Sejak malam Nicholas melakukan kekarasan kepadanya, Ariana memutuskan untuk pergi pagi-pagi buta agar tidak bertemu dengan suaminya itu. Dia bangun lebih awal dan sudah mengurung diri di kamar sebelum Nicholas pulang, berharap bisa menghindari berpapasan dengan suaminya. Sudah tiga hari Ariana tidak bertemu dengan Nicholas.
Namun, bayangan kejadian malam itu terus menghantuinya hingga membuat penyakit asam lambungnya kambuh. Ariana memutuskan untuk pergi menemui dokter di rumah sakit. Setelah menemui dokternya, Ariana berjalan menuju loket farmasi untuk mengambil obatnya di lantai satu. Rasa cemas yang semakin membebani pikirannya, membuatnya penasaran apakah Nicholas sudah mengajukan gugatan cerai atau belum. Di tengah perjalanan, dia menghubungi Agus, pengacara Nicholas untuk menemukan jawabanya. "Pak Agus, ini Ariana. Apakah Nicholas sudah mengajukan gugatan cerai?" tanya Ariana dengan hati-hati setelah Agus menjawab panggilan teleponnya Di ujung saluran telepon, Agus menjawab dengan suara tenang, "Aku tidak menerima instruksi apapun dari Nicholas mengenai perceraian," Ariana terdengar kecewa dengan jawaban Agus. "Baiklah, terima kasih, Pak Agus." Agus merasakan nada kekecewaan dalam suara Ariana, tetapi dia tidak bisa terlalu berterus terang kepada Ariana karena Nicholas adalah kliennya. Untuk menunjukkan sikap netralnya, Agus pun menawarkan bantuan. "Ariana, jika ada sesuatu yang bisa kubantu, kau bisa memberitahuku." Ariana berpikir sejenak. Dia hampir mengakhiri teleponnya, tetapi sebuah ide muncul di benaknya. "Pak Agus, bisakah Bapak membuatkan surat pernyataan bahwa aku tidak akan menuntut apapun jika Nicholas menggugat cerai diriku?" Agus sedikit terkejut dengan permintaan aneh Ariana, tetapi lekas dia menjawab, "Tentu saja, Ariana. Aku bisa membuat surat itu. Apakah kau ingin aku mengirimkannya langsung ke Nicholas atau memberikannya padamu terlebih dahulu?" "Tidak. Aku akan mengambilnya sendiri," jawab Ariana. “Baiklah, aku akan memberitahumu jika suratnya telah selesai.” “Terima kasih.” Ariana memutuskan sambungan teleponnya. Dia yakin jika dia menandatangani surat itu, Nicholas pasti akan langsung setuju untuk mengajukan gugatan cerai. Dengan sedikit beban terangkat dari pundaknya, Ariana melanjutkan perjalanannya menuju lantai satu rumah sakit. Namun, tiba-tiba Ariana berpapasan dengan Katrina di depan pintu lift saat dirinya sedang menunggu pintu lift terbuka. Katrina duduk di kursi roda, ditemani oleh seorang wanita. Itu pertama kalinya mereka berhadapan langsung sejak Ariana menikah dengan Nicholas. Berbeda dengan Ariana yang tidak nyaman, Katrina tersenyum lembut. "Ariana? Apa kabar?" sapa Katrina dengan ramah. Ariana terkejut dengan sikap ramah yang diberikan Katrina. "Aku baik-baik saja." Senyum semakin lebar di wajah Katrina melihat Ariana yang jelas terlihat tidak nyaman bertemu dengannya. "Mengapa kau ada di sini?" Ariana mencoba tersenyum, dan berbohong, "Membesuk seorang teman." “Semoga temanmu cepat sembuh." Katrina tampak menerima jawaban itu tanpa curiga. Ariana mengangguk. "Terima kasih," jawabnya singkat. Dia masih terkejut dengan sikap ramah Katrina. Mereka sudah mengenal satu sama lain sejak SMA. Nicholas, dan keduanya alumni dari SMA yang sama. Katrina selalu merendahkan Ariana