Suasana pagi hari ini agak sedikit berbeda karena tidak ada lagi canda tawa. Zafir yang biasanya bersikap manja menjadi lebih banyak diam, bahkan makanan yang terhidang sejak tadi belum tersentuh sama sekali.
“Sarapan dulu, Sayang. Nanti makanannya keburu dingin!” titahku sambil menarik kursi lalu mendaratkan bokong secara perlahan.“Saya belum lapar, Bunda!” jawabnya sambil menunduk. Aku lihat sudut mata anakku sudah mulai basah.Mengambil napas dalam-dalam, rasanya dada ini kian terasa sesak. Rasanya ingin berteriak, akan tetapi cara itu tidak akan mengubah keadaan yang telah berantakan.Kembali beranjak, mendorong kursi ke belakang berniat pergi, akan tetapi dengan sigap Zafir mencekal lenganku sambil mendongak.“Bunda mau ke mana? Kenapa Bunda tidak sarapan dulu?”“Bunda nggak akan makan kalau Zafir juga enggak makan!”“Nanti Bunda sakit.”“Zafir tahu kan, kalau kita tidak sarapan bisa sakit? Lantas kenapa Z"Kamu benar-benar sudah keterlaluan, Bun. Bukannya saya sudah berkali-kali mengatakan kalau saya tidak ingin berpisah?" Mas Abi berkata dengan nada pelan. Aku lihat sudut mata Mas Abi sudah basah."Tidak ada yang perlu ditangisi, Mas. Bukannya sekarang kamu malah bahagia bisa hidup bebas bersama wanita pilihan kamu? Saya sudah mengabulkan mimpimu bukan?" Aku menjeda kalimat sesaat, sekedar untuk mengatur napas yang mendadak terasa sesak. "Sekarang mimpi kamu sudah terwujud. Bisa hidup dengan Elfira yang masih muda, kencang, dan masih terasa enak jika digauli di atas ranjang. Tidak seperti saya yang sudah mendekati menopause, juga sudah tidak bisa memuaskan kamu lagi!""Ayah tidak pernah berpikir seperti itu, Bun. Karena Bunda adalah wanita tercantik yang pernah Ayah temui. Ayah tidak mencintai Fira. Ayah mau kembali sama kamu!" ujarnya memohon.Entahlah, semua yang dikatakan oleh Mas Abi menurutku hanyalah sebuah bualan saja, sebab sekarang ini tidak ada satu kata pun yang bisa diperc
"Kamu serius mau cerai dengan Mas Abi, Nin? Kamu nggak lagi mabuk kecubung kan?" Amira, teman sekolahku dulu bertanya seraya menatap tidak percaya.Hari ini aku memang mengajak dia bertemu untuk membahas masalah perceraianku, karena ternyata kakaknya Amiralah yang akan membantuku mengurus masalah itu."Iya, Mir. Aku serius ingin bercerai dengan Mas Abi, tetapi kalau bisa jangan sampai ada yang tahu dulu tentang masalah ini!" jawabku yakin."Why? Kenapa? Seorang Abimanyu, laki-laki alim, sopan, romantis, agamis yang mendekati sempurna malah kamu tinggalkan, Nin? Dia itu porsi lengkap, idaman semua wanita loh? Memangnya kamu mau nyari yang kaya apa lagi?" brondongnya, memuji Mas Abi karena tidak tahu seperti apa aslinya."Ada banyak hal yang membuat aku memutuskan untuk bercerai, Mir!" Punggung ini menyandar di penopang kursi yang terbuat dari kayu jati."Contohnya?" Dua bulat beningnya terus terpantik ke wajah."Apa perlu aku baha
Menyalakan mesin mobil, tujuanku kali ini adalah rumah sakit, sebab Revan sudah memberitahu kalau Zarina hari ini sudah diizinkan pulang ke rumah.Zafran sudah berada di depan kamar inap kakaknya saat aku sampai, membuat diri bisa bernapas lega juga tidak lagi mengkhawatirkannya."Dari mana, Kak? Kenapa nomor kamu selalu berada di luar jangkauan?" tanyaku sambil menatap paras tampannya."Menenangkan diri sebentar, biar otak dan hati saya sedikit tenang!" jawabnya."Bunda minta maaf karena sudah membuat hari-hari kamu menjadi berantakan!""Bunda tidak bersalah!""Itulah alasan mengapa Bunda lebih memilih menyembunyikan masalah Bunda sendiri, supaya tidak menjadi seperti ini. Bunda memilih menggenggam luka ini sendiri tanpa memberitahu kalian bertiga, karena takut mengganggu mental kalian semua. Tolong jangan membenci Bunda, Kak. Kalau kamu marah sama Bunda, ungkapkan saja. Biar Bunda bisa memperbaiki kesalahan Bunda!"Sud
"saya bisa menjadi saksi perselingkuhan Ayah karena saya melihat dengan mata kepala saya sendiri!" ucap Zafran sambil menatapku."Saya juga, Bu Hanin. Karena saya juga mempunyai video pas suaminya Bu Hanin lagi digerebek, dan kayaknya itu bisa dijadikan bukti juga!" sambung Bu RT.Alhamdulillah, semua urusanku sepertinya akan dipermudah. Semoga saja ke depannya tidak akan ada masalah yang lebih besar dari sekarang, sebab rasanya sudah begitu ingin lepas dari belenggu rumah tangga ini.Pendaftaran gugatan cerai sudah selesai, kini tinggal menunggu sidang pertama yang akan diagendakan tidak lama setelah gugatan disetujui oleh majelis hakim.Kini tinggal aku mencari cara agar tetap bisa menghasilkan uang, karena takut Mas Abi tidak lagi menafkahi anak-anak, terutama Zafir karena dia masih butuh biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi, seperti apa yang dia ucapkan tempo hari.Sepertinya aku akan membuka bisnis jual makanan
