaus, yang hendak masuk ke dalam kamar.“Ih, mana mau aku tinggal di rumahnya, Ma. Ngga ada AC juga,” jawab Firdaus men
“Us, itu istri siri Baba?” tanya Salma seraya menunjuk seorang wanita yang beberapa tahun tampak lebih muda darinya. Kulit wanita itu juga lebih putih darinya.Firdaus terlalu fokus pada Nisha sampai sulit untuk melepaskan pandangannya. Tapi, tarikan di ujung lengannya, membuat Firdaus terpaksa menoleh ke arah Salma lantas ke arah pandangan wanita itu.Firdaus pun bisa melihat sosok Indira tengah asyik berbincang dengan teman-teman Nisha. Ada Yahya juga di sana. Sudah terkenal banget di kampusnya kalau pria itu mengincar Nisha.“Kenapa, sih harus datang bareng dia?!” keluh Salma dongkol. Dia ngga sudi satu ruangan dengan Indira. Ia mengambil tempat jauh ke dari rombongan Indira.Sementara Firdaus masih awas melihat pergerakan Yahya, yang akrab sekali dengan Nisha. Masak iya pria beranak tiga itu berani mendekati Nisha. Nekat sekali.“Ma, mau aku ambilkan kue?” cetus Firdaus.Salma mengangguk. Saat merapikan jilbabnya, mainan jilbabnya mendadak jatuh. Ia pun merunduk hendak mengambil br
Sudahlah dipusingkan akan tingkah laku menantu dan anaknya yang serasa masih gadis dan perjaka, keluyuran saja kemana-mana, ditambah lagi masalah cafe yang didirikan oleh mereka berdua. Ngga ada pengunjungnya lagi!Benar-benar sudah tekor.“Pinjam uang, lah, Ma,” pinta Firdaus di Senin pagi. Nada bicaranya sudah seperti pengemis di lampu merah.“Mana ada uang lagi, Us!” sergah Salma marah. Sedikit-sedikit minta uang sama dia.Giliran pas ada uang Firdaus dan Bella malah senang-senang sendiri. Mana pernah dia diajak makan di luar sama mereka.“Memangnya buat apa?! Cafe ngga ada pemasukan apa?!”Firdaus menggeleng lesu. “Buat bayar pinjaman di bank. Sudah mau jatuh tempo. Kalau sampai telat, malah kena denda. Sayang duitnya.”“Cafe kalian itu kenapa ngga jalan, sih?! Makanannya ngga enak atau gimana?!” tanya Salma bingung.Bella juga heran, sih kenapa cafe ini ngga laku. Dia sudah berpenampilan sexy begini buat manggil pelanggan cowok biar nongkrong di mari, tetap ngga mempan juga.Kalau