karena bisa bersekolah di SMA elit yang dikhususkan untuk kaum borjuis. Ariana, sebagai putri dari seorang buruh biasa, bisa bersekolah di sana berkat sponsor dari perusahaan tekstil milik Rachel. Kebijakan perusahaannya memberikan beasiswa untuk anak karyawan yang berprestasi. “Apakah aku bisa meminta waktumu sebentar?” Katrina tiba-tiba bertanya dengan serius bersamaan dengan pintu lift yang terbuka di hadapan mereka. Ariana memperhatikan beberapa orang yang mulai berkeluaran dari dalam lift. Dia tentu saja ingin segera meninggalkan Katrina, Namun tidak bisa menolak permintaan wanita itu. Mereka berdua akhirnya duduk di salah satu meja kantin rumah sakit. Untuk beberapa saat, tidak ada yang memulai pembicaraan. Ariana memperhatikan Katrina yang meneguk tehnya dengan anggun. Di sini, wanita itu adalah selingkuhan suaminya, tetapi mengapa Ariana merasa dirinya yang seperti pelakor? Emosi dan rasa bersalah bercampur aduk di dalam diri Ariana. Dia merasa dadanya terasa sesak. Ariana tidak pernah berharap akan berbicara dengan Katrina dalam keadaan seperti ini. Meskipun dulu dialah orang ketiga yang disisipkan Rachel ke dalam hubungan Nicholas dan Katrina, tetapi sekarang dia adalah istri sah dari Nicholas. Ariana menarik napas dalam, dan dengan tegas menatap Katrina. "Apa yang ingin kau bicarakan denganku?" tanyanya dengan tenang. Katrina dengan lembut menatapnya, ekspresi wajahnya yang seperti itu membuat Ariana semakin bingung. “Aku dengar kau ingin bercerai dengan Nico.” Pernyataan Katrina membuat Ariana heran. Mengapa Katrina mengetahui tentang itu? Dia mencurigai Nicholas yang sudah memberitahu Katrina. Dua tahun ini, dia hidup bak di tengah gurun pasir bersama Nicholas, kosong tidak berwarna. Dan sekarang mendengar bahwa Nicholas telah berbagi cerita pribadi mereka dengan Katrina membuatnya merasa semakin terasing. “Apakah itu karena ku?” Katrina lanjut bertanya dengan percaya diri. Nadanya bicaranya lembut, namun memberikan kesan cemoohan yang kuat. Ariana tersenyum menutupi gelombang panas di hatinya. “Benar, aku ingin bercerai. Tetapi suamiku itu tidak ingin berpisah denganku. Tidak bisakah kau membantuku untuk membujuknya?” Katrina mengangguk, matanya tetap menatap Ariana dengan penuh empati. "Aku tidak bisa membantumu karena aku tidak ingin kalian berpisah. Percayalah, aku selalu ingin menjalin persahabatan denganmu, Ariana." Apakah waktu bisa mengubah seseorang? Tidak menurut Ariana. Dia hampir terhipnotis oleh suara manis Katrina, tanpa kilatan masa lalu Katrina yang pernah merundungnya di SMA terlintas di benaknya. Ariana tidak mengerti apa yang membuat Nicholas, yang dulu terkenal selalu dingin sejak SMA itu, jatuh cinta pada Katrina. Apakah benar Katrina telah berubah menjadi wanita yang berhati lembut setelah lulus SMA? Apakah kebakaran yang terjadi 7 tahun lalu saat acara kelulusan SMA mereka, telah mengubah Katrina dan Nicholas? Ariana meremas lengannya ngilu mengingat kejadian yang mengerikan itu. Dia juga menjadi korban dalam kebakaran itu. Ariana melirik jam tangannya, dia sengaja ingin memperlihakan pada Katrina bahwa dia tengah diburu oleh waktu. “Senang bertemu denganmu di sini Katrina. Tetapi aku harus pergi karena ada janji dengan seseorang,” ucap Ariana sembari berdiri, mengabaikan