Malam hari, di rumahnya, Aditama mendapatkan panggilan masuk dari Heru. Ia pun segera menggusap layar dan menempelkan ponsel di telinga. "Aku ingin melaporkan jika Edwin baru saja pergi, Tuan Muda." ujar Heru di sebrang sana begitu panggilan terhubung. "Jika Tuan Muda ingin mengecek kamarnya, maka, sekarang lah waktunya." Aditama mengerjap mendengar hal itu. "Oke, Kak Heru." Sahut Aditama cepat. Dia kemudian menambahkan. "Tunggu aku di bawah. Aku akan segera ke sana." "Baik, Tuan Muda." "Ngomong-ngomong ... apakah dia memberitahumu hendak ke mana dia pergi?" tanya Aditama lagi. "Tidak, Tuan Muda." Jawab Heru. "Dia tidak bilang mau pergi ke mana padaku." Aditama menghela napas. Ia lalu lanjut berkata. "Tapi kau sudah menyuruh anak buahmu untuk mengikutinya, 'kan?" "Sudah, Tuan Muda. Tuan Muda tidak perlu khawatir. Selama ini aku mau pun anak buahku selalu mengikuti dan mengawasi gerak gerik Edwin." Rahang Aditama mengeras sembari manggut-manggut. "Bagus."Panggilan b
Di salah satu ruangan perusahaan, tampak Robert dan Andika sedang berbincang dengan seorang pria berseragam polisi. Robert memperbaiki posisi duduk, menatap pria berseragam polisi yang ada di depanya itu untuk beberapa saat. "Anda bisa melindungi kami jika Laksana nekat menyebarkan data-data tentang kejahatan yang kami lakukan, 'kan Pak Gunar?" ucap Robert dengan rahang mengeras diikuti tatapan keingintahuan Andika. Polisi bernama Gunar itu mengangguk seraya mengulas senyum. "Sangat bisa, Tuan Robert dan Tuan Andika," jawabnya menatap keduanya bergantian. "Saya pastikan kalian akan tetap aman jika seandainya data-data yang dipegang Tuan Laksana Gandara saat ini akan tersebar ke publik." Lanjutnya penuh keyakinan. Seketika Robert dan Andika saling pandang, lantas saling melempar senyum. Setelah pembicaraan terakhir kali dengan Aditama, yang membuat mereka berdua lega dan senang karena Aditama bersedia menyerahkan data-data itu. Akan tetapi, hal tersebut malah membuat mereka b
Aditama semakin dibuat bingung. Namun jangan pikir Edwin bisa melakukan hal demikian. Tentu ia tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ia akan menggagalkan rencana jahat Edwin ini! Mata Aditama lalu menutup seiring ia yang masih mencoba mencerna rencana jahat yang akan Edwin lakukan terhadap orang-orang yang ia sayangi. Alih-alih ia yang sedang menghadapi musuhnya yang tak lain dan tak bukan adalah Robert dan Andika—yang masih belum selesai juga—tapi kini harus ditambah musuh lagi, mirisnya dari orang dalam! Di sisi lain, ia masih shock bukan main. Pasalnya, ia benar-benar tak menyangka jika orang kepercayaan keluarganya, orang yang sudah ia anggap seperti saudara sendiri, pun sang Ayah sudah mengambilnya, dari dia tak punya apa-apa, menjadi mempunyai segalanya sekarang. Dari bukan siapa-siapa, menjadi ketua tukang pukul yang disegani dan ditakuti. Tapi ... apa balasan Edwin terhadap keluarganya? Dia malah akan menikam keluarganya dari belakang? Akan melenyapkan oran
Setibanya di rumah keluarga besar Gandara, Ricard langsung menemui Aditama dan menceritakan semua informasi yang ia dapatkan. "Tahun itu, di kampung mereka terjadi penyerbuan oleh sekelompok orang yang berkuasa karena orang-orang di kampung itu menolak untuk bergabung dengan mereka, Tuan Muda ... tapi ada pula yang bilang juga karena ada pengkhianat di sana, ada pula yang bilang jika karena perebutan wilayah. Maka, kelompok preman, mafia itu menghabisi beberapa orang-orang di kampung itu." "Banyak orang yang meninggal, salah satunya adalah kedua orang tua dan kakaknya Edwin. Sebagian ada yang selamat, melarikan diri dalam penyerangan itu. Sedangkan adiknya Edwin itu pada saat kejadian berlangsung sedang tidak ada di rumah. Dia sedang di rumah saudaranya. Jadi, dia tidak tahu persis bagaimana penyerbuan itu terjadi. Hanya mendengar cerita dari orang-orang saja." "Dan sejak saat itu, Edwin bertekad untuk mencari dan membunuh orang yang telah membunuh keluarganya, Tuan Muda.""Wakt
