Di rumah sakit kini Siska di pindahkan satu kamar dengan Bapak. Supaya kalau perlu apa-apa bisa dibantu oleh Ibu dan Ibu tidak harus susah payah bolak-balik ke kamar rawat yang lain.
"Qila udah makan belum, Sayang?" tanya Ibu yang sedari tadi memengang ponsel Siska dan duduk bersebelahan.
"Iya, Sayang. Kamu udah kanan belum?" imbuh Siska.
"Udah kok, Bun... Nek. Tadi makan bubur ayam dibeliin Tante Ika," jawab Qila.
"Tapi, Qila belum mandi," ucap Qila serata berseringai hingga menapampakan sederan gigi susunya.
"Hiii! Bau asem ya, Qilanya," sahut Bapak.
"Iya tuh kata Kakek Qila bau asem," imbuh Siska.
"Hehehehe."
"Bunda! Bunda kapan pulang. Qila kangen."
"Ya nanti ya, Sayang. Kamu sabar dulu! Jangan nakal!"
"Tapi, Qila mau Bunda," rengek Qila dan wajahnya terlihat begitu memela
Pagi ini setelah sarapan dengan nasi goreng Ilham berniat mengantarkan Nabila untuk pulang ke rumah. Sejak kejadian semalam ia sama sekali tidak berbicara dengan Nabila. Walau Nabila berusaha untuk tetap mengajaknya mengorbrol tapi, Ilham hanya diam saja tanpa membalas. Jangankan membalas, melihat ke arah Nabila saja ia sangat malas."Ayah! Nanti bunda pulang, kan?" ucap Qila saat Ilham hendak menyuapinya dengan telur dadar dengan tambahan daun bawang yang menjadi kesukaan putrinya itu."Iya, Sayang. Makanya Qila harus makan ya banyak, ya! Nanti kalau bunda udah dateng liat Qila udah makan yang kenyang pasti bunda seneng," balas Ilham lalu mengusap kepala Qila dengan sangat lembut."Yey, Asikkk. Bundaku pulang." Qila kegirangan seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya."Loh?! Baru sehari kok udah pulang, Mas?" sahut Nabila."Di rawat di rumah Bapak. Sewa perawat," balas Ilham tanpa m
Setelah mendengar cerita dari Siska, membuat Ika kini menjadi takut akan sebuah pernikahan. Bahkan dengan seorang laki-laki yang seolah begitu sayang dan selalu perhatian seperti Ilham saja tidak bisa cukup dengan satu wanita.Ika melamun memikirkan semua kepahitan yang telah dialami Siska. Ia membayangkan bagaimana jika nanti ia mendapatkan suami yang seperti itu."Ah! Engga." Ika menggeleng cepat dan langsung memegang tangan Siska dengan erat."Heh! Kenapa kamu ini? Ngagetin aja," seru Siska seraya menatap Ika dengan heran."Mba tau kan, dulu waktu pacaran sama Bram udah 2 tahun aku di selingkuhin sama dia. Dia bawa cewe pulang ke rumahnya diajak nginep di sana. Itu aja aku sakit hati banget, Mba. Sampe aku jatuh sakit dan hampir satu bulan dada masih aja sesek. Apalagi Mba Siska yang udah berumah tangga dan punya anak kayak gini. Aku aja bahkan sampe sekarang itu yang buat aku takut buat berhubung
Semua orang yang ada hanya bisa menatap Siska dengan Iba. Walau begitu, Siska masih bisa seolah menyembunyikan rasa pahit yang ia rasakan dengan senyuman lebar yang ia lontarkan pada sahabat lamanya.Keputusan yang ia ambil ini sudah ia bertimbangkan dengan matang. Demi ketenangan dan kesehatan mentalnya ia relakan rumah tangganya. Walau, ia sendiri juga takut akan akan pertumbuhan anaknya dengan kondisi kedua orangtuanya yang sudah tidak dapat lagi bersama."Aku udah saratus persen yakin sama keputusanku ini, Fat. Yang terpenting hak asuh Qila bisa jatuh ke tanganku," ucap Siska."Kalau masalah itu aku akan usahain, Sis. Semoga kamu bisa mendapatkan hak asuhnya," balas Fatya seraya mengusap lembut punggung tangan Siska.Mereka adalah sahabat sejak SMA. Dari ketiga temannya, Fatya lah yang hingga sekarang ini masih begitu dekat dengannya. Masih sering berkomunikasi untuk bertukar kabar.