pernyataan manis Katrina tentang persahabatan. Melihat Ariana yang hendak pergi, Katrina lekas menjalankan kursi rodanya. “Oh apakah aku menyita banyak waktumu? Maafkan aku,” ucapnya bernada tulus. “Tidak apa-apa, bye Katrina.” “Tunggu, Ariana. Sepertinya ponselku tidak ada padaku. Bisakah kau mengantarku ke pakiran? Sepupuku menungguku di sana,” pinta Katrina dengan wajah manisnya yang memelas. “Kursi rodaku kehabisan baterai,” imbuhnya. Ariana mengamati Katrina sejenak. Apakah dia orang yang kejam karena meninggalkan orang yang memiliki keterbatasan seperti Katrina? “Baiklah,” Ariana berjalan mendekati Katrina, dan mulai mendorong kursi roda wanita itu. Mereka tiba di pakiran yang di arahkan oleh Katrina. Namun saat hendak menyebrang, Katrina menghentikan tangan Ariana yang mendorong kursi rodanya. “Terima kasih, sampai di sini saja. Aku bisa sendiri. Mobilku ada di sana,” kata Katrina sembari menunjuk ke arah mobil hitam yang terpakir di seberang mereka. “Apakah kau yakin?” tanya Ariana sembari melihat kesekeliling area pakiran yang luas dan tenang. “Baiklah,” katanya kemudian setelah yakin Katrina akan baik-baik saja. Tanpa menunggu Katrina yang katanya ingin melanjutkan perjalanannya sendiri, Ariana berbalik ke arah gedung rumah sakit. Dia belum mengambil obatnya. Bersamaan dengan itu, Ariana mendengar deru mesin mobil yang tidak lazim dari kejauhan. Mobil itu terlihat sedang menuju ke arah Katrina. Sontak jiwa kemanusiaan yang dimiliki oleh Ariana membuatnya berlari untuk menolong Katrina. Namun, di luar nalar, di saat detik-detik terakhir, mobil tersebut malah menargetkan Ariana untuk ditabrak. “Akh!!” BRAK!!! Kecelakaan yang di luar nalar itu pun tidak bisa dihindari oleh Ariana. Sementara Katrina tersenyum sesaat sebelum menjatuhkan dirinya bersama kursi rodanya ke aspal. **Ariana terbaring di sebuah kamar rawat rumah sakit. Tadinya dia hanya mengeluhkan asam lambungnya. Tidak menyangka dirinya justru berakhir menjadi pasien rawat inap di rumah sakit tersebut. Sebenarnya dia bisa langsung pulang setelah mendapat perawatan dokter, tetapi dengan keadaannya yang sulit berjalan, Ariana tidak ingin pulang. Dia meminta untuk dirawat di rumah sakit. Meskipun mengalami luka ringan, kakinya terkilir cukup parah akibat insiden tabrakan itu. Seeorang perawat yang membawa Ariana dari ruang IGD memastikan pergelangan kaki Ariana yang terbalut perban baik-baik saja, sebelum dia pergi. Ariana merasakan rasa nyeri di kakinya yang membengkak, tetapi lebih dari itu, dia merasa syok dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Pikirannya melayang ke insiden itu, bagaimana mobil itu tiba-tiba menyerangnya. Sambil mencoba menenangkan diri, Ariana melihat keluar jendela rumah sakit yang menghadap ke sebuah gedung tinggi. Dia melihat pantulan awan yang bergerak perlahan-lahan