Selesai berbincang dengan Ricard, Aditama langsung mencari keberadaan sang Ayah untuk bertanya dan memastikan kebenaranya. Ia menemukan sang Ayah sedang berada di ruangan berisi puluhan mobil-mobil mewah koleksinya berjejer rapi yang memanjakan mata—yang sudah seperti showroom mobil saja. Melihat kedatangan anak laki-lakinya, Laksana Gandara langsung mengajaknya ngobrol tentang mobil-mobil itu. Aditama memilih menanggapinya lebih dulu walau tidak terlalu antusias karena pikiranya saat ini sedang terfokus sepenuhnya dengan masalah yang sedang ia hadapi. Baru setelah agak lama, ia memotong perkataan sang Ayah dengan mengatakan jika ada yang hendak ia bicarakan padanya.Laksana Gandara tidak berpikir macam-macam, segera mengajak Aditama duduk. Keduanya duduk bersebelahan di kursi yang ada di tepi tembok ruangan tersebut. "Apakah Papa sudah tahu kalau Edwin berkhianat dari kita, Pa?" tanya Aditama dengan pandangan kosong, memulai pembicaraan. Usai mengatakan hal itu,
Laksana Gandara spontan berdiri seraya berkacak pinggang. "Katamu ... Edwin yang telah membocorkan tempat rahasia kita ... dan tukang pukul yang telah kita tangkap sebelumnya ternyata hanya dijadikan kambing hitam saja oleh mereka?" tanya pria paruh baya itu dengan rahang mengeras, pandanganya lurus ke depan, tanpa menoleh ke arah anak laki-lakinya. Mendengar itu, Aditama yang masih duduk di kursinya mengiyakan. Ia baru saja memberitahu tentang hal itu kepada sang Ayah. Selama sesaat, Laksana Gandara berpikir. "Sudah jelas, Tam. Jika Robert dan Andika menggunakan Edwin dan mungkin mereka berdua berbohong kepada Edwin soal kematian keluarganya dengan menuduh Papa sebagai pelakunya karena kami masih menjadi partner bisnis pada waktu itu. Makanya, Edwin hendak membalaskan dendamnya kepada keluarga kita!" seru Laksana Gandara dengan gigi gemeretak, berpikir demikian. Aditama mangguk-mangguk dengan rahang mengeras, setuju dengan apa yang baru saja dikatakan oleh sang Ayah.
Aditama baru saja selesai mandi saat Vania tiba-tiba berjalan mendekat ke arahnya seraya menahan senyum. Memiliki firasat tidak enak, Aditama menelan ludah. Kalau sudah begitu, pasti Vania akan meminta sesuatu! Tapi yang penting, jangan sesuatu yang dapat membuatnya khawatir saja. "Ada apa, sayang?" Aditama memutuskan bertanya. Akan tetapi, Vania tidak langsung menjawab, malah menggoyang-goyangkan badanya sembari memainkan jari jemarinya, kepalanya tertunduk, seperti hendak mengatakan sesuatu tapi ragu. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Vania mendongak menatap sang suami dan berujar. "Aku ... ingin gado-gado, sayang." "Kamu ingin gado-gado? Sekarang?" ucap Aditama hati-hati hendak memastikan ia tidak salah dengar. "Ya sekarang, Tama. Tidak mungkin kan aku ingin gado-gado besok, tapi aku bilang padamu sekarang?" Mendengar hal tersebut, Aditama menampilkan cengiran lebar. Ia lalu tersenyum. "Ya sudah. Nanti aku akan suruh koki untuk membuatkan—" Seketika Vani
Proses penyelidikan yang dilakukan oleh pihak polisi terhadap kasus penggelapan dana di perusahaan milik keluarga Hermanto yang dilakukan oleh sang Presiden Direktur—Bastian—kini telah selesai yang menetapkan Bastian sebagai tersangka utama. Ditambah ada empat karyawan yang ternyata ikut terlibat. Nama baik keluarga Hermanto, juga perusahaan dan Bastian sendiri menjadi semakin tercemar kala perselingkuhan Bastian mencuat ke publik. Hal yang ditakutkan pun menjadi kenyataan, Susan akhirnya mengugat cerai Bastian yang membuat rumah tangga Bastian menjadi berantakan. Kini Bastian harus merelakan dirinya meringkuk di dalam sel penjara dengan masa hukuman selama lima tahun. Mengetahui kabar tersebut, Aditama sangat puas karena akhirnya ia bisa membalas kejahatan yang selama ini paman dan keluarganya perbuat kepadanya. Di saat yang sama, merasa tenang karena dengan begitu, istrinya tak akan dipusingkan dengan masalah itu lagi karena masalah itu sudah selesai sekarang. Hal tersebut