Share

Teh Herbal

Ariana duduk di sebuah kafe yang cozy, di tengah-tengah perbincangan serius dengan dua temannya sesama dosen. Tanpa sepengetahuan Nicholas, Ariana sudah hampir dua tahun bekerja sebagai dosen di salah satu universitas swasta.

Di depan mereka, masing-masing membuka laptop yang menampilkan dokumen proposal pengabdian yang sedang mereka rencanakan. Namun, pikiran Ariana melayang jauh dari topik yang sedang dibahas. Sudah sebulan sejak kecelakaan itu, kakinya telah sembuh, tetapi sakit hatinya karena perselingkuhan suaminya belum juga pulih.

"Aku pikir kita bisa memfokuskan pengabdian ini pada pemberdayaan ekonomi perempuan di desa terpencil," kata Diana, salah seorang teman Ariana yang merupakan dosen di program studi ekonomi.

Ariana hanya mengangguk setuju, padahal pikirannya melayang. Perasaan kecewa dan pengkhianatan yang mendalam masih menyelimuti hatinya. Dia mencoba untuk mengikuti diskusi, tetapi suara Diana terdengar jauh dan teredam.

Tiba-tiba, Sarah, seorang dosen hukum di universitas yang sama dengannya, mengangkat sebuah isu yang menarik perhatian Ariana. "Aku membaca beberapa kasus tentang wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga tetapi tidak bisa bercerai karena kontrak pranikah yang tidak adil. Bagaimana jika kita menambahkan aspek sosial dengan memberikan perlindungan hukum untuk mereka?" tanyanya.

Ariana terkejut, tiba-tiba terfokus pada percakapan temannya. "Apa yang kau maksud dengan tidak bisa bercerai? Bagaimana bisa kontrak pranikah menghalangi perceraian?" tanyanya, suaranya penuh minat.

Sarah menjelaskan, "ada beberapa kasus di mana kontrak pranikah disusun dengan sangat bias, membuat pihak yang lebih lemah terikat dan tidak memiliki jalan keluar yang mudah. Namun, ada perlindungan hukum yang bisa diperjuangkan, meskipun prosesnya tidak mudah."

Ariana merasakan secercah harapan. "Jadi, ada cara untuk melawan kontrak semacam itu?" tanyanya, matanya berbinar dengan keingintahuan.

Sarah mengangguk. "Tentu saja. Hukum memiliki cara untuk melindungi orang-orang yang terjebak dalam situasi tidak adil. Misalnya, jika kontrak itu dibuat di bawah paksaan atau tanpa pengetahuan yang cukup, bisa dinyatakan batal demi hukum. Juga, ada undang-undang yang melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga yang bisa digunakan untuk melawan kontrak yang tidak adil."

Mendengar penjelasan Sarah, pikiran Ariana mulai berputar dengan cepat. Dia bertekad untuk mencari tahu lebih banyak tentang hukum semacam itu. “Itu bagus, kita bisa menambahkannya dalam proposal kita,” ucapnya menyetujui ide Sarah.

Tanpa disadari, senyum tipis mengembang di bibir Ariana saat ia menemukan secercah harapan baru untuk mengakhiri pernikahannya dengan Nicholas. Diskusi mereka selesai di kafe yang nyaman, dan Ariana pulang ke rumah dengan langkah berat. Dulu, dia selalu menantikan pertemuan dengan Nicholas di rumah dengan penuh harap, tetapi kini dia selalu mencari cara untuk menghindari berpapasan dengan suaminya itu.

Hari menjelang malam, Ariana duduk di kursi meja makan, masih terfokus pada proposal pengabdian yang harus diselesaikannya. Matanya mulai terasa mengantuk setelah terlalu lama menatap layar laptop. Dia ingin segelas kopi untuk menyegarkan diri, tapi persediaan bubuk kopi kosong. Pandangannya kemudian tertuju pada teh herbal yang diberikan Rachel bulan lalu.

"Dia tidak akan minum ini, sayang kalau dibuang," gumam Ariana sambil mengambil teh herbal itu. Dengan hati-hati, dia menyeduh teh herbal yang seharusnya untuk Nicholas, membiarkan aroma aneh dari teh mengisi seluruh dapur.