Ariana duduk di sebuah kafe yang cozy, di tengah-tengah perbincangan serius dengan dua temannya sesama dosen. Tanpa sepengetahuan Nicholas, Ariana sudah hampir dua tahun bekerja sebagai dosen di salah satu universitas swasta. Di depan mereka, masing-masing membuka laptop yang menampilkan dokumen proposal pengabdian yang sedang mereka rencanakan. Namun, pikiran Ariana melayang jauh dari topik yang sedang dibahas. Sudah sebulan sejak kecelakaan itu, kakinya telah sembuh, tetapi sakit hatinya karena perselingkuhan suaminya belum juga pulih. "Aku pikir kita bisa memfokuskan pengabdian ini pada pemberdayaan ekonomi perempuan di desa terpencil," kata Diana, salah seorang teman Ariana yang merupakan dosen di program studi ekonomi. Ariana hanya mengangguk setuju, padahal pikirannya melayang. Perasaan kecewa dan pengkhianatan yang mendalam masih menyelimuti hatinya. Dia mencoba untuk mengikuti diskusi, tetapi suara Diana terdengar jauh dan teredam. Tiba-tiba, Sarah, seorang dosen hukum di u
Dengan napas yang berat, Nicholas mencoba menenangkan diri. Dia berdiri dan membuka jendela ruang kerjanya lebar-lebar. Angin malam sejuk yang masuk, mengurangi rasa panas yang membara dalam tubuhnya. Setelah beberapa menit menikmati angin malam, Nicholas ke minibar ruang kerjanya. Dia mengambil botol air dan meminumnya dengan tegukan besar, berharap cairan dingin bisa menenangkan gejolak dalam dirinya. Karena rasa resah belum juga hilang sepenuhnya, Nicholas menjatuhkan diri ke lantai dan mulai melakukan push-up. Satu, dua, tiga... hingga dua puluh kali, dia terus mendorong tubuhnya. Setelah selesai, dia berguling ke samping dan melakukan sit-up, merasakan otot perutnya tegang. Aktivitas yang menguras energi itu sedikit membantu menenangkan tubuhnya. Merasa lelah berolah raga, Nicholas berusaha untuk menyanyikan lagu kebangsaan untuk mengalihkan pikiran kotornya. Setelah beberapa waktu, efek obat mulai mereda. Nicholas merasa lebih tenang dan bisa mengendalikan dirinya. Dia tersen
Dulu, Ariana begitu merindukan sentuhan Nicholas dengan penuh keinginan. Namun, setelah apa yang baru saja dia alami, perasaan itu berubah menjadi kebencian yang mendalam. Seakan-akan cinta yang dulu memenuhi hatinya telah berganti dengan amarah dan kekecewaan.Ariana, yang sebelumnya tidak pernah melakukan hubungan intim, tidak yakin apakah rasa sakit yang dirasakannya adalah normal dalam hubungan suami istri atau karena Nicholas yang telah terlalu kasar. Dia menangis dalam kebingungan, bertanya-tanya apakah ini yang seharusnya dia rasakan.Dia meringkuk di tempat tidur Nicholas, tubuhnya gemetar. Air mata mengalir tanpa suara di pipinya. Setiap tarikan napasnya terasa menyakitkan, seolah oksigen yang dihirupnya menusuk dadanya. Rasa nyeri yang tak terlukiskan menjalar dari seluruh tubuhnya, membuatnya merasa rapuh seperti kaca yang retak.Air matanya yang mengalir tanpa henti sudah membasahi bantal yang dia peluk erat. Pikirannya berkabut, bercampur antara ketidakpercayaan dan keng
Sembari menunggu bibi Helen menyiapkan sarapan, Ariana yang masih berselonjor di tempat tidur meraih laptopnya dari meja kecil di samping tempat tidur. Jari-jarinya yang ramping dengan cekatan mengetik kata kunci 'firma hukum perceraian' di mesin pencari. Dia harus segera mengakhiri pernikahannya dengan Nicholas. Setelah ketahuan selingkuh, suami dinginnya itu sekarang sering melakukan kekerasan kepadanya. Ariana tidak bisa lagi mentolerir kekerasan yang dialaminya. Layar laptop menampilkan berbagai pilihan firma hukum. Dia mengklik satu per satu, membaca ulasan, dan melihat profil pengacara. Ariana tidak bisa menggugat cerai dan meninggalkan rumah Nicholas tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Dia tidak ingin ada pertikaian dengan Ibu mertua yang tetap mempertahankannya sebagai menantu sesuai dengan perjanjian mereka. Sebuah firma hukum dengan ulasan positif menarik perhatiannya. Dia mengklik laman kontak dan mulai mengetik pesan singkat untuk meminta konsultasi. Saat dia akan men
