Pagi sekali Faruq dan Iqbal olah raga bermain bola di halaman depan rumah. Aku dan ibu memasak menyiapkan sarapan. Aku melihat mereka bedua mandi keringat. Setiap orang yang lewat depan rumahku selalu terpana dengan ketampanan bapak dan anak itu. "Ayo sudah istirahat dulu, setelah itu mandi kemudian sarapan!" usulku. "Adik sudah bangun, Umi?" tanya Iqbal, "Sudah, Sayang," jawabku. "Dia baru saja mandi. Makanya Kak Iqbal juga cepetan mandi terus main sama adik," lanjutku. "Fahim, hari ini kita jadi ke Imigrasi bukan" tanya Faruq. Aku kelabakan harus menjawab apa, padahal aku memutuskan untuk tidak ikut ke Inagara. Tapi aku takut melukai hati Faruq. "Fahim!" panggil Faruq karena melihat aku melamun. "Iya," jawabku reflek. "Apa hari ini kita jadi ke Imigrasi membuatkan paspor untuk Erkan?" tanya Faruq mengulangi. "Kita bicarakan nanti, kita sarapan dulu, Tuan muda," jawabku menghindar. "Apa itu artinya kamu mulai berubah pikiran, Fahim?" tanya Faruq kecewa. "Tuan muda, aku har
Dret ... dret ... dret! Ponsel Faruq terus bergetar, ternyata Marwa yang menelepon. "Angkatlah, Tuan muda!" saranku. "Tidak, Fahim, biarkan saja!" tolak Faruq. Mobil mulai menyusuri jalanan, hatiku semakin hancur membayangkan Erkan waktunya minum asi. Membayangkan dia rewel saat mengantuk, membayangkan dia kelaparan. Tangis meronta pun tidak terkendalikan lagi. "Bagaimana kalau mereka membunuh anakku, Tuan muda?" tanyaku lirih di sela tangisku. "Kamu jangan menyiksa dirimu sendiri dengan pikiran yang tidak-tidak, Fahim!" ketus Faruq. "Aku seorang ibu, terpisah dengan bayiku, tidak setiap orang bisa memahaminya, Tuan muda," runtukku. "Mungkin kamu benar, tapi paksalah berpikir positif agar kamu punya kekuatan untuk terus mencarinya, Fahim!" usul Faruq. Dret ... dret ... dret ...! Ponsel Faruq bergetar, Iqbal yang menelepon. "Iya Iqbal, ada apa?" jawab Faruq yang on lewat speaker mobil sehingga aku pun dapat mendengarkannya. "Abi, Umi Marwa meminta kita sekarang juga pulang.
Aku mengamatinya dan terdorong untuk semakin mendekatinya. Tak sadar kakiku melangkah mendekatinya. "Fahim, ada apa?" tanya Faruq heran. "Umi?" panggil Iqbal. Faruq dan Iqbal mengejar dan meraih tanganku. Aku terhenti tapi pandanganku tak berkedip. "Apa kamu mencurigainya?" bisik Faruq. "Itu sepatu Erkan," kataku sambil menunjuk anak kecil yang sedang digendong seorang wanita muda. Aku melihat anak kecil yang digendong dengan dibungkus rapat dengan selimut. Sejenak sempat minder karena disampingnya ada empat orang bodyguard dengan badannya yang tegap dan tinggi besar. "Dia Erkan, Tuan muda!" teriakku. "Berhenti!" teriakku kemudian dengan lantang. Semua orang menoleh ke arahku dan sontak menghentikan langkah mereka. Tanpa ragu lagi aku berlari menghampirinya sambil berteriak memanggil nama anakku. "Erkaaaaaaan!" panggilku. Spontan empat orang bodyguard pasang badan melindunginya. Mereka berdiri berjajar melindungi wanita yang menggendong anak kecil itu. "Ada apa?" tanya sa
Aku menyaksikan bapak dan anak itu tergolek tak berdaya demi Erkan anakku. Hatiku teramat hancur, rasa sakit ini tidak terlihat oleh mata tapi rasanya tidak terlukiskan. Sesampai di rumah sakit Iqbal langsung masuk ruang operasi. Muzammil yang panik dengan menggendong Erkan masuk ke ruang tindakan anak. Apakah terjadi sesuatu juga dengan Erkan? Bergegas aku berlari menghampirinya. Muzammil mondar-mandir di depan pintu ruangan, aku bisa melihat kepanikan di wajahnya. "Apa yang terjadi, Pangeran?" tanyaku penasaran. "Erkan tiba-tiba sulit bernapas, Sayang," jawab Muzammil sambil meraih tubuhku ke dalam pelukannya. "Bagaimana bisa?" pekikku tak percaya. Aku berusaha menarik tubuhku dari pelukan Muzammil. Tapi dia semakin kuat menahanku seolah takut aku bergejolak. "Tenangkan hatimu, Zhee!" bisik Muzammil di telingaku. "Kenapa mereka menghukum orang-orang yang tidak bersalah? Bukankah harusnya aku yang mereka sakiti?" gerutuku disela Isak tangisku. "Aku berjanji siapapun yang memb