[Mas, besok Zafir wisuda. Kalau bisa Mas datang, karena biar bagaimanapun dia anak kamu. Jangan patahkan hatinya lagi, sebab Zafir mau kamu mendampingi.]Mengirimkan pesan kepada Mas Abi, memberitahu kalau besok acara wisuda di Sekolah Menengah Atas tempat si bungsu menimba ilmu.Centang dua biru, akan tetapi Mas Abi tidak membalasnya. Tidak masalah, yang penting sudah memberitahu dia.Aku pun segera menyiapkan pakaian yang akan dikenakan besok, juga berkas-berkas yang dibutuhkan untuk mendaftar kuliah di universitas impian anak terakhirku. Semoga Allah mengabulkan doa anakku, bisa mendapatkan universitas favorit seperti yang selama ini diinginkan, supaya lukanya karena ditinggal sang ayah menikah lagi bisa sedikit terobati.Setelah semuanya siap aku segera mengecek keadaan Zafir, sebab setelah tahu Mas Abi telah membagi hati dia lebih sering terlihat menyendiri. Aku harus terus mendampingi dia, menguatkan juga menghibur hatinya supaya tidak terus
Acara wisuda pun telah selesai, kini tiba waktunya sesi foto bersama keluarga.Aku lihat Zafir terus menoleh ke kanan serta kiri, seperti sedang mencari-cari seseorang, dan aku tahu kalau saat ini ia sedang mencari keberadaan sang ayah yang begitu ia tunggu kedatangannya.Sebagai kakak lelakinya Zafran menghampiri, merangkul pundak sang adik lalu membawa dia menghampiri aku dan menyuruhnya untuk sungkeman, sambil mengingatkan kalau dia bisa masuk sepuluh besar karena doaku yang selalu menyertai dirinya.“Jangan terus mengingat orang yang tidak pernah peduli dengan kamu, Dek. Lupakan dia yang telah melupakan kita, anggap saja kalau dia tidak pernah ada di dunia ini!” ucap Zafran sambil menepuk pundak adiknya.Zafir mengangguk patuh, duduk bersimpuh di hadapanku sambil meminta maaf, menangis tersedu meluapkan rasa bahagia sebab bisa lulus dengan nilai yang sempurna, juga mencurahkan rasa sedihnya karena sang ayah terkesan telah melupakan dirinya.
“Sertifikat rumahnya balik nama saja, Bun. Atas nama Zafran atau siapa, jangan nama Ayah!” Mas Abi berkata ketika kami baru selesai membangun rumah yang kami tinggali.“Kenapa harus atas nama anak-anak, Yah? Kenapa enggak atas nama Ayah saja?” tanyaku, sambil melingkarkan tangan di pinggang, disambut kecupan hangat oleh Mas Abi.“Supaya nanti kalau Ayah tiba-tiba khilaf dan berbuat macam-macam setidaknya rumah ini aman, tetap jadi milik kalian!” jawabnya seraya mengusap lembut rambutku yang tergerai.“Kok Ayah ngomong begitu? Memangnya Ayah mau selingkuh? Ayah tega gitu ninggalin Bunda sama anak-anak?”“Itu hanya seumpama, Bun. Kalau Ayah sih insya Allah akan selalu setia sampai mati sama Bunda!”“Makanya jangan ngomong yang macem-macem. Bunda jadi takut kehilangan Ayah kalau begini kan?”“Namanya manusia, Bun. Terkadang godaan datang darimana saja, dan belum tentu Ayah bisa menangkal godaan itu. Makanya untuk jaga-jaga lebih bai
"Assalamualaikum, Bi?" sapa Mas Rendi, sambil mengulurkan tangannya.Ragu, Mas Abi menyambut uluran tangan itu, terlihat salah tingkah, apalagi ketika aku menatap tajam ke arahnya.Awalnya aku hendak memilih langsung pergi, akan tetapi Mas Rendi mencegah, memintaku untuk menemani agar nanti tidak ada prasangka lagi. Dia ingin aku mendengar pengakuan langsung dari Mas Abi."Ka--kamu apa kabar, Ren?" Bahkan ketika menanyakan kabar saja Mas Abi berkata dengan nada terbata, kelihatan sekali kalau saat ini dia merasa takut kepada Mas Rendi."Seperti yang kamu lihat, saya sehat wal afiat!" jawab yang ditanya sambil mengulas senyum. "Omong-omong saya dan Mbak Hanin tidak dipersilakan duduk nih?" "Oh, iya silakan!" Mas Abi semakin terlihat salah tingkah.Dengan senyum terus terkembang di bibir Mas Rendi mendaratkan bokong di kursi rotan yang ada di teras rumah Elfira, pun dengan diriku yang sebenarnya merasa malas jika harus kembali ber