SummerSeptember 2015Aku bernafas bebas. Tiap kali aku melangkah dan menjelajah bersamanya. Jonathan Finch, namanya. Bocah laki-laki yang dari dulu hingga kini masih saja menjadi favoritku untuk bermain bersama. Tiap kali langkahku berderap ringan, adrenalinku memuncak, jiwaku bergemuruh antusias, dan darahku berdesir. Aku adalah aku, saat bersamanya. Bebas merajuk sekaligus terkekeh sampai jelek. Tak masalah melotot dan berdebat dengannya. Tak masalah bergelayut padanya ketika butuh kenyamanan.Ketika ia mengaitkan jemarinya padaku, aku tahu aku tak sendiri. Ia menggenggamku bersamanya. Ajaibnya, segala sakit, perih, dan kecemasan yang kurasakan hilang seketika. Seakan potongan-potongan diriku yang rapuh dan hampir pecah melekat kembali seketika saat ia bersamaku, terlebih saat ia merengkuhku. Seperti contohnya kini, saat aku berjalan kembali ke sekolah bersama Jon. Seharusnya aku memikirkan segala tentang Cloud, keretakan menyakitkan di antara kami yang terjadi begitu cepat serta k
Summer September 2015 "Masalahnya bukan begitu! Sulit buatku melupakannya." Rubby berdecak setelah mendengar curahan hatiku. Ia tak tahu lagi harus berkata apa agar aku benar-benar lepas dari galau hati terhadap Harry. Ia jadi sebal dengan sepupunya itu. Bisa-bisanya memutuskan jatuh cinta dengan gadis SMA yang ternyata murid di kelasnya. Aku. "SANGAT MELANGGAR ATURAN!" Begitu pekiknya tadi. Aku sadar itu pelanggaran berat. Tapi, hati tak pernah memilih. Tak pernah memaksa. Mengingat kisahku dan Cloud. Itu seperti mimpi indah dan mimpi buruk. Ada rindu dalam diriku. Mengingatnya membuatku pedih. Sekarang ia bersikap naik turun, semaunya sendiri. Sementara aku, berusaha keras tidak memikirkan gejolak tentangnya, pun berusaha keras menjauhkan diri dari keinginan menjadikan Jon sebagai pelarian semata. Sejauh ini Rub mengambil kesimpulan bahwa Harry belum bisa melepaskan diriku seutuhnya, meskipun situasi mengharuskannya bertindak demikian. Kami berdua masih bungkam. Belum melanju
Summer September 2015 Malam itu Jon datang tanpa peringatan. Ia ingin bercengkrama denganku. Dan dengan konyol mengusir Rub pulang dari rumahku. Rub tak menggubris. Ia dengan santai menonton tv dan bercanda bersama ibuku. Hal yang membuatku melongo setengah mati. Tanpa pikir panjang Jon menyeretku keluar dari sana. Rub dan mom hanya melambaikan tangan padaku sembari cekikikan. Aku tak habis pikir bagaimana bisa keduanya dengan cepat bisa berkomplotan. Jon mengajakku duduk di undakan beranda. Menikmati angin malam terakhir di musim panas. Ia membawakanku sebotol jus jeruk dingin. Aku menegaknya dengan senang hati. Ia mengeluarkan sebuah rubik dari saku. Rubik yang tidak terlalu besar. "Kau ingat?" ia menatapku sejenak, lalu memainkan benda itu. "Yeah..." aku tersenyum padanya. "Mainan yang membuat resah hilang sejenak." Ia terkekeh. "Roxie tidak pernah bisa menyelesaikannya, sebanyak apapun aku mengajarinya. Rupanya kau lebih pandai..." Aku tersenyum hangat padanya. "Kau mulai
SummerSeptember 2015Dadaku bergemuruh. Entah apa yang kurasakan ini. Aku ingin langsung menghambur padanya, tapi aku merasa sejenak harus menahan diri. Kakiku tetap berpijak di undakan.Cloud masih bersandar di badan mobil mengamatiku. Menunggu persetujuanku untuk mendekat. Aku masih tak mampu berucap, jadi aku hanya mengangguk. Dan senyum menawan yang paling kurindukan itu terlukis di rupanya.Jadi, ia berjalan mendekat. Sekarang ia yang duduk di sampingku di undakan beranda. Dan, aku tak tahu Jon mengamatiku dari tempatnya berada atau tidak. Kalaupun ia mengamatiku sekarang duduk dengan Cloud, aku harap ia tak sekalut biasanya."Hai..." cowok di sampingku itu membuka percakapan.Aku hanya mencoba tersenyum.Ia menghela nafas. "Maaf sudah membuat sulit semuanya."Aku hanya menggeleng. Masih tak tahu harus berkata apa.Aku tahu ia masih mengamatiku, menunggu respon baikku. Tapi, aku masih menatap anak tangga di bawah kakiku. Belum mampu menatapnya dengan jarak sedekat ini. Aku takut