Jauh dari keramaian, Ariana duduk di salah satu bangku taman kampus yang teduh, setelah selesai memberi kuliah. Suara riuh mahasiswa yang bercengkrama dan berjalan tergesa-gesa menuju kelas terdengar samar di kejauhan. Bangunan-bangunan bergaya arsitektur modern berdiri kokoh di sekeliling Ariana. Ariana serius menatap layar ponselnya, mata cokelatnya yang tajam fokus pada angka di laman MBanking-nya. Nominal saldo yang tertera masih utuh, sama seperti sebelumnya. Keningnya berkerut, bibirnya terkatup rapat. Dia menimbang-nimbang untuk memindahkan uang pemberian Nicholas selama pernikahan mereka ke rekening pribadinya atau membiarkannya tetap di sana.Jika dia memindahkan uang itu, Nicholas mungkin akan semakin mencemoohnya. Tapi, apa dia benar-benar akan pergi begitu saja dengan tangan kosong? Setelah dua tahun menikah? Hati Ariana berdesir, mengenang masa-masa pahit yang telah ia lalui. Setiap cemoohan, setiap kata kasar yang terlontar dari mulut Nicholas terbayang kembali. Perasaa
Kepala Ariana semakin berdenyut. Bertambah hal yang tidak bisa diterimanya. Suaminya memiliki wanita lain. Keluarganya yang menemui Nicholas tanpa sepengetahuannya kini menuntut penjelasan kepadanya.Meminta maaf untuk apa? Meminta maaf karena selama ini mereka telah memanfaatkan keluarga kaya itu?Dengan tatapan kosong, Ariana bangkit dari duduknya. “Farrel, cobalah cari pekerjaan lain. Mungkin jadi tukang ojek dulu, sampai bisa dapat yang pasti,” katanya kepada adik lelakinya yang berselisih 4 tahun darinya. Lalu Ariana menoleh ke arah Eric. “Paman bisa menyewa gedung lain. Bukankah usaha paman berjalan dengan lancar?” “Kami memanggilmu, bukan untuk mendengar ceramahmu. Pergilah bujuk dan rayu suamimu! Jangan keras kepala, dan sok idealis!” ketus Eric dengan tajam.“Paman…?”“Ana…,” Ratih mencoba menjadi penengah dengan ragu. “Pamanmu benar, pergilah untuk berbicara baik-baik dengan nak Nicholas. Farrel sebentar lagi akan menikah dengan pacarnya. Mencari pekerjaan sekarang ini sul
Rachel dan Ariana tiba di rumah kakeknya Nicholas, sebuah rumah tua yang megah dengan taman yang luas. Pintu depan yang besar dan kokoh terbuka, mempersilahkan keduanya masuk. Di ruang tamu, Katrina duduk dengan anggun di sofa, mengenakan gaun elegan berwarna pastel. Senyum manis terpancar dari wajahnya yang cantik, matanya bercahaya saat dia tertawa mendengar cerita kakek Nicholas. Di sebelahnya, nenek Nicholas duduk dengan sikap anggun, pandangannya penuh kasih sayang saat melihat Katrina. Mereka semua tampak terlibat dalam percakapan yang hangat dan akrab. Rachel dan Ariana berjalan menyela masuk, dan menyapa dengan sopan. "Kalian datang," kata nenek Nicholas dengan suara lembut namun ada nada dingin di dalamnya. Rachel tersenyum tipis. "Apa kabar, Mom? Rachel membawakan madu Sidr. Rachel sengaja pergi ke Yaman untuk membeli madu ini untuk Papi dan Momi,” terangnya sembari memberikan buah tangan yang dibawanya ke salah seorang pelayan yang berdiri di sana. Nenek Nicholas mena