Tak berselang lama seperti ada kekuatan baru yang mengalir ke tubuhku. Saat terbangun aku melihat Muzammil tertidur di ranjang pasien bersamaku. Tangan kekarnya melingkar di tubuhku. Tak jauh dari tempat tidurku, terbaring Erkan di box bayi. Oh syukurlah, Erkan baik-baik saja. Bagaimana dengan Iqbal dan abinya?Perlahan aku menggeser tangan Muzammil, tapi justru membangunkannya."Kamu sudah bangun, Zhee?" tanyanya dengan memicingkan matanya. "Kamu mau kemana?" tanya Muzammil kemudian."Aku mau melihat Iqbal dan tuan muda, Pangeran," jawabku."Mari kuantar!" tawar Muzammil."Kamu tunggu Erkan saja, Pangeran, aku takut ada yang berniat jahat lagi kepadanya," pintaku."Kamu lupa bukan saja kamarnya, bahkan rumah sakit ini sudah dijaga ketat oleh pengawal istana," jawab Muzammil menenangkan.Akhirnya Muzammil mendampingiku datang ke kamar Iqbal. Aku menatap pilu anakku yang malang menjadi korban kejahatan orang yang tak dikenal."Pangeran, aku harus mencarikan donor darah golongan B+ untu
Tiba-tiba dokter dan perawat gadungan itu keluar dari kamar sambil menggendong paksa Erkan. Dia menconcongkan pistol ke kepala Erkan mengancam kalau kita mengadakan perlawanan maka peluru itu akan menebus kepala Erkan. "Apa yang kalian inginkan sebenarnya? Kenapa harus menghukum bayi yang tidak berdosa? Kalau urusan kalian kepadaku atau pangeran ayo kita selesaikan kita bicara," usulku. Dua orang penjahat itu tidak merespon justru semakin kelihatan garang. Mereka semakin lari menjauh mencari jalan keluar. Yang membuat aku penasaran apa yang mereka inginkan. Kenapa selalu ingin menculik Erkan? Aku ingin lari mengikutinya, tapi sontak Muzammil menarik tanganku dan menghentikanku. "Tenangkan hatimu, Zhee!" pinta Muzammil. "Bagaimana bisa tenang, anakku dalam bahaya? Setelah hilang beberapa hari kini harus diculik lagi," tangisku menggerutu. "Dia sudah mulai berjalan keluar rumah sakit, awasi dan ikuti terus jangan sampai kehilangan jejak!" perinta Muzammil lewat telepon kepada sese
Kita bertiga mendatangi kamar dimana penyusup itu dirawat. Dia masih belum sadarkan diri. Di depan pintu masuk ada empat bodyguard sedang berjaga."Dia sepertinya orang Indonesia, Fahim," gumam Faruq lirih. "Betul, Tuan muda," jawabku setuju dengan pendapat Faruq. "Tapi untuk siapa dia bekerja, apa salahku?" lanjutku meruntuk. "Kita tidak mengenalnya, bahkan aku dan ibu tidak punya musuh di sini," lanjutku sambil mengingat-ingat.Tiba-tiba dokter datang bersama perawat untuk memeriksa pasien."Pak Faruq, kenapa bapak tidak istirahat malah jalan-jalan kemari," tanya dokter begitu bertemu Faruq sedang berada di kamar pasien lain."Iya Dokter, sebentar lagi saya kembali ke kamar," jawab Faruq."Dokter Farid yang menangani anda adalah dokter terkenal di Indonesia, semoga bisa membantu masalah anda, Pak Faruq," kata dokter Bagus."Amiin," sahut Faruq dan Muzammil bersamaan."Bagaimana keadaan pasien ini, Dok?" tanya Muzammi."Keadaannya sudah stabil, dia akan segera sadar," kata dokter op
Muzammil menarik tanganku dan mengajak ke ruang keamanan. Aku hanya pasrah dan mengikutinya bahkan Faruq pun mengikuti kami berdua. "Jaga kamar anak-anakku, Burhan, jangan sampai kecolongan lagi!" pesan Muzammil sambil mempercepat langkahnya menyempatkan menghubungi bodyguard yang menjaga kamar Iqbaal dan Erkan. "Aku takut anak-anak dalam masalah, Pangeran!" sahutku. "Atau biar aku yang menunggu mereka, Zammil?" usul Faruq. "Iya, Faruq, tolong!" jawab Muzammil. Akhirnya Faruq berhenti sejenak karena terlalu lemah fisiknya, dan kami pun juga berhenti mengikuti Faruq. "Kamu baik-baik saja, Faruq?" tanya Muzammil. "Aku hanya capek," jawabnya singkat dibalik napasnya yang berpacu. "Pangeran, bolehkah aku mengantar Tuan muda ke kamarnya? Kasihan dia pucat sekali," pintaku dengan pelan agar pangeran tidak cemburu. Aku melihat dia sedang berpikir, aku tidak tahu apa yang ada dalam otaknya.Tapi aku lebih kasihan melihatnya tampak kesakitan dan melemah. "Tidak perlu, Fahim, aku tidak