Aditama menatap Robert dan Andika satu persatu dengan ekspresi wajah datar nan dingin. Dia kemudian berkata. "Om Robert dan Om Andika, 'kan? Yang telah membunuh kedua orang tua dan kakaknya Edwin?" Sontak, mata Robert dan Andika kompak membulat! Kali ini mereka berdua benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Hal tersebut tentu tak lepas dari pengamatan Aditama. Detik berikutnya, mereka berdua saling pandang. Seakan saling tanya. Memberikan kode dengan gerakan mata. Bagaimana Aditama bisa tahu hal itu? Melihat Robert dan Andika bersikap demikian, Aditama tersenyum miring. Ia sudah tahu jawabanya hanya dari melihat reaksi keduanya. Selagi mereka berdua terdiam kaget, Aditama kembali angkat suara. "Walau sebenarnya aku sudah tahu semuanya, Om. Tapi, aku ingin mendengar pengakuan dari Om Robert dan Om Andika secara langsung yang katanya tidak pernah marah dan dendam sedikit pun kepada keluarga kami dan menginginkan anak-anak Om berhubungan baik denganku tapi
Aditama langsung menggeram marah setelah mendengar penjelasan mereka berdua. Akan tetapi, ia menahan segala amarah yang tengah menguasai dirinya. Aditama menatap mereka berdua dengan dingin dan tetap tenang. Dia kemudian berkata. "Kenapa kalian tega melakukan hal itu pada Papaku? Kenapa kalian tega menjadikan Papa kambing hitam atas perbuatan keji kalian itu?!" Kemudian, ia menggeleng. "Aku benar-benar kecewa dengan kalian berdua! Aku tidak menyangka dibalik sikap baik dan ramah kalian kepadaku ... ternyata ... " Aditama bersikap seolah terlihat kecewa dan melankonis—sebagaimana respon semestinya. "Itu karena Papamu sok suci, Tam. Kolot. Menentang kami dan memilih jalannya sendiri!!!" teriak Andika murka. "Makanya, kami ingin memberi pelajaran pada Papamu!" Mendengar hal tersebut, Aditama menoleh, menatap Andika. Tapi tidak membalas apa-apa. Membiarkan Andika bicara sesuka hati. Sementara Andika sudah tidak peduli lagi, merasa sudah tidak perlu bersikap sok baik dan perhati
DOR! DOR! DOR! Dari arah luar, terdengar suara tembakan yang menyalak. Di saat yang sama, terdengar bunyi jeritan, teriakan dan mengaduh kesakitan. Mendengar hal tersebut, Robert dan Andika kembali memaki-maki. Semakin meradang. Menduga jika tukang pukulnya bernasib sama seperti kaki tangan mereka. Sudah pasti jika yang datang adalah anak buahnya Aditama. Tuan Muda keluarga Gandara itu tidak benar-benar datang ke sini seorang diri. Sementara Aditama menghembuskan napas lega. Itu pasti anak buahnya yang ia tugaskan untuk naik ke lantai atas, menjemput sekaligus melindungi dirinya sudah sampai. Mereka pula yang pasti telah membersihkan tukang pukul yang berjaga di luar ruangan. Sejauh ini, rencananya berhasil. Tinggal ia keluar dari gedung kasino ini saja. Selagi Robert dan Andika sibuk memutar otak, mencari penerangan, senjata, Aditama bergegas keluar dari ruangan itu. Tiba di luar, Aditama melihat para tukang pukul yang berjaga di luar ruangan, yang tadi m
Melihat kedatangan Edwin, Ricard dan disusul para anak buah mereka di belakang setelahnya masuk ke dalam ruangan, tiga orang yang tengah berada di ruangan itu seketika terperanjat. Edwin refleks bangkit dari tempat duduknya. Mendadak, ketiganya tercengang. Mencerna apa yang sedang dilihatnya, hendak memastikan bahwa orang-orang itu adalah orang-orangnya keluarga Gandara. Di saat yang sama, benak ketiga orang itu langsung dipenuhi banyak pertanyaan. Bagaimana mereka bisa tahu ruangan rahasia ini? Kenapa mereka bisa menemukannya? Kenapa tiba-tiba mereka datang ke sini? Selagi ketiga orang itu membeku di tempat masing-masing, perhatian Heru teralihkan dengan keberadaan sosok Arumi dan Haikal di ruangan tersebut. Mendadak, amarah langsung menguasai dirinya. Ternyata Edwin bekerja sama dengan mereka berdua! Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Heru kembali melemparkan tatapan mematikan ke arah Edwin. "Tak kusangka ... kau ternyata bekerja sama dengan mereka berdua, Wi
