Namun, Angi merasa bingung, bagaimana cara memanggil Ki Slamet. Karena, biasanya Ki Slamet lah yang selalu datang kepadanya.
"Gimana ya cara panggilnya?" tanyanya pada diri sendiri.
Angi memandangi ponselnya. "Seandainya ia bisa di telepon. Hufftt!" ucapnya.
"Haruskah?"
"Haruskah memanggilnya dengan ritual itu?" ucapnya.
Angi yang kebingungan tak tahu harus memulai dari mana untuk menyiapkan ritual itu. Keluarganya memang keturunan paranormal namun Angi tak pernah sedikitpun melirik bagaimana cara melakukannya.
"Ahh, mungkin aku panggil saja langsung namanya. Dia selalu disampingku pasti dia mendengarku," ujarnya dalam hati.
"Assalamualaikum Ki," ucapnya. "Maaf, Ki, saya boleh minta tolong? Bisakah aki hadir disini?"
"Dasar anak jaman sekarang! Panggil aku dengan sopan!" suara Ki Slamet menggema di kamarnya.<
Angi membalasnya dengan senyum. Ia membuka undangan berwarna merah itu. Dalam undangan itu tertulis bahwa ia mengundang Angi untuk datang ke salah satu Caffe tak jauh dari indekosnya. Dalam undangan itu pula tersimpan sebuah souvenir kalung emas untuknya. Tak sedikitpun Angi tergoda untuk materi yang ia berikan itu. Namun, ia akan tetap datang untuk memenuhi undangannya tersebut. Angi lantas memberi tahu Adhimas perihal isi undangan merah itu. Tentu saja, sebuah rencana untuk menangkapnya sudah disiapkan. Caffetaria. Pukul 07.00 malam. Angi datang sendiri ke Caffe tersebut tanpa ditemani Adhimas. Ia berjalan masuk dengan percaya diri. Langkahnya menuntunnya menuju meja 014. Sebuah tempat yang sudah di booking sehari sebelumnya. Meja 014 masih kosong. Rupanya Rusyd belum ada di tempat. "Hei! Lama nunggu ya?" suara yang tidak asing ditelinganya. "Oh. Baru saja sampai kok," sahutnya. "Aku baru saja
Matahari bersinar begitu cerah. Langit membiru tanpa ada beban. Hari ini suasana terasa berbeda. Harapan dan doa semua orang terwujud. Jakarta, saat ini, sedang bergembira. Tak ada lagi kekhawatiran akan ancaman pembunuhan. Begitu pula dengan kehidupan Angi dan Adhimas. Mereka menjalani rutinitas sehari-hari seperti biasa setelah kejadian di gudang restauran itu. Kabarnya, restoran itu ditutup dan beralih lokasi di tempat berbeda, namun, masih di sekitar Jakarta. Konon katanya untuk menghindari bala. Menurut paranormal yang dipercaya, tempat itu sudah tidak baik lagi untuk melanjutkan usahanya. Hal tersebut dikarenakan telah terjadinya insiden percobaan pembunuhan pada seorang wanita. Hingga akhirnya, anak sulungnya tewas mendadak. Dalam satu hal, kedua orang tua Rusyd menyetujui pindah lokasi itu karena mereka merasa telah dipermainkan oleh kedua anaknya. Paranormal tersebut menceritakan kronologis kematian sang adik hingg
"Sulit sekali mencari dirimu. Bahkan aku mendapat kabar bahwa kau sudah meninggal," ucapnya. Angi hanya tersenyum mendengar ucapan Anto. Angi pun penasaran dari mana ia mendapatkan alamat tempat tinggal terbarunya saat ini. Selama ini, hanya Adhimas lah satu-satunya orang yang mengetahuinya.Anto menuturkan bahwa ia mendapatkannya dari seorang pemilik restoran bernama Tirto. Ia memberitahu cerita tentang anak sulungnya dan juga ingin sekali bertemu Angi untuk memberikan ucapan terima kasih. Saat Angi diminta menjadi saksi dari kejadian tersebut, saat itu pula ia meminta alamat tinggal dirinya. Ia memberitahu Anto itu semua ketika ia berkunjung ke restorannya yang baru saja pindah. Anto tak sengaja jika ia bertemu dengan seseorang yang mengenal Angi. Kebetulan yang sangat diidamkan, ia segera mencari tahu tentang Angi. Hingga akhirnya, saat ini, ia tiba di indekos Angi dan bisa bersantai lesehan di teras depan indekos
Anto terus mengerang kesakitan. Sebelah tubuhnya tak bisa ia gerakkan. Ia benar-benar kalah kali ini. Tak ada satupun yang datang menjenguknya. 'Tega sekali mereka' teriaknya membatin. Dalam keterpurukan, ia berjanji pada dirinya sendiri. Bahwa jika Tuhan mengizinkannya sembuh, maka ia akan membalaskan perlakuan biadab wanita gila itu. Semua kejanggalan ini tidak lain adalah hasil perbuatan gila keluarga itu. Ternyata, mereka selama ini mengawasi kehidupan Anto bersama keluarga barunya. Anto pun mengira perbuatannya itu tidak lain karena bisnis yang selama ini ia bangun sudah runtuh. Beberapa investor lamanya sempat berbincang tentang pailit hutang yang akhirnya membuat mereka gulung tikar. Semua aset perusahaan dijual demi menutup kerugian besar. Bahkan, barang-barang mewah milik pribadi pun turut melunasi hutang mereka yang selangit. Rumah mewah dan megah sudah tak lagi milik mereka. Anto sempat merasa miris dan terasa sedikit se
