Ariana terbaring di sebuah kamar rawat rumah sakit. Tadinya dia hanya mengeluhkan asam lambungnya. Tidak menyangka dirinya justru berakhir menjadi pasien rawat inap di rumah sakit tersebut.
Sebenarnya dia bisa langsung pulang setelah mendapat perawatan dokter, tetapi dengan keadaannya yang sulit berjalan, Ariana tidak ingin pulang. Dia meminta untuk dirawat di rumah sakit. Meskipun mengalami luka ringan, kakinya terkilir cukup parah akibat insiden tabrakan itu. Seeorang perawat yang membawa Ariana dari ruang IGD memastikan pergelangan kaki Ariana yang terbalut perban baik-baik saja, sebelum dia pergi. Ariana merasakan rasa nyeri di kakinya yang membengkak, tetapi lebih dari itu, dia merasa syok dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Pikirannya melayang ke insiden itu, bagaimana mobil itu tiba-tiba menyerangnya. Sambil mencoba menenangkan diri, Ariana melihat keluar jendela rumah sakit yang menghadap ke sebuah gedung tinggi. Dia melihat pantulan awan yang bergerak perlahan-lahan di kaca gedung itu, di bawah sinar matahari sore yang mulai redup. Bosan dengan pemandangan senja itu, Ariana merebahkan tubuhnya. Rasanya tempat tidur rumah sakit terasa lebih nyaman dari tempat tidurnya di rumah Nicholas. “Aku menyuruhmu untuk tidur di kamar suamimu! Mengapa kau malah tidur di rumah sakit?” Suara nyaring Rachel yang tiba-tiba menerobos masuk memaksa kelopak mata Ariana yang hendak tertutup lekas kembali terbuka. “Ibu?” Ariana bingung dengan kemunculan ibu mertuanya. Mengapa Ibu mertua ada di sini? Rachel mendengus kesal menatap kaki Ariana yang tak berdaya. “Aku dengar kau membiarkan orang yang menabrakmu pergi begitu saja,” “Dia hanya seorang supir yang kelelahan. Dia sudah meminta maaf, dan menyesal. Aku baik-baik saja, Bu,” Rachel menatap heran menantunya. “Jika aku tahu kau sebodoh ini, aku tidak akan memaksa putraku menikah denganmu,” “Maafkan aku, Bu.” Arina menunduk, menunjukkan penyesalannnya. “Sudahlah! Anggap saja aku tidak beruntung,” ucap Rachel sembari mengibaskan tangannya di udara. “Aku membiarkanmu untuk menginap satu malam di sini,” imbuhnya kemudian dan lekas pergi meninggalkan kamar rawat menantunya. “Terima kasih, Bu.” ** Rachel yang keluar dari kamar Ariana langsung disambut oleh seorang wanita berpostur tubuh tinggi ramping yang tegap, dibalut oleh setelan hitam. Rambutnya diikat ekor kuda. Wajahnya serius, dan mata tajamnya yang penuh kewaspadaan memantau sekeliling. Judi adalah asisten pribadi Rachel. Dengan cekatan dia mengikuti Rachel. “Bagaimana keadaannya?” Rachel menanyakan orangnya yang mengalami luka serius karena melindungi Ariana. Tadinya dia hanya mempekerjakan seseorang untuk memantau aktivitas menantunya, tetapi tidak disangka orangnya itu terlalu serius menjalankan perannya. Judi mengangguk hormat, dan menjawab, “dia hanya mengalami patah tulang tangan, Nyonya.” “Pastikan dia mendapatkan perawatan yang terbaik,” perintah Rachel, suaranya tegas. Judi mengangguk lagi. “Nona Ariana sudah mengurusnya. Nyonya.” “Oh ya?” “Dan juga memberikan sejumlah uang terima kasih,” Kening Rachel berkerut mendengar informasi tambahan yang diberitahukan Judi. “Dia memiliki uang?” Dengan sedikit ragu Judi menjawab, “Nona Ariana memberi Finley uang sebanyak 500 juta.” “Apa?” desis Rachel. “Periksa semua transaksi di rekeningnya,” printahnya kemudian. Judi mengangguk mengerti, “Baik, Nyonya.” Langkah kaki Rachel berhenti di depan sebuah kamar rawat inap VVIP. Dia menarik napas dalam sebelum masuk