"Tuan Muda, Tuan Besar memohon pada Anda untuk kembali dan meneruskan takhta pewaris Keluarga!"Di parkiran rumah sakit pusat kota, seorang pria tua dengan jas hitam dan koper di tangan terlihat sedang berbicara dengan sosok pemuda berpakaian sederhana cenderung lusuh.Aditama, pemuda yang dipanggil tuan muda itu, menatap marah ke arah sang pria tua. "Sudah kukatakan berkali-kali, jangan mencoba mencariku lagi! Aku sudah bukan bagian dari keluarga Gandara!" Suara Aditama meninggi dan wajahnya mengeras. Dari cara dia berniat kembali masuk ke dalam rumah sakit, kentara pemuda itu tidak ingin kembali diajak bicara. Namun, pria tua bernama Panji itu tidak menyerah. Dia menghadang jalan Aditama dan menggenggam tangan pemuda tersebut. "Tuan Muda, kondisi kesehatan Tuan Besar tidaklah baik, dia sekarang membutuhkan Anda sebagai pewaris keluarga Gandara!" Mendengar itu, Aditama mengeraskan rahang. "Setelah apa yang ia lakukan padaku dan ibu, sekarang dia memintaku kembali?! Apa dia masih
"Lihatlah menantu Luis itu, sungguh tidak tahu diri!""Datang ke pesta, tapi malah meminta uang. Dasar tidak tahu malu!"Semua orang langsung mencemooh Aditama yang masih bergeming di hadapan kakek Hermanto. Namun, Aditama tidak peduli. Demi ibunya, dia akan melakukan apapun, bahkan jika itu menjual harga dirinya sendiri!Kakek Hermanto tiba-tiba mengangkat tangannya, membuat tawa cemoohan dan olok-olok itu seketika berhenti.Kakek Hermanto menatap tajam Aditama. "Aditama, kau tahu bukan kau tak boleh menampakkan wajahmu di acara keluarga ini?" tanya pria tua itu."Aku tahu, Kek. Tapi saat ini aku sangat membutuhkan bantuan Kakek," ucap Aditama. "Ibuku akan melakukan operasi dan aku membutuhkan uang dua miliar."Dua miliar?!Anggota keluarga Hermanto lain langsung kasak-kusuk mendengar nominal yang diajukan Aditama.Bagi mereka, pemuda yang dijuluki menantu tidak berguna itu hanya ingin memeras dan menipu kakek Hermanto!Dengan pekerjaannya yang hanya sebagai kuli bangunan, bagaimana
"Maaf, Kek. Tapi istriku bukan barang yang bisa diperjualbelikan. Demikian, aku tidak akan menceraikannya untuk uang!" ucap Aditama penuh keyakinan. Semua orang terbelalak, begitu pula dengan Vania. Tidak pernah dia melihat sang suami bersikap begitu keras!Sebelumnya, setiap kali direndahkan dan diremehkan, Aditama tak pernah melawan. Namun, ketika hubungan mereka dipertaruhkan, ternyata Aditama bisa mengambil sikap yang pantas! Sementara itu, para anggota lain keluarga Hermanto menjadi marah karena balasan Aditama."Dasar tidak tahu diri! Dikasih hati malah minta jantung.""Cuma disuruh menceraikan dan melepaskan Vania saja kok susah! Demi dua miliar dan nyawa ibunya loh?!""Sekarang menolak, nanti dia yang akan kembali sambil bersujud untuk uang itu!"Mendengar komentar-komentar keji itu, Aditama menatap satu persatu anggota keluarga Hermanto dengan saksama. Sampai akhirnya, pandangannya berhenti pada Kakek Hermanto."Karena tidak bisa menerima bantuan, aku pamit terlebih dahulu,
Ucapan Panji membuat Aditama terkejut. Dia menautkan alis. "Bukankah kamu berada di pihak ayahku? Kenapa kamu memberikan saran seperti itu padaku?"Mata Panji menutup seiring dia menggelengkan kepala. Dia kemudian berkata, "Saya adalah kepala urusan rumah tangga keluarga Gandara. Saya hanya memikirkan yang terbaik untuk keluarga Gandara."Aditama memicingkan matanya, lalu mendengus dingin. "Gila." Dia berbalik, lalu pergi meninggalkan Panji.**Keesokan harinya, setelah operasi selesai dan berjalan lancar. Aditama tampak tengah memegang tangan sang ibu yang masih tertidur lelap. Wajah wanita paruh baya itu tampak jelas membaik.Mencium tangan ibundanya, Aditama berkata, "Ibu, cepatlah sembuh ...." Kemudian, wajahnya berubah sedikit murung. "Maafkan putramu yang tidak berguna dan harus menggunakan uang pria itu ...."Selagi Aditama tengah memandangi wajah sang ibu, tiba-tiba ponselnya bergetar. Dia segera mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana dan melihat nama sang istri terpamp