Siska yang mendengar jawaban dari Aqila awalnya merasa terkejut. Tapi, selanjutnya ia justru tersenyum getir. Tidak ada perasaan sakit hati, yang ada hanya merasa jijik saat mereka bersikap tidak tahu diri seperti ini. Tidur menginap di rumah orangtua istri pertama dan tidur bersama di kamar Siska."Loh, masa iya semalem Tante Nabila tidur bareng kita, Qila? Waktu Ayah bangun Tante Nabila nggak ada di kamar Bunda gitu," sahut Ilham bertanya-tanya."Udah lah, Mas! Nggak usah ngomong seolah nggak tau apa-apa! Paham kok, hahaha," ucap Siska lalu tertawa terbahak-bahak."Beneran, Sis! Mas bener-bener nggak tau kalo dia semalem tidur di kamar ini juga. Setelah makan malam badan Mas rasanya letih sekali, makanya pas baru rebahan udah langsung ketiduran. Bahkan sampe nggak tau kalau Qila nggak tidur," balas Ilham membela diri.Drttt... Drttt... Drttt...Ponsel Siska bergetar yang berada
Ambulan datang dan beberapa perawat langsung mengangkat memasukan Nabila ke dalam mobil."Ini kalau mobilnya masih dalam kondisi miring seperti ini pastinya susah buat ngeluarin Bapak itu," ucap petugas rumah sakit."To-tolong! Ka-ka-kaki. Sa-a...kit," ucap Ilham terbata-bata dan sangat lirih.Polisi pun datang bersama dengan mobil derek yang akan membawa mobil itu. Dan setelah sepuluh menit mobil baru bisa menarik mobilnya agar tidak miring supaya bisa mengeluarkan Ilham dari dalam.Saat di kelurkan ternyata kedua kaki Ilham sudah tidak berbentuk lagi. Tulangnya hancur di bagian lutut ke bawah."Sa-sakit!" Bibir yang pucat pasi bergetar dengan kedua mata yang hanya sedikit terbuka.Ilham dan Nabila pun segera dilarikan ke rumah sakit. Semua orang yang melihat keadaan Ilham merasa sangat kasian dengan kondisi keduanya yang sangat memprihatikan.
"Iya, Nduk. Umi ini orangtuanya Nabila. Umi duduk, ya," ucap Umi lalu duduk di tengah-tengah Haris dan Siska.Beliau memperhatikan Siska yang sedari kedatangannya hanya diam saja."Kenapa kamu di infus? Lagi sakit apa, Nduk?" tanya Umi. Ia menyadari bahwa Siska tak begitu menyukai kehadirannya. Bahkan sedari awal ia sudah merasa tidak enak dengan Siska atas perbuatan putrinya."Saya keguguran," jawab Siska datar tanpa melihat ke arah Umi. Kedua matanya justru menatap ujung kakinya.Umi tertegun sesaat lalu menelan ludahnya. Begitu juga Haris juga langsung menoleh dengan kondisi mulut yang terbuka."Ya Allah.... Keguguran? I-ini pasti karena Ilham menikah lagi, ya? U-Umi... Umi minta maaf ya, Nduk! Umi juga udah coba buat menghentikan pernikahan itu, tapi Umi nggak bisa. Umi bener-bener minta maaf...." Umi menenggelamkan wajahnya karena merasa begitu malu.Ia
Karena memang perasaan yang ia miliki sudah lenyap tak tersisa. Hanya ada kepingan rasa pahit kala menatap wajah Ilham. Mau hubungan tetap berlanjut pun lari rasanya sudah berbeda dan tidak sama seperti sedia kala sebelum kedatangan Nabila."Hm! Kalau memang ini udah jadi keputusanmu. Semoga menjadi hal baik untuk