Angi semakin paham kapan kejadian itu tidak pergi mencari mangsa, yaitu setiap Selasa malam. Artinya hari ini istri Nugraha akan keluar mencari mangsa.
Angi pun berpamitan pada Nugraha, tapi dia sengaja membuat janji untuk bertemu pada malam harinya. Angi akan membawa mesin pompa air milik pamannya, yang kebetulan memang sudah rusak.
Dia sudah menyusun rencana untuk membongkar kelakuan istri Nugraha. Tapi sebelum menangkap basah perempuan jejadian itu, dia akan menjelaskan pada Nugraha mengenai risiko yang dihadapinya, jika terus beristrikan perempuan itu.
Malamnya, tepat seusai salat Magrib, Angi berangkat menuju rumah Nugraha. Dia membungkus mesin pompa air milik pamannya menggunakan karung.
Langit di atasnya terlihat memerah, sepertinya hujan akan turun malam ini. Tapi Angi sudah menyiapkan jas hujan sebagai langkah antisipasi.
Suara katak di pesawahan bersahutan, seolah memanggil hujan agar segera turun. Deru knalpot sepeda motor tua milik
Pagi ini, awan-awan putih berarak, melayang seperti kapas raksasa yang bermanja pada langit biru. Lembang bayu pun seperti berkolaborasi dengan mereka, mengembus sepoi-sepoi, membuat iringan awan berlenggak-lenggok genit menggoda. Matahari seolah tak rela, jika tak menggoda kesejukan yang tercipta oleh mereka. Awan-awan itu seperti mencoba melawan terik yang dipancarkan oleh mentari. Di Desa Kidul, Desa tempat tinggal paman Angi ini, banyak dari beberapa warganya sering berziarah ke Gunung Kemukus. Konon, pada malam satu suro yang merupakan pergantian tahun Jawa, menjadi momen terpenting di Gunung Kemukus sebagai tempat ritual. Peziarah rela menunggu berjam-jam antre untuk mendapatkan kesempatan nyekar di Makam Pangeran Samudra, tepat pada pergantian ribuan tahun Jawa. Tujuan mereka nyekar adalah untuk ngalap berkah. Yang dalam istilah Jawa, ritual pesugihan, itu untuk mencari kekayaan. Setiap peziarah yang datang j
Setelah Angi kembali dari Desa pamannya di Kidul, Angi membuka lagi ritual pengobatan mujarabnya. Namun, kali ini terasa beda. Tak seperti hari biasanya, para pasien datang berbondong-bondong untuk berobat bahkan hanya meminta petuah dari Angi untuk melaksakan usahanya. Siang ini, di panasnya terik Mentari. Datanglah seorang wanita cantik yang meminta untuk dilepaskan dari ikatan pesugihannya dengan Nyi Blorong. Sebut saja namanya, Lastri. Namun, yang lebih mengernyitkan dahi, sosok yang datang bukanlah manusia melainkan arwah sang pengikut Nyi Roro Kidul yang kabur dari singgasananya di laut kidul. Ini sungguh pekerjaan yang berat untuk Angi. Karena pesugihan adalah sebuah ikatan janji antara dua seorang manusia dengan makhluk gaib dengan syarat tertentu yang harus di penuhi. Bukan rahasia lagi banyak orang mengenal pesugihan Nyi Blorong yang mampu mewujudkan permintaan manusia dengan jalan bersekutu. Pesugihan Nyi Blorong paling banyak dibur
Tak cukup sampai disini. Pasien yang berbentuk sosok makhluk lain pun datang kepada Angi. Malam pun tiba. Tak disangka tamu yang datang tak terduga adalah siluman buaya. Tamu tak kasat mata ini tiba-tiba sudah berada di depan rumah Angi. Ia ingin meminta bantuan Angi untuk mengembalikan wujudnya kembali menjadi manusia. Siluman buaya yang bernama Jabar menjelaskan bahwa dirinya menyesal karena telah melanggar perjanjian dengan sang guru Spiritualnya. Ia melanggar peraturan bahwa dirinya tidak boleh mencintai wanita lain selain istrinya. Namun, karena kekayaan dan kejayaan telah membuatnya gelap mata sehingga ia melanggar perjanjian itu. Praktik pesugihan memang tidak bisa dilihat secara kasat mata karena kegiatan tersebut kebanyakan merupakan adalah ilmu gaib. Kendati demikian, pesugihan yang biasanya berniat memperkaya diri sendiri itu juga bisa dilihat dari beberapa pertanda. Dalam hal ini, biasanya harta yang didapatkan oleh pelaku