Ariana mengecap teh yang berbau aneh itu, "Hmm, rasanya tidak buruk," ucapnya, sembari membawa gelas tehnya, kembali duduk di kursi meja makan, dan melanjutkan pekerjaannya.

"Apa yang sedang kau lakukan?” Suara Nicholas yang bagai hantu mengejutkan Ariana.

Ariana mengangkat kepalanya, memastikan sumber suara itu memang berasal dari suaminya. Benar saja sosok Nicholas yang sudah sebulan tidak dilihatnya berdiri di ambang pintu ruang makan.

Ariana mengabaikan Nicholas dan kembali ke laptopnya. “Bukan urusanmu,” ketusnya kemudian.

“Masih mencari cara agar bisa bercerai denganku?" sindir Nicholas. Ketidakpeduliannya selama ini kepada Ariana membuatnya tidak menyadari bahwa Ariana telah bekerja sebagai seorang dosen di salah satu universitas swasta selama hampir dua tahun. Baginya, Ariana hanya terlihat sebagai istri yang sebatas tahu bagaimana menghabiskan uangnya dengan cepat.

“Entahlah,” balas Ariana datar.

Nicholas menarik nafas dalam-dalam sebelum berjalan mendekati Ariana. "Kenapa kau tidak membuka pesanku?" tanyanya. Meski tipis, nada suaranya terdengar kesal.

"Aku sibuk," Ariana mengangkat bahu acuh tak acuh "Apakah ada yang penting?"

Nicholas menggeleng pelan. "Hanya detail tentang konferensi yang harus aku hadiri lusa di luar kota. Kita akan berangkat besok sore."

Ariana mengangkat alis, dan menatap Nicholas. "Aku ingin bercerai, apakah kau pikir aku masih mau tampil sebagai istrimu, dan tersenyum bahagia?"

“Aku tidak memerlukan persetujuanmu, Ariana,” ucap Nicholas. Keningnya berkerut, memperhatikan teh berbau aneh di dekat Ariana.

Arian mengekori arah pandang Nicholas. Apakah dia menyadari jika teh itu miliknya?

“Aku pikir kau tidak akan meminum teh ini, jadi aku membuatnya untukku saja,” kata Ariana membela diri sebelum Nicholas bertanya.

“Bersiaplah untuk pergi besok!” tegas Nicholas mengabaikan pembelaan tidak jelas istrinya. Karena sedikit terganggu dengan sikap cuek Ariana, Nicholas mengambil gelas teh yang dibicarakan Ariana dan meneguknya hingga kandas tanpa tahu apa isi teh itu.

Ariana terbengong melihat apa yang dilakukan Nicholas. “Itu miliku,” lirihnya hampir tidak bersuara. Nicholas yang selama ini tidak pernah menyentuh makanan yang dimasaknya itu baru saja meminum dari gelas bekas miliknya?

Sementara Nicholas tampak tidak peduli. Mengabaikan tatapan heran Ariana dia meninggalkan ruang makan menuju ke kamarnya. Mandi adalah tujuannya setelah seharian tenaga dan pikirannya terkuras di kantornya.

**

Setelah beberapa saat selesai mandi, Nicholas yang tengah bekerja di ruang kerja pribadinya tiba-tiba merasakan gelombang panas yang intens menjalar di sekujur tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, seolah berdentum-dentum di dadanya. Nafasnya mulai memburu dan ada semacam rasa menggelitik di sekitar pangkal pahanya. Nafsunya seakan terbakar dan terpicu. Bayangan-bayangan erotis mulai bermunculan di benaknya. Pikirannya dipenuhi dengan hasrat dan gairah yang menggebu-gebu. Dia merasakan denyut yang kuat dan hangat di area pribadinya.

Nicholas menggosok-gosok wajahnya, berusaha menenangkan diri dan tidak terbawa hasrat berlebihan. Namun dorongan libidonya sudah terlanjur dibangunkan dan sulit untuk diabaikan. Dia memejamkan mata erat-erat, mencoba mengalihkan pikirannya ke hal lain, namun itu semakin membuatnya tidak nyaman.

“Apa yang terjadi?” gumamnya bingung.

Tiba-tiba dia teringat tentang teh milik Ariana yang tadi diminumnya. “Wanita itu…,”desisnya geram.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status