ke kamar tersebut. Menantunya membuatnya kesal, tetapi putranya jauh lebih membuatnya naik darah tinggi. Tekanan darahnya yang sudah meninggi, jadi semakin naik begitu mendapati putranya sedang menyuapi bubur ke mulut Katrina. “Apa yang sedang kau lakukan?” sentak Rachel kepada putranya. “Tante?” suara lembut Katrina menyapa Rachel. Rachel mendekati ranjang Katrina, “Keluar lah! Aku ingin berbicara dengan putraku,” titahnya kepada Katrina. “Bu, Katrina sedang sakit,” sela Nicholas sembari menahan Katrina yang hendak beranjak turun dari ranjangnya. “Jika Ibu ingin berbicara denganku, kita bisa berbicara di rumah.” “Tidak, aku baik-baik saja. Bicara di sini saja, aku akan pergi keluar.” Katrina balas menyela Nicholas. Dia tidak ingin membiarkan Nicholas pergi meninggalkannya. “Apakah ada pasien yang mengalah dengan orang sehat?” Nicholas menatap ibunya tidak setuju dengan perintah nyeleneh ibunya. Sudut mata Rachel melirik ke arah Katrina. “Pasien?” dia tersenyum miring. “Katrina memang tidak mengalami cidera, tetapi insiden itu membuatnya trauma,” jawab Nicholas memberi pembelaan. Katrina dengan segenap tenaganya mencoba menjadi penengah di antara perseteruan ibu dan anak itu. Dengan menopang lengannya di bahu Nicholas, dia berusaha duduk di kursi rodanya. “Aku akan pergi berjalan-jalan di luar,” “Apa yang ibu lakukan di sini?” tanya Nicholas setelah Katrina pergi meninggalkan mereka berdua. “Kau masih bersama wanita tidak benar itu?” Rachel balik bertanya. “Ini terakhir kali Ibu memintamu untuk meninggalkannya,” desak Rachel. Awalnya, dia mendukung hubungan putranya dengan Katrina karena keluarga wanita itu terpandang dan terhormat. Namun, setelah Katrina terlibat dalam kecelakaan akibat pesta narkoba, Rachel tidak bisa menerima menantu yang akan berdampak buruk pada masa depan putranya. Meskipun berita itu tidak tersebar ke media, dan Katrina berjanji untuk bertaubat. Namun, Rachel tetap tidak bisa menerima menantu yang lumpuh. “Ibu bisa memaksaku untuk menikah dengan wanita pilihan Ibu, tetapi Ibu tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Katrina,” tegas Nicholas. “Mengapa?” “Karena Katrina tidak meninggalkanku, Ibu tahu itu.” “Ya Tuhan, mengapa aku hanya memiliki satu putra?” keluh Rachel. Jika dia memiliki putra lain. Dia tidak akan peduli dengan Nicholas yang tidak bisa lepas dari Katrina. Wanita yang menyelamatkannya putranya dari kobaran api 7 tahun lalu saat terkurung di gudang sekolah. Nicholas tertawa mendengar keluhan ibunya, “Ibu bisa mendapatkan putra lagi jika berusaha lebih keras dengan ayah,” ledeknya. “Tutup mulutmu! Apa kau tahu istrimu juga dirawat di sini?” “Ada apa dengannya?” “Wanita itu tidak memberitahumu? Dia benar-benar ular berbisa, berbisa,” Nicholas lekas memeluk ibunya yang tidak henti-hentinya mengutuk Katrina. “Bu, berhentilah menjelek-jelekkannya. Karena keberaniannnya, ibu masih memilikiku.” Di saat yang bersamaan, Katrina, wanita yang tengah mereka bicarakan mendatangi kamar Ariana setelah Rachel mengusirnya. Tentu saja dia tidak akan melewatkan kesempatan untuk memanas-manasi Ariana tentang betapa Nicholas masih sangat mencintainya. “Kau masih di sini?” tanya Ariana heran mendapati Katrina masuk ke kamarnya. Katrina tersenyum lembut sembari menjalankan kursi rodanya mendekati Ariana. “Ya, Nico ingin memastikan kakiku baik-baik saja.” Nicholas ada di sini? “Maafkan aku, Ariana. Aku sudah memintanya untuk menemanimu saja. Tetapi dia bersih keras untuk tetap bersamaku.” Ariana