Setelah selesai makan siang dan meminum obat Siska didorong menggunakan kursi roda untuk menuju kamar nomor tiga, tempat di mana Bapaknya Siska di rawat.
Awalnya Siska ragu untuk masuk ke dalam karena takut jika Bapaknya tau kondisi putri semata wayangnya juga sedang tidak baik-baik saja akan membuat kondisi Bapak semakin parah.
"Jadi, mau liat Bapak engga?" tanya Ilham saat sudah berada di depan pintu.
"Gimana ya? Perasaanku justru nggak tenang, baru kemarin Bapak masuk rumah sakit pasti keadaanya belum begitu pulih. Kalau Bapak tau aku sedang tidak sehat begini aku takut memperburuk keadaan Bapak," balas Siska cemas namun, di sisi lain ia ingin sekali melihat dan memastikan kondisi orangtuanya.
Orangtua yang selalu mensupport segala apa pun yang telah menjadi pilihan hidupnya. Bagi Siska memiliki orangtua seperti Bapak adalah suatu hal yang patut di syukuri, karena selama ini belum pernah Siska dib
"Bu..." panggil Bapak seraya meletakkan tangan kanannya di atas punggung tangan Ibu dan menganggukkan kepalanya sekali.Ibu menghela napas kasar lalu kedua sorot matanya melihat Ilham sekilas dan kembali lagi melihat Bapak dengan seksama."Bapak harus tegas sama Ilham! Nggak bisa Ibu liat Siska kayak begini, Pak! Nggak tega, Ibu!""Iya, Bu! Bapak juga lagi berusaha buat cari jalan keluarnya. Ibu sabar dulu, jangan mengambil keputusan saat marah to, Bu! Nanti bisa-bisa justru salah," tutur Bapak.Ilham yang melihat berdebatan mertuanya itu hanya bisa diam tanpa berani menyela pembicaraan. Ia sendiri juga kebingungan dengan ini, tapi jika keputusan yang Bapak ambil nanti sama dengan apa yang Siska inginkan sudah pasti Ilham tidak akan bisa menerimanya begitu saja.Walau yang telah terjadi ada kesalahannya, ia tetap tidak mau perceraian yang akan dijadikan jalan keluarnya.&n
Siska langsung terbangun dari lamunannya dan menoleh ke arah kanan. Ibu duduk di kursi taman dengan tangan kiri yang masih berada di atas bahu Siska. Sorot matanya terlihat jelas bahwa Ibu sedang kecewa, bahkan suara napasnya terdengar begitu menggebu."Ada apa, Bu?" tanya Siska dengan lemah lembut seraya menarik kedua tangan Ibunya lalu menggenggamnya dengan erat.Ibu hanya menghela napas lalu memalingkan wajahnya."Apa Siska ada salah sama Ibu?""Nggak, Nduk." Ibu menggelengkan kepalanya ringan."Terus Ibu kenapa? Siska jadi bingung.""Suami sangat keterlaluan, Nduk. Ibu kok jadi nggak tega sama kamu," kata Ibu dan kini beliau menatap putri semata wayangnya itu dengan nanar lalu kedua matanya mulai mengembun.Dengan berat hati Siska mencoba menarik kedua sudut bibirnya seraya menghela napas lalu mengusap punggung tangan Ibu.&nbs
Ilham tertegun sesaat lalu dengan susah payah menelan tali safinya."Apakah aku terlalu percaya diri? Aku rasa itu nggak papa dan memang perlu," batin Ilham dengan yakin seraya mengernyitkan dahinya."Bapak dan pak kyai sama-sama mertuamu sekarang ini, Ham. Dan apakah kamu tahu saat kami dengan segenap hati memberikan putri kami kepadamu yang bahkan kami sendiri tidak mengenalmu seratus persen, bagimana sikap dan perilakumu. Dalam genap kami sebagai orangtua terbersit apakah kamu bisa memperlakukan anak perempuan kami minimal seperti kami memperlakukan dia, menjaga dan membahagiakan dia? Kamu juga seorang Bapak, Ham. Mempunyai anak perempuan, jadi bisa lah kamu memikirkan ini baik-baik," ujar Bapak lalu menghembuskan napasnya sembari menyederkan tubuhnya.Seolah Ilham bergitu tertampar dengan pernyataan yang baru saja Bapak lontarkan kepadanya itu. Ia juga seorang Bapak yang mempunyai anak perempuan. Tiba-tiba saja semua
