"Nanti saya tanya sama uminya anak-anak dulu, barangkali uminya anak-anak pegang," katanya lagi.
"Memangnya berapa harga mobilnya, Bi? Kalau internet banking Abi lagi bermasalah pakai punya saya dulu saja!" sambung Faza, putra pertama Mas Salim yang entah mengapa wajahnya paling tidak mirip dengan yang lainnya."Seratus tujuh puluh tiga juta, Mas!" jawab pria berhidung bangir itu sambil menatap anaknya."Yasudah, pakai uang saya dulu saja kalau Pak Abi memang sedang butuh!" Dia mengambil ponsel lalu meminta nomor rekeningku.Aku menyebut sepuluh digit angka, dan terlihat dia tengah mencatatnya."Atas nama Abimanyu, ya Pak?" tanya Faza sambil menatapku."Iya!""Alhamdulillah, sudah berhasil saya transfer, ya Pak?" Dia menunjukkan bukti transferannya.Aku segera mengecek mutasi rekening, tersenyum lebar ketika melihat saldo yang tertera. Sudah hampir satu tahun lebih di dalam rekeningku tidak pernah ada saldo sampPOV Hanin.‘Alhamdulillah, terima kasih, Habibi Qolbi kejutannya. Aku seneng banget. Nggak nyangka loh siang-siang seperti ini dapat kejutan dari suami tercinta.’Ada rasa panas menjalari hati ketika membaca status Elfira di sosial media berwarna hijau miliknya, apalagi di dalam story -nya dia mencantumkan foto sebuah sepeda motor baru, yang harganya bisa belasan juta.Benar-benar keterlaluan Mas Abi. Aku sudah tiga bulan tidak menerima uang setoran dari restoran dengan alasan uangnya terpakai untuk membayar hutang, sekarang malah dia mampu membelikan barang mahal untuk istri barunya. Sebenarnya apa arti permohonannya tadi pagi, yang katanya akan berubah, bahkan berjanji akan menceraikan Elfira jika aku mencabut gugatan cerai di pengadilan agama.Sekarang keputusanku semakin bulat, padahal hati hampir saja goyah karena permintaannya untuk kembali, apalagi ketika melihat ketulusan di matanya.Ternyata Mas Abi tidak ubahnya serigala berbulu domba. Dia begitu pandai memainkan peran seol
Aku segera memutuskan sambungan telepon setelah mengucap salam, merema* dada yang terasa begitu sesak setelah mendengar kabar bahwa sisa penjualan mobil sudah diterima oleh Mas Abi.Pantas saja dia bisa membelikan hadiah untuk Elfira, ternyata Mas Abi menggunakan uang yang seharusnya menjadi hak anak-anak. Bukannya aku terlalu serakah dan tidak mau berbagi dengan wanita itu, akan tetapi kendaraan tersebut dibeli menggunakan uang tabungan kami, dari hasil jerih payah kami berdua. Aku tidak pernah mempermasalahkan jika Mas Abi membelikan sesuatu untuk istri barunya, asalkan menggunakan uang penghasilan restoran saat ini, bukan dengan tabungan kami.Menyambar kunci mobil, dengan perasaan kesal luar biasa kupacu kendaraan roda empatku menuju rumah Elfira untuk menanyakan masalah uang tersebut.Dan walaupun sepanjang jalan aku mengucap istigfar, entah mengapa emosi di dalam hati terasa membumbung tinggi dan tidak bisa terkendali.Mungkin ini
"Bun, tolong kurangi nada bicara kamu. Jangan teriak-teriak, takut tetangga dengar dan mereka semua menyalahkan Fira dan tambah memandang dia sebelah mata!" ucap Mas Abi sambil menoleh ke arah pintu yang terbuka."Memang dia salah kan? Dia sudah menghancurkan rumah tangga orang, memangnya apa yang mau ditutupi lagi?!" Masih berbicara dengan nada meninggi."Bunda, ya Allah. Sabar, kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik. Jangan pake emosi." Mas Abi terus saja membujuk, membela pelakor yang katanya tidak dicintai itu."Dari kemarin saya selalu berbicara baik-baik ke kalian. Saya masih berusaha sabar, tetapi kalian justru selalu memancing emosi saya. Terlebih kamu, Mas. Tadi pagi datang memohon, selalu bilang tidak cinta sama Fira tapi semua yang kamu punya diberikan ke dia dan terus membela dia!" sungutku, semakin muntab."Ayah memang masih mencintai kamu, Bun. Ayah memang tidak mencintai Fira, akan tetapi tidak akan menceraikan dia juga selagi ka