JonSeptember 2015Aku menunggunya setengah jam dari bel waktu pulang berdering. Masih bersandar di pintu mobilku dan mengamati setiap siswa yang keluar dari pintu hall depan sekolah.Roxie melambaikan tangan dari kejauhan. Ia tersenyum simpul, kukira ia akan mendekatiku. Tapi setelahnya, ia melangkah ke arah lain, melambaikan tangan dengan langkah riang ke seorang lain di jalan luar sekolah. Ia masuk ke sebuah suv hitam dengan seorang cowok mengemudi di sampingnya. Entah mengapa aku penasaran dan merasa tak suka melihatnya."Hai..." sapa suara itu di hadapanku. Summer entah sejak kapan sudah ada di sana. Mengikuti pandanganku yang barusan."Kita akan membahas itu atau tidak?""Tidak." jawabku singkat. "Apakah hari ini lancar?"Summer mengangguk. Ia melambaikan dua kertas di hadapanku. A untuk sebuah tes Biologi dan B+ untuk tes agriculture. Aku otomatis membeliak. "Sejak kapan kau ambil mata pelajaran pilihan itu?!""Kau kan tahu aku suka ilmu alam. Ada biologi dan fisika. Dan seper
SummerSeptember 2015Mengambil jeda dan melihat semuanya dengan kepala lebih jernih memang perlu. Membawaku ke titik ini. Setelah gemuruhku lebih terkontrol, tidak ada yang ingin aku lakukan selain mengamankan suasana hati Jon saat ini. Bila yang lalu aku takut menjadi dekat dengannya adalah sebuah kesalahan, kali ini aku merasa itu pengecualian. Aku hanya ingin berperan sebagaimana seorang sobat menghibur hatinya yang pelan-pelan tergores. Dan Jon sendiri, kurasa, tidak menyadari hatinya yang sedang tidak baik-baik saja. Dan itu malah membuatku sedikit bernafas lega. Setidaknya perkataan Ruby waktu itu ada benarnya. Aku bukan inti dari hatinya.Empat puluh lima menit berlalu dari awal kami duduk di Crossfire. Sepuluh menit setelah menyantap menu, aku rasa sudah cukup untuk angkat kaki dari sini. Aku menatap Jon yang sedari tadi berusaha menyembunyikan gelisahnya. Tepat saat ia meneguk kolanya untuk terakhir kali dan pandangan kami bertemu, aku pun mengangguk padanya. Ia menyambut kod
JonSeptember 2015Gadis itu mendadak terhenti. Langkahnya membeku. Sorot mataku mengikuti arah pandangannya di depan, di seberang sudut parkir mobilku. Cloud-nya memeluk seorang perempuan.Saat ini, hanya satu hal yang ingin kulakukan. Menyelamatkannya dari sini. Kuraih pundaknya, dan menuntunnya dengan cepat memasuki jok penumpangAku memutar ke arah pintu kemudi. Sebelum masuk, sekali lagi mengamati Harrison Garret. Dadaku bergemuruh. Tempo hari ia mengirimkan pesan gencatan senjata dan menyuruhku menjaga Summer, tapi kali ini ia membuatku ingin mencekiknya. Apa-apaan kelakuannya itu. Harry menyadari keberadaan kami. Ia melepaskan pelukannya dari cewek di hadapannya itu. Bahasa tubuhnya ingin segera menghambur ke arahku. Tapi, kuacungkan jari tengah padanya. Aku masuk dan membanting pintu menutup. Kuinjak pedal kuat-kuat, mencap gas pergi dari sana."Brengsek!" umpatku.Sorot Summer masih nampak syok. Tertuju ke depan. Memandang kejauhan di depan kaca jendela mobil. Kuyakin pikiran
CLOUDNovember 2015Sudah sebulan dan ia tak lagi memandangku seperti sebelumnya. Aku pun berusaha keras untuk mengabaikan. Sekeras apapun itu, setiap kali ia melewati mejaku di kelas dan keluar menuju kelas lain tanpa menatapku sama sekali, aku ingin lunglai."Sum..." panggilku saat tiap kali ia melewatiku.Ia meninggalkan senyum tipis dan berlalu.Terkadang aku masih menyimpan harap. Saat mengetahui ia berlama-lama bertahan duduk di bangkunya, memilih waktu terakhir sampai semua murid di kelas keluar, baru ia bangkit meninggalkan tempatnya. Aku sadar ia memperhatikanku, berlama-lama. Mungkin menyedot segala kesempatan untuk menatapku, sebelum akhirnya harus berjauhan. Saat aku merekahkan senyumku untuknya, ia malah menunduk dan pergi. Pupus harapku. Selalu seperti itu, kembang kempis.Atau saat ia mengumpulkan tugas-tugasnya dan berlama-lama menunggu responku. Bertanya-tanya sudahkah itu benar, apakah ada yang kurang, bagian mana yang perlu dikoreksi, saat aku mendongak fokus memper