(POV Nabila)
Jelas saja perasaanku sangat senang dan gembira. Senyumku mengembang dengan sangat lebar, aku bahagia. Sangat bahagia.
"Ta-tapi, apa Mas Ilham mau menikahiku?" gumamku lirih.
"Kalau Ilham nggak mau ya berarti kamu menikah dengan Haris," sahut Umi datar.
"Nabila nggak mau, Umi!"
"Kamu ini sudah besar, Nab! Kalau suatu saat nanti kamu sudah menikah dengan Ilham dan Ilham menikah lagi memangnya kamu mau? Memangnya hatimu tidak sakit?"
Aku diam tak menjawab.
"Kalau memang Ilham sudah menikah ya sudah! Jangan berharap lagi! Jangan merusak kebahagiaan orang lain!" Umi langsung berdiri dan meninggalku. Begitu juga dengan Bibi yang mengikuti langkah Umi.
"Tapi, tadi Paman bilang."
"Ah, ya sudah lah. Pasrah aja."
"Abah! Kenapa jadi gini, sih?! Gara-gara Mas Ilham ini, jadi
(POV Nabila)Aku begitu senang saat mengingat malam itu. Malam dimana aku dan Mas Ilham sudah sah menjadi sepasang suami istri. Jadi, walau apa pun yang menjadi rintangan setwlah pernikahan ini aku tidak akan dengan mudahnya mau melepaskan Mas Ilham. Tak akan aku biarkan semuanya sia-sia begitu saja.Apalagi aku sudah berusaha membujuk Abah dan memohon agar tidak menikahkan aku dengan Haris. Walau Haris adalah seorang laki-laki baik, tampan dan juga soleh. Apalagi dia adalah murid kepercayaan Abah, tapi tetap saja hatiku tidak akan goyah untuk berpaling hati.Mas Ilham tetap nomor satu bagiku, ia lebih menarik dan sangat menawan. Oleh karena itu setelah mahgrib aku segera menghubungi murid Abah yang ada di rumah sakit untuk memberitahu ponselnya. Aku menceritakan pada Abah bahwa selama ini telah jatuh hati pada Mas Ilham dan aku tidak mau menikah jika bukan dengan Mas Ilham. Aku juga awalnya tidak ada niatan untuk menjad
(Pov author)Saat Ilham mendengar bahwa putrinya tidak jadi pulang ia pun dari rumah rumah sakit langsung menuju rumah tetangga, dimana ia menitipkan putrinya.Sebelum itu ia mampir dulu untum membeli eskrim dan beberapa martabak untuk dirinya sendiri serta untuk ia berikan pada tetangganya yang telah menjaga putrinya itu.Baru sampai di jalan Ilham sudah melihat putrinya yang sedang menangis dan di gendong oleh seorang lelaki bertubuh kecil yang sudah memiliki banyak uban di kepalannya."Loh kok nangis. Aduh, pasti Qila rewel itu seharian nggak ketemu ayah dan bundanya," gumamku seraya membuka pintu mobil dan segera turun."Nah itu Ayahmu udah jemput," ucap lelaki itu seraya mengangkat dagunya ke arah Ilham."Waduh, Pak. Pasti Qila merepotkan sekali, ya. Saya minta maaf ya, Pak. Baru bisa jemput sekarang, soalnya di rumah sakit juga akan ada du
Perkataan Ilham terasa begitu menusuk relung hatinya. Rasanya ia begitu tak percaya bahwa Ilham akan mengatakan hal tersebut kepada dirinya.Ia hanya bisa meremas ujung bajunya seraya menggigit bibir bawahnya karena merasa sangat takut dengan kemarahan Ilham."Ayah!" panggil Qila yang juga ikut ketakutan. Gadis kecil itu memeluk tubuh Ilham dengan erat."Ayah nggak marah sama kamu kok, Sayang." Ilham membawa Qila masuk ke dalam kamar lalu menurunkannya di kasur."Mas! Hallo, Mas," seru Siska dari dalam ponsel Ilham. Ternyata sedari tadi panggilan video call mereka belum berakhir."Bunda!" Qila tersenyum lebar seraya melambaikan kedua tangannya menatap wajah Siska dari layar ponsel."Qila di sini dulu ya ngobrol sama Bunda! Ayah keluar sebentar, jangan kemana-mana!" ujar Ilham dan di balas dengan anggukan kepala oleh putri kecilnya."Iya,
Di rumah sakit kini Siska di pindahkan satu kamar dengan Bapak. Supaya kalau perlu apa-apa bisa dibantu oleh Ibu dan Ibu tidak harus susah payah bolak-balik ke kamar rawat yang lain."Qila udah makan belum, Sayang?" tanya Ibu yang sedari tadi memengang ponsel Siska dan duduk bersebelahan."Iya, Sayang. Kamu udah kanan belum?" imbuh Siska."Udah kok, Bun... Nek. Tadi makan bubur ayam dibeliin Tante Ika," jawab Qila."Tapi, Qila belum mandi," ucap Qila serata berseringai hingga menapampakan sederan gigi susunya."Hiii! Bau asem ya, Qilanya," sahut Bapak."Iya tuh kata Kakek Qila bau asem," imbuh Siska."Hehehehe.""Bunda! Bunda kapan pulang. Qila kangen.""Ya nanti ya, Sayang. Kamu sabar dulu! Jangan nakal!""Tapi, Qila mau Bunda," rengek Qila dan wajahnya terlihat begitu memela