Hampir setengah jam aku berhenti di pinggir jalan hanya untuk sekedar meluapkan amarah juga tangisan. Hingga terdengar suara dering ponsel yang sejak tadi aku tinggal di dalam mobil.Ada panggilan masuk dari Zafir, dan aku segera menghapus air mata, mengucap istighfar sambil terus berusaha menetralkan perasaan supaya tidak terdengar suara serak saat berbicara dengannya. "Assalamualaikum, Sayang?" sapaku setelah menekan tombol hijau dan mendekatkan ponsel di telinga."Waalaikumussalam. Bunda ada di mana? Kok tadi ada orang anterin motor baru dan katanya itu punya Bunda?" tanya si bungsu kemudian."Oh, iya. Bunda sengaja beli buat Bunda kalau pergi-pergi. Soalnya kan di rumah adanya motor gede dan Bunda tidak bisa mengemudikannya!" Terpaksa harus berdusta supaya anak-anak tidak terlalu mengkhawatirkan keadaan ibunya."Terus, sekarang Bunda ada di mana?" "Lagi di jalan, sudah mau pulang!""Oh, yasudah kalau begitu ha
"Saya membenci kelakuannya, seperti yang pernah Bunda katakan. Saya tidak terima jika Bunda terus disakiti!""Ayah mendua mungkin karena Bunda belum bisa menjadi istri yang baik, makanya dia mencari hiburan di luar.""Bukan salah Bunda. Bunda sudah menjadi ibu dan istri yang paling baik, hanya saja Ayah tidak pernah memiliki rasa syukur sehingga mudah sekali tergoda dengan wanita di luaran sana. Coba saja kalau dia menundukkan pandangan, menghindari zina mata dan memperkuat benteng keimanan, mungkin dia tidak akan terlena dengan godaan di luaran sana. Ayah akan tetap menjadi suami setia yang hanya cukup dengan satu istri saja!""Nanti kalau kamu sudah menikah jangan ditiru ya perbuatan seperti ini? Jangan pernah menyakiti hati perempuan, karena kamu juga terlahir dari rahim seorang perempuan. Dikhianati itu rasanya sakit banget, Kak. Bahkan hampir setiap malam, jika sedang mengingat semua ini Bunda jadi sulit sekali memejamkan mata. Rasa sakitnya itu tidak
"Adek mengalami kecelakaan, Fran. Adek kecelakaan!" pekikku sambil memeluk si sulung."Inalillahi, ya Allah. Terus sekarang Adek di mana?" Zafran bertanya seraya menyodorkan botol air mineral yang ada di tangannya."Adek sedang dirawat di rumah sakit Budi Kasih. Kita ke sana sekarang, Fran. Kita lihat adik kamu!" "Iya, Bun!" Zafran membantuku untuk berdiri, akan tetapi karena perasaan syok luar biasa membuat kaki tidak mampu menopang tubuh. Aku kembali ambruk hingga akhirnya si sulung memutuskan untuk menggendongku ke parkiran, sementara barang belanjaan dibawakan oleh pengunjung lain yang berkenan membantu.Perasaan cemas bercampur gelisah terus memenuhi pikiran, khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku belum siap kehilangan Zafir, belum siap kehilangan mutiara hati yang selama ini selalu menjadi penguat di kala lara sedang melanda."Astaghfirullahaladzim ...." Terus mengucap istighfar, menahan air mata yang sejak tadi mengge
Kembali mencoba menghubungi nomor Mas Abi, akan tetapi dia tidak juga menjawab panggilan dariku."Ya Allah, Mas. Di saat genting seperti ini kenapa kamu malah mengabaikan panggilan dariku. Kamu boleh membenci aku karena terus menerus menolak ajakan kamu untuk kembali hidup bersama, tetapi Zafir itu anak kamu!" Aku menggumam sendiri dalam hati, sambil sesekali mengusap air mata yang berlomba-lomba meluncur dari sudut kedua netra.[Mas tolong segera ke rumah sakit. Anak kita sekarat dan butuh donor darah AB. Zarina sudah datang tapi dia tidak lolos pemeriksaan karena dia baru melakukan operasi dan sedang menyusui.] Send, Mas Abi.Karena tidak kunjung ada jawaban darinya aku segera keluar dari ruangan, meminta Zafran untuk menghubungi teman-temannya yang memiliki golongan darah sama.[Mas Rendi, apa Mas sudah menghubungi nomor Mas Abi? Zafir harus menjalani transfusi darah, dan golongan darahnya sama kaya Mas Abi. Tapi dia nggak bisa dihubungi, sementara Zarina tidak bisa mendonorkan dara
POV Abi."Alhamdulillah keadaan ananda sudah mulai stabil, perdarahannya juga sudah berhenti dan mungkin malam ini akan segera dilakukan tindakan operasi pemasangan pen di kaki ananda!" ucap dokter membuat diri ini sedikit bernapas lega.Aku terus menatap wajah sembab Hanina, ingin mendekat dan mendekap tubuhnya akan tetapi dia malah terkesan menghindar, bahkan diajak bicara saja tidak merespons sama sekali.Memang aku akui telah melakukan kesalahan besar, memberikan syarat supaya dia mau kembali, sebab jujur di hati masih ada rasa cinta yang begitu besar juga tidak pernah bisa aku buang.Aku pikir dengan memberikan syarat seperti itu Hanina akan terima, karena demi anak dia pasti akan melakukan segalanya.Namun tidak disangka Rendi datang sebagai penyelamat, menyumbangkan darahnya untuk anakku sehingga akhirnya permintaan konyolku menjadi sia-sia dan membuat Hanina semakin membenciku.Astagfirullah