Hari itu menjadi hari bersejarah bagi Angi untuk memulai kehidupannya yang selama ini ia jauhi. Hari demi hari selalu ada saja orang yang datang ke indekosnya. Entah dari mana mereka mendapatkan informasi tentang dirinya. Bahkan, sempat satu rombongan dari suatu daerah pedalaman di Jakarta datang mengunjungi Angi. Berita tentang dirinya yang bisa mengobati berbagai penyakit tersebar dengan cepat hingga ke pelosok Jawa. Orang-orang jawa yang mengetahui Angi adalah keturunan jawa membuat mereka sangat mengaguminya. Mereka sangat berantusias untuk bertemu Angi dengan membawakan buah tangan dari kampung. Angi yang setiap harinya sibuk dengan pengobatannya. Ia sempat melupakan keberadaan Adhimas. Ia seperti terhipnotis dengan kegiatan terbarunya. "Assalamualaikum," ucap Adhimas ketika tiba di indekos Angi. Ia terkejut dengan orang-orang yang berkumpul di teras indekosnya. Ruangan yang sempit itu tak ada lagi celah untuk duduk bahkan
"Mungkinkah dia mau menerima penjelasanku?" Perasaan takut dan bimbang menghantuinya berkali-kali. Dengan berat hati ia menyampaikan berita tidak sedap ini kepada Adhimas yang masih di Jakarta. Adhimas tak menjawab apapun di sebuah perbincangan melalui telepon. Ia terdiam. Hanya helaan nafas yang mengaburkan suasana hening di malam itu. Setelah hari itu Adhimas menemuinya di indekos miliknya, ia tak menghubungi Adhimas sama sekali. Bahkan, bertegur sapa pun tidak dilakukannya. Entah apa yang dipikirkan Angi hingga ia sempat melupakan pria terbaik yang selalu ada di sisinya itu. Kini, penyesalan itu datang menghampirinya. Ia terjebak dengan keadaan. Dalam hatinya, ia ingin sekali menemui Adhimas dan membicarakan semuanya dengan baik. Namun, waktunya tak mungkin cukup. Nun jauh disana, Adhimas tak menyangka, mendengar kabar itu, hatinya bak di sambar petir. Air matanya mulai mengambang di u
Malam itu sangat mendukung pertemuan mereka. Bulan sebagai saksi dari indahnya cinta mereka. Adhimas membelai rambut wanitanya itu dengan sentuhan yang sangat manis. Ia memandangi wajah wantia itu yang akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Baru saja ia berpikir untuk merencanakan hari pernikahan mereka. Wanitanya itu pun bangun dan terkaget. Angi terkejut karena tak biasa saat bangun bersama seorang lelaki. Ia sempat menjauh dari dekapan Adhimas dan mengingat semua yang telah ia lakukan semalam.Ia sangat malu melakukannya. Karena kali ini pertama ia melakukannya dengan seorang laki-laki. Adhimas pun memahami kondisi Angi yang baru saja terbangun. Adhimas menghelakan senyum. Ia senang Angi bisa bersamanya saat ini. Ia pun mengungkapkan keinginannnya untuk melamar Angi secepatnya. Namun, Angi langusng terdiam dan tak menjawab sepatah katapun dari ucapan Adhimas. ”Kira-kira kapan hari yang pas untuk pelaksanaan pernikahan kita?” ucap Adhimas kepada
Malam itu, sosok lelaki di taman itu menghilang. Itu artinya ia harus segera menunaikan tugasnya yang sudah ia tinggalkan. Sosok itu sudah menyadarkannya pada lamunan masa depan bersama pria yang dicintainya itu. Kini, ia harus kembali pulang. Dengan perasaan berat ia harus meninggalkan tempat bersejarah pertemuan terakhirnya bersama Adhimas. Ia telah ikhlas bila pria yang dicintainya itu akan menemukan wanita lains sebagai pendampingnya. “Terima kasih Adhimas untuk semua yang telah kamu persembahkan untukku hingga malam ini,” ucapnya dengan menatap sebuah foto selfie yang ia ambil bersama Adhimas di penginapan. Titik-titik air matanya terjatuh lagi. Namun, kali ini ia segera menepisnya dengan jari tangan. Ia tak mau air matanya itu terkuras untuk sesuatu yang saat ini bukan miliknya lagi. Ia berlalu dengan menaiki sebuah mini bus kembali menuju rumahnya. Kursi yang masih berdesak-desakan terus bergulir silih berganti dengan penumpang ya