Pagi ini setelah sarapan dengan nasi goreng Ilham berniat mengantarkan Nabila untuk pulang ke rumah. Sejak kejadian semalam ia sama sekali tidak berbicara dengan Nabila. Walau Nabila berusaha untuk tetap mengajaknya mengorbrol tapi, Ilham hanya diam saja tanpa membalas. Jangankan membalas, melihat ke arah Nabila saja ia sangat malas."Ayah! Nanti bunda pulang, kan?" ucap Qila saat Ilham hendak menyuapinya dengan telur dadar dengan tambahan daun bawang yang menjadi kesukaan putrinya itu."Iya, Sayang. Makanya Qila harus makan ya banyak, ya! Nanti kalau bunda udah dateng liat Qila udah makan yang kenyang pasti bunda seneng," balas Ilham lalu mengusap kepala Qila dengan sangat lembut."Yey, Asikkk. Bundaku pulang." Qila kegirangan seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya."Loh?! Baru sehari kok udah pulang, Mas?" sahut Nabila."Di rawat di rumah Bapak. Sewa perawat," balas Ilham tanpa m
Setelah mendengar cerita dari Siska, membuat Ika kini menjadi takut akan sebuah pernikahan. Bahkan dengan seorang laki-laki yang seolah begitu sayang dan selalu perhatian seperti Ilham saja tidak bisa cukup dengan satu wanita.Ika melamun memikirkan semua kepahitan yang telah dialami Siska. Ia membayangkan bagaimana jika nanti ia mendapatkan suami yang seperti itu."Ah! Engga." Ika menggeleng cepat dan langsung memegang tangan Siska dengan erat."Heh! Kenapa kamu ini? Ngagetin aja," seru Siska seraya menatap Ika dengan heran."Mba tau kan, dulu waktu pacaran sama Bram udah 2 tahun aku di selingkuhin sama dia. Dia bawa cewe pulang ke rumahnya diajak nginep di sana. Itu aja aku sakit hati banget, Mba. Sampe aku jatuh sakit dan hampir satu bulan dada masih aja sesek. Apalagi Mba Siska yang udah berumah tangga dan punya anak kayak gini. Aku aja bahkan sampe sekarang itu yang buat aku takut buat berhubung
Semua orang yang ada hanya bisa menatap Siska dengan Iba. Walau begitu, Siska masih bisa seolah menyembunyikan rasa pahit yang ia rasakan dengan senyuman lebar yang ia lontarkan pada sahabat lamanya.Keputusan yang ia ambil ini sudah ia bertimbangkan dengan matang. Demi ketenangan dan kesehatan mentalnya ia relakan rumah tangganya. Walau, ia sendiri juga takut akan akan pertumbuhan anaknya dengan kondisi kedua orangtuanya yang sudah tidak dapat lagi bersama."Aku udah saratus persen yakin sama keputusanku ini, Fat. Yang terpenting hak asuh Qila bisa jatuh ke tanganku," ucap Siska."Kalau masalah itu aku akan usahain, Sis. Semoga kamu bisa mendapatkan hak asuhnya," balas Fatya seraya mengusap lembut punggung tangan Siska.Mereka adalah sahabat sejak SMA. Dari ketiga temannya, Fatya lah yang hingga sekarang ini masih begitu dekat dengannya. Masih sering berkomunikasi untuk bertukar kabar.
Siska yang mendengar jawaban dari Aqila awalnya merasa terkejut. Tapi, selanjutnya ia justru tersenyum getir. Tidak ada perasaan sakit hati, yang ada hanya merasa jijik saat mereka bersikap tidak tahu diri seperti ini. Tidur menginap di rumah orangtua istri pertama dan tidur bersama di kamar Siska."Loh, masa iya semalem Tante Nabila tidur bareng kita, Qila? Waktu Ayah bangun Tante Nabila nggak ada di kamar Bunda gitu," sahut Ilham bertanya-tanya."Udah lah, Mas! Nggak usah ngomong seolah nggak tau apa-apa! Paham kok, hahaha," ucap Siska lalu tertawa terbahak-bahak."Beneran, Sis! Mas bener-bener nggak tau kalo dia semalem tidur di kamar ini juga. Setelah makan malam badan Mas rasanya letih sekali, makanya pas baru rebahan udah langsung ketiduran. Bahkan sampe nggak tau kalau Qila nggak tidur," balas Ilham membela diri.Drttt... Drttt... Drttt...Ponsel Siska bergetar yang berada