(POV Nabila)Setelah Mas Ilham menurunkan aku di taman dan menyuruhku untuk pulang rasa benci ini justru semakin membesar kepada Siska.Dan aku juga sangat khawatir jika dia mengatakan semuanya pada Mas Ilham. Apalagi kalau sampai di lebih-lebih kan, aku tidak tau bagaimana nasibku setelah ini.Walaupun Mas Ilham menyuruhku untuk pulang ke rumah Abah, jelas saja aku tidak akan melakukan hal itu. Tidak akan aku biarkan Siska mendapatkan waktu lebih banyak dan dari Mas Ilham, itu tidak adil bagiku.Dengan susah payah aku berusaha membujuk Abah untuk menikahkan aku dengan Mas Ilham dan rela bersabar menunggu sampai beberapa tahun, mana mungkin aku akan melepaskan Mas Ilham begitu saja.Tapi, jelas saja aku dan Mas Ilham tidak akan mudah berpisah begitu saja. Abah tidak akan membiarkan putri kesayangannya ini bersedih bukan?Selama ini apa yang aku inginkan meman
(POV Nabila)"Ada apa, Paman?""Mau bicara sama umi sama kamu juga," balas Paman dan langsung membantuku berdiri karena memang tubuhku masih lemas."Kamu tolong di sini dulu ya, Ham! Ada dia juga di sini yang akan menemanimu. Saya dan Nabila harus pulang dulu ada urusan," ucap Paman lalu langsung pergi tanpa menunggu Mas Ilham menjawabnya.Di sepanjang perjalan aku dan Paman tidak berbicara sama sekali. Paman terlihat bingung dan cemas. Aku pun enggan bertanya karena isi kepalaku sendiri sedang sibuk memikirkan Abah.Sesampainya di rumah Paman langsung membawaku masuk ke dalam. Ternyata di dalam sudah banyak orang yang sedang menemani umi yang sudah sadar dan kini sedang duduk dengan tatapan kosong."Assalamualaikum," ucap Paman.Mendengar suara paman Umi langsung menolehkan kepalanya."Gimana keadaan Abah?" tanya Ibu
(POV Nabila)Jelas saja perasaanku sangat senang dan gembira. Senyumku mengembang dengan sangat lebar, aku bahagia. Sangat bahagia."Ta-tapi, apa Mas Ilham mau menikahiku?" gumamku lirih."Kalau Ilham nggak mau ya berarti kamu menikah dengan Haris," sahut Umi datar."Nabila nggak mau, Umi!""Kamu ini sudah besar, Nab! Kalau suatu saat nanti kamu sudah menikah dengan Ilham dan Ilham menikah lagi memangnya kamu mau? Memangnya hatimu tidak sakit?"Aku diam tak menjawab."Kalau memang Ilham sudah menikah ya sudah! Jangan berharap lagi! Jangan merusak kebahagiaan orang lain!" Umi langsung berdiri dan meninggalku. Begitu juga dengan Bibi yang mengikuti langkah Umi."Tapi, tadi Paman bilang.""Ah, ya sudah lah. Pasrah aja.""Abah! Kenapa jadi gini, sih?! Gara-gara Mas Ilham ini, jadi
(POV Nabila)Aku begitu senang saat mengingat malam itu. Malam dimana aku dan Mas Ilham sudah sah menjadi sepasang suami istri. Jadi, walau apa pun yang menjadi rintangan setwlah pernikahan ini aku tidak akan dengan mudahnya mau melepaskan Mas Ilham. Tak akan aku biarkan semuanya sia-sia begitu saja.Apalagi aku sudah berusaha membujuk Abah dan memohon agar tidak menikahkan aku dengan Haris. Walau Haris adalah seorang laki-laki baik, tampan dan juga soleh. Apalagi dia adalah murid kepercayaan Abah, tapi tetap saja hatiku tidak akan goyah untuk berpaling hati.Mas Ilham tetap nomor satu bagiku, ia lebih menarik dan sangat menawan. Oleh karena itu setelah mahgrib aku segera menghubungi murid Abah yang ada di rumah sakit untuk memberitahu ponselnya. Aku menceritakan pada Abah bahwa selama ini telah jatuh hati pada Mas Ilham dan aku tidak mau menikah jika bukan dengan Mas Ilham. Aku juga awalnya tidak ada niatan untuk menjad
(Pov author)Saat Ilham mendengar bahwa putrinya tidak jadi pulang ia pun dari rumah rumah sakit langsung menuju rumah tetangga, dimana ia menitipkan putrinya.Sebelum itu ia mampir dulu untum membeli eskrim dan beberapa martabak untuk dirinya sendiri serta untuk ia berikan pada tetangganya yang telah menjaga putrinya itu.Baru sampai di jalan Ilham sudah melihat putrinya yang sedang menangis dan di gendong oleh seorang lelaki bertubuh kecil yang sudah memiliki banyak uban di kepalannya."Loh kok nangis. Aduh, pasti Qila rewel itu seharian nggak ketemu ayah dan bundanya," gumamku seraya membuka pintu mobil dan segera turun."Nah itu Ayahmu udah jemput," ucap lelaki itu seraya mengangkat dagunya ke arah Ilham."Waduh, Pak. Pasti Qila merepotkan sekali, ya. Saya minta maaf ya, Pak. Baru bisa jemput sekarang, soalnya di rumah sakit juga akan ada du