Aroma anyir itu semakin menusuk hidung, tapi Barok tidak memedulikan aroma itu. Dia terus melangkah menembus gelapnya malam. Di kanan dan kirinya, pohon-pohon besar menutupi cahaya rembulan. Sesaat kemudian, aroma anyir itu seperti berpadu dengan wangi kemenyan. Sebenarnya Barok merasa mual dengan perpaduan aroma itu. Tapi, dia harus melanjutkan perjalanannya, menuju kampung di ujung hutan ini. Suara binatang malam dan desir angin menemani langkahnya. Derit batang bambu yang saling bergesek tertiup angjn, membuat bulu kuduknya merinding. Ditambah lagi dengan bau tanah basah akibat hujan tadi sore, membuatnya sedikit bergidik. Namun semua hal itu, tidak menyurutkan langkahnya, untuk tetap berjalan menuju kampung di depan sana. Dia harus bertemu dengan orangtua kandungnya.Sejak kecil Barok tinggal bersama pasangan Pak Kasim dan istrinya. Hingga usianya menginjak 25 tahun, dia tidak tahu bahwa Pak Kasim dan istrinya bukan orangtua kandungnya. Pekan l
"Malam ini kamu istirahat di sini saja. Bapak lihat kamu sudah lelah. Ada kamar kosong di dalam. Dulu kamar itu ditempati oleh anak bapak, tapi sekarang dia kerja di kota," pria itu melanjutkan.Tidak lama kemudian, istri dari pria itu keluar sambil membawa secangkir kopi, dan sepiring pisang goreng yang masih hangat. Dia mempersilakan Barok untuk menikmati suguhannya.Barok dan pria itu akhirnya terlibat dalam obrolan, mulai dari jalanan menuju desa yang belum ada penerangan, hingga beberapa kisah mistis yang ada di kampung itu.Pria tua itu mengaku sebagai sahabat ayahnya, Pak Wijan. Keduanya, kata dia, beberapa kali membantu warga yang kena guna-guna maupun gangguan makhluk halus.Barok pun menceritakan apa yang pernah dikisahkan oleh Pak Kasim, orangtua angkatnya, tentang perjanjian antara bapak kandungnya, Pak Wijan dengan jin penunggu kampung, Ki Wira.Pria paruh baya itu mendengarkan dengan saksama. Dia tidak mengomentari atau memotong cerit
Seorang tamu datang berkunjung kerumah Angi. Ia mengeluh bahwa warungnya sangat sepi. Lantas, tanpa banyak pikir, ibu paruh baya itu minta sang penglaris untuk warungnya. Angi pun menyanggupinya. Ia memberikan pilihan dari beberapa makhluk yang ia ajukan. Setiap makhluk memiliki persyaratan berbeda, dan tingkatan penglarisnya pun berbeda. “Silahkan pilih bu, mau pocong, kunti atau genderuwo? Semua memiliki keistimewaan masing-masing.” Angi mempersilahkan ibu itu untuk memilih kemudian baru ia jelaskan perihal persyaratan makhluk tersebut. “Saya pilih genderuwo aja, mbak.” “Setiap malam jumat, ibu harus memberinya makan berupa hewan unggas atau yang lainnya. Taburkan bunga di setiap sudut warung. Kemudian, kopi pahit dan beberapa sesajen adat disini tolong di suguhkan.” “Berapa lama masa penglarisnya, mbak?” “Selama ibu masih membutuhkannya. Dan jangan coba-coba untuk telat memberinya makan,” kecam Angi.
Matanya menyala-nyala, ekornya dikibas-kibaskan, seperti ingin melonglong, tapi tak bisa. Puluhan warga telah mengerumuninya, kini manusia jadi-jadian akan segera ditangkap dan diketahui siapa sebenarnya makhluk dibalik tubuh anjing itu. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang ketika menangkap parakang. Manusia jadi-jadian yang terkenal di Suku Bugis. Biasanya mereka menjadi parakang karena faktor pesugihan, atau diturunkan dari orang tuanya. Di hadapan saya ini, entah ia menjadi Parakang karena ingin mendapatkan tahta, harta, dan wanita. Atau jika parakangnya seorang perempuan, biasanya karena ingin awet muda dan mendapatkan laki-laki muda. Penyebab lainnya, bisa karena ia mendapatkan warisan darah sebagai Parakang dari orang tuanya. Tiba-tiba kesedihan menyergap di dada saya. Bagaimana jika ternyata anjing yang ada dihadapan saya ini adalah manusia yang hanya terperangkap oleh kebanalan orang tuanya? Bagaimana jika ia hanya korban
Tidak beberapa lama setelah menghubungi Bajo melalui sms, lelaki dengan badan proporsi hampir sempurna, tidak pendek dan tidak tinggi itu menghampiri saya. Dari jauh, Bajo menyunggingkan senyum yang membuat banyak teman perempuan kami saat SD naksir dengannya. Bajo tidak berubah, saya ingat betul kejadian saat kita masih SD. Kami pernah beberapa kali bolos bersama karena ingin menonton pameran pembangunan di kota. Tidak tanggung-tanggung, kami menempuh perjalanan hampir 8 kilo untuk sampai di lokasi. Saat itu, hanya Bajo yang memiliki sepeda, saya tidak. Kebiasaan kami adalah bergantian mengemudi, setiap Bajo mengaku lelah, saya menggantinya. Saat saya lelah, Bajo menggantikan saya dan begitu seterusnya. Sampai suatu waktu, saat kami pulang dari pameran saya dikejutkan oleh Bajo. Ia berteriak histeris sambil meneriakkan kata “poppo” “poppo” “poppo” sampai berulang kali. Persitiwa itu terjadi saat kami melewati jalan yang di