mengepal kedua tangannya di balik selimut mendengar pernyataan Katrina. “Sepertinya kau salah paham denganku, aku mencampakkan Nicholas karena telah bosan dengannya!” seru Ariana percaya diri. Dia ingin mengusir Katrina, tetapi sosok Nicholas yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kamarnya, membuat Ariana terdiam. Apakah Nicholas mendengar perkataannya barusan? Melihat perubahan ekspresi Ariana yang tiba-tiba memucat, membuat Katrina menoleh mengikuti arah tatapan Ariana. “Nico?” senyumnya kemudian. Nicholas membalas senyum Katrina, “Aku akan mengantarmu pulang.” “Tidak perlu, kau temani saja Ariana. Aku bisa memesan taksi,” kata Katrina sembari menjalankan kursi rodanya menuju pintu keluar. “Tidak, aku akan mengantarmu,” Nicholas membukakan pintu kamar Ariana lebih lebar agar Katrina dapat melewatinya dengan mudah. Tanpa melirik sedikitpun ke arah Ariana, Nicholas langsung mengikuti Katrina. Pemandangan ini semakin membuat Ariana merasa diabaikan dan tidak berharga. Hatinya terasa remuk melihat Nicholas yang begitu perhatian pada Katrina, sementara dirinya dibiarkan sendirian dengan luka fisik dan emosional. Ariana menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan Nicholas yang begitu lembut kepada Katrina terus mengganggunya. Dia merasa seperti orang luar dalam pernikahannya sendiri. Saat kemudian, seorang perawat masuk ke kamar membawa obat-obatan untuk mengurangi rasa sakit di kakinya yang terkilir. “Bu Ariana, ini obatnya. Pastikan diminum sesuai jadwal, ya,” katanya sambil tersenyum ramah. Ariana mengangguk pelan dan mencoba tersenyum kembali. "Terima kasih," jawabnya singkat. Setelah perawat itu keluar, Ariana memandang keluar jendela, melihat pemandangan kota yang mulai gelap. Air matanya mengalir perlahan, merasakan kesepian yang mendalam. Keinginan untuk bercerai dari Nicholas semakin kuat dalam hatinya. Namun, bayangan ancaman Rachel dan rasa tanggung jawabnya terhadap perjanjian kontrak membuatnya tidak bisa mengajukan gugatan cerai. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ariana melihat nama Agus, pengacara Nicholas, muncul di layar. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat telepon itu. “Halo, Pak Agus,” sapanya dengan suara lirih. “Halo, Ariana. Aku sudah menyiapkan surat pernyataan seperti yang kau minta. Apakah kau ingin aku mengirimkannya sekarang?” tanya Agus dari seberang telepon. “Terima kasih, Pak Agus. Bisakah Bapak mengirimkannya ke rumah sakit Harapan Bunda?” tanya Ariana. “Rumah sakit? Apakah terjadi sesuatu?” suara Agus terdengar khawatir. “Bukan hal yang serius,” ucap Ariana. Terdengar helaan napas Agus dari seberang saluran telepon Ariana, “ Baiklah, aku mengerti.” Agus menutup sambungan teleponnya. Sementara Ariana merasa sedikit lega. Setidaknya, dia sudah mengambil langkah kecil untuk mendapatkan kebebasannya. Dia pun kembali berbaring di atas tempat tidurnya dengan nyaman menunggu kedatangan Agus. Namun setelah satu jam mengunggu, bukan Agus yang datang melainkan Nicholas, suaminya. Pria itu tampak kesal sembari melempar sebuah amplop ke atas tubuh Ariana yang tengah berbaring. Ariana yang terkejut, meskipun nyawanya belum terkumpul semua, dia segera bangkit dan mengambil amplop tersebut. “Hebat! Kau sampai membuat surat seperti itu,” sindir Nicholas dengan nada dingin, matanya menatap tajam ke arah Ariana. Ariana menggenggam amplop itu dengan tangan gemetar. “Jadi pak Agus sudah memberitahumu ya,” lirihnya. Nicholas mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar Ariana, matanya menyapu setiap sudut dengan tatapan menghina. “Apakah kau tidak lelah berpura-pura menjadi gadis polos tak berdosa?” tanyanya dengan nada meremehkan. Ariana menatap Nicholas tidak mengerti. “Apa maksudmu?” tanyanya. Nicholas mendekat, menatap Ariana dengan tatapan tajam. “Jika kau ingin bercerai dariku, lakukan saja. Jangan membuat drama seperti ini,” ucapnya dengan nada penuh kebencian. Ariana merasakan luka di hatinya semakin dalam. “Aku akan melakukannya, jika aku bisa,” balasnya dengan suara yang lirih namun tegas. Kemudian dia memasang wajah lelahnya. “Kumohon, ajukan gugatan cerai, dan aku tidak akan muncul lagi di dalam kehidupanmu,” Nicholas terdiam sejenak, menatap Ariana dengan ekspresi yang sulit diartikan. Kemudian dia berjalan mendekat, memegang dagu Ariana dengan keras, membuat istrinya itu menatap langsung ke mata dinginnya. "Aku tidak akan pernah menceraikanmu. Apa yang akan kau lakukan?" tantangnya. Ariana merasakan ketakutan merayapi tubuhnya, tetapi dia berusaha tetap tegar. "Mengapa? Bukankah kau sangat membenciku?" Nicholas melepaskan cengkeramannya dan tertawa kecil. "Kau memainkan peranmu sebagai istri Nicholas Ethan dengan baik. Mengapa aku harus melepaskanmu?" Ariana menahan air mata yang hampir jatuh. "Tidakkah kau mencintai wanita itu? Kau bisa bebas bersamanya." Nicholas tersenyum miring."Menurutmu, saat ini aku tidak bisa bebas bersama wanita yang kusuka?” Otak Ariana tersadar setelah mendengar pertanyaan retoris yang dilontarkan Nicholas. Sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Jawabannya sudah jelas. Pria itu bebas berkencan dengan Katrina. Bahkan suaminya itu terang-terangan menunjukkan perhatiannya kepada Katrina di depannya. “Kau pria berengsek!” jerit Ariana. Nicholas hanya mengangkat alis, tidak terpengaruh oleh ledakan emosi Ariana. "Kau tahu, Ariana Claire, kemarahanmu hanya membuang-buang energi." “Apa kau juga tidur dengan Katrina?” tanya Ariana. Nicholas tertawa sinis. “Mengapa? Apakah kau masih memimpikan tidur denganku?” balasnya dengan dingin. Pertanyaan Nicholas mengingatkan Ariana tentang tindakan agresifnya dulu yang menggoda Nicholas. Dia mengutuk dirinya yang pernah melakukan hal yang memalukan demi menarik perhatian Nicholas agar menyentuhnya. Membayangkan Nicholas tidur dengan Katrina selama ini, Ariana menelan ludah, merasa sakit hati. "Itu menjijikan," ucapnya dengan suara rendah, nyaris berbisik.Ariana duduk di sebuah kafe yang cozy, di tengah-tengah perbincangan serius dengan dua temannya sesama dosen. Tanpa sepengetahuan Nicholas, Ariana sudah hampir dua tahun bekerja sebagai dosen di salah satu universitas swasta. Di depan mereka, masing-masing membuka laptop yang menampilkan dokumen proposal pengabdian yang sedang mereka rencanakan. Namun, pikiran Ariana melayang jauh dari topik yang sedang dibahas. Sudah sebulan sejak kecelakaan itu, kakinya telah sembuh, tetapi sakit hatinya karena perselingkuhan suaminya belum juga pulih. "Aku pikir kita bisa memfokuskan pengabdian ini pada pemberdayaan ekonomi perempuan di desa terpencil," kata Diana, salah seorang teman Ariana yang merupakan dosen di program studi ekonomi. Ariana hanya mengangguk setuju, padahal pikirannya melayang. Perasaan kecewa dan pengkhianatan yang mendalam masih menyelimuti hatinya. Dia mencoba untuk mengikuti diskusi, tetapi suara Diana terdengar jauh dan teredam. Tiba-tiba, Sarah, seorang dosen hukum di u
Dengan napas yang berat, Nicholas mencoba menenangkan diri. Dia berdiri dan membuka jendela ruang kerjanya lebar-lebar. Angin malam sejuk yang masuk, mengurangi rasa panas yang membara dalam tubuhnya. Setelah beberapa menit menikmati angin malam, Nicholas ke minibar ruang kerjanya. Dia mengambil botol air dan meminumnya dengan tegukan besar, berharap cairan dingin bisa menenangkan gejolak dalam dirinya. Karena rasa resah belum juga hilang sepenuhnya, Nicholas menjatuhkan diri ke lantai dan mulai melakukan push-up. Satu, dua, tiga... hingga dua puluh kali, dia terus mendorong tubuhnya. Setelah selesai, dia berguling ke samping dan melakukan sit-up, merasakan otot perutnya tegang. Aktivitas yang menguras energi itu sedikit membantu menenangkan tubuhnya. Merasa lelah berolah raga, Nicholas berusaha untuk menyanyikan lagu kebangsaan untuk mengalihkan pikiran kotornya. Setelah beberapa waktu, efek obat mulai mereda. Nicholas merasa lebih tenang dan bisa mengendalikan dirinya. Dia tersen
Dulu, Ariana begitu merindukan sentuhan Nicholas dengan penuh keinginan. Namun, setelah apa yang baru saja dia alami, perasaan itu berubah menjadi kebencian yang mendalam. Seakan-akan cinta yang dulu memenuhi hatinya telah berganti dengan amarah dan kekecewaan.Ariana, yang sebelumnya tidak pernah melakukan hubungan intim, tidak yakin apakah rasa sakit yang dirasakannya adalah normal dalam hubungan suami istri atau karena Nicholas yang telah terlalu kasar. Dia menangis dalam kebingungan, bertanya-tanya apakah ini yang seharusnya dia rasakan.Dia meringkuk di tempat tidur Nicholas, tubuhnya gemetar. Air mata mengalir tanpa suara di pipinya. Setiap tarikan napasnya terasa menyakitkan, seolah oksigen yang dihirupnya menusuk dadanya. Rasa nyeri yang tak terlukiskan menjalar dari seluruh tubuhnya, membuatnya merasa rapuh seperti kaca yang retak.Air matanya yang mengalir tanpa henti sudah membasahi bantal yang dia peluk erat. Pikirannya berkabut, bercampur antara ketidakpercayaan dan keng
Sembari menunggu bibi Helen menyiapkan sarapan, Ariana yang masih berselonjor di tempat tidur meraih laptopnya dari meja kecil di samping tempat tidur. Jari-jarinya yang ramping dengan cekatan mengetik kata kunci 'firma hukum perceraian' di mesin pencari. Dia harus segera mengakhiri pernikahannya dengan Nicholas. Setelah ketahuan selingkuh, suami dinginnya itu sekarang sering melakukan kekerasan kepadanya. Ariana tidak bisa lagi mentolerir kekerasan yang dialaminya. Layar laptop menampilkan berbagai pilihan firma hukum. Dia mengklik satu per satu, membaca ulasan, dan melihat profil pengacara. Ariana tidak bisa menggugat cerai dan meninggalkan rumah Nicholas tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Dia tidak ingin ada pertikaian dengan Ibu mertua yang tetap mempertahankannya sebagai menantu sesuai dengan perjanjian mereka. Sebuah firma hukum dengan ulasan positif menarik perhatiannya. Dia mengklik laman kontak dan mulai mengetik pesan singkat untuk meminta konsultasi. Saat dia akan men
Jauh dari keramaian, Ariana duduk di salah satu bangku taman kampus yang teduh, setelah selesai memberi kuliah. Suara riuh mahasiswa yang bercengkrama dan berjalan tergesa-gesa menuju kelas terdengar samar di kejauhan. Bangunan-bangunan bergaya arsitektur modern berdiri kokoh di sekeliling Ariana. Ariana serius menatap layar ponselnya, mata cokelatnya yang tajam fokus pada angka di laman MBanking-nya. Nominal saldo yang tertera masih utuh, sama seperti sebelumnya. Keningnya berkerut, bibirnya terkatup rapat. Dia menimbang-nimbang untuk memindahkan uang pemberian Nicholas selama pernikahan mereka ke rekening pribadinya atau membiarkannya tetap di sana.Jika dia memindahkan uang itu, Nicholas mungkin akan semakin mencemoohnya. Tapi, apa dia benar-benar akan pergi begitu saja dengan tangan kosong? Setelah dua tahun menikah? Hati Ariana berdesir, mengenang masa-masa pahit yang telah ia lalui. Setiap cemoohan, setiap kata kasar yang terlontar dari mulut Nicholas terbayang kembali. Perasaa
Kepala Ariana semakin berdenyut. Bertambah hal yang tidak bisa diterimanya. Suaminya memiliki wanita lain. Keluarganya yang menemui Nicholas tanpa sepengetahuannya kini menuntut penjelasan kepadanya.Meminta maaf untuk apa? Meminta maaf karena selama ini mereka telah memanfaatkan keluarga kaya itu?Dengan tatapan kosong, Ariana bangkit dari duduknya. “Farrel, cobalah cari pekerjaan lain. Mungkin jadi tukang ojek dulu, sampai bisa dapat yang pasti,” katanya kepada adik lelakinya yang berselisih 4 tahun darinya. Lalu Ariana menoleh ke arah Eric. “Paman bisa menyewa gedung lain. Bukankah usaha paman berjalan dengan lancar?” “Kami memanggilmu, bukan untuk mendengar ceramahmu. Pergilah bujuk dan rayu suamimu! Jangan keras kepala, dan sok idealis!” ketus Eric dengan tajam.“Paman…?”“Ana…,” Ratih mencoba menjadi penengah dengan ragu. “Pamanmu benar, pergilah untuk berbicara baik-baik dengan nak Nicholas. Farrel sebentar lagi akan menikah dengan pacarnya. Mencari pekerjaan sekarang ini sul
Rachel dan Ariana tiba di rumah kakeknya Nicholas, sebuah rumah tua yang megah dengan taman yang luas. Pintu depan yang besar dan kokoh terbuka, mempersilahkan keduanya masuk. Di ruang tamu, Katrina duduk dengan anggun di sofa, mengenakan gaun elegan berwarna pastel. Senyum manis terpancar dari wajahnya yang cantik, matanya bercahaya saat dia tertawa mendengar cerita kakek Nicholas. Di sebelahnya, nenek Nicholas duduk dengan sikap anggun, pandangannya penuh kasih sayang saat melihat Katrina. Mereka semua tampak terlibat dalam percakapan yang hangat dan akrab. Rachel dan Ariana berjalan menyela masuk, dan menyapa dengan sopan. "Kalian datang," kata nenek Nicholas dengan suara lembut namun ada nada dingin di dalamnya. Rachel tersenyum tipis. "Apa kabar, Mom? Rachel membawakan madu Sidr. Rachel sengaja pergi ke Yaman untuk membeli madu ini untuk Papi dan Momi,” terangnya sembari memberikan buah tangan yang dibawanya ke salah seorang pelayan yang berdiri di sana. Nenek Nicholas mena
Setelah menerima informasi dari supir Nicholas yang pergi menjemput suaminya itu di bandara, keesokan malamnya Ariana menunggu kepulangan Nicholas di ruang tamu,. Ada banyak pertanyaan di benaknya yang ingin dia tanyakan kepada Nicholas. Tentang keluarganya, tentang Katrina yang ternyata dalam proses pemulihan. Pintu terbuka, dan Nicholas melangkah masuk, terlihat lelah namun tetap berkarisma. Bibi Helen membawakan koper Nicholas ke kamar, sementara Nicholas hanya melirik Ariana sekilas sebelum melewatinya begitu saja menuju kamarnya. Ariana mengikutinya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Nicholas berhenti di depan pintu kamarnya dan berbalik, menatap Ariana dengan tatapan tajam. "Kau ingin menyiapkan air hangat untukku mandi?" tanyanya dengan nada sinis. Ariana terbengong, tidak mengerti arah pembicaraan Nicholas. "Ya?" jawabnya ragu. "Atau kau menginginkan tubuhku lagi?" lanjut Nicholas, matanya menyipit menatap Ariana. "Apa?!" Ariana merasa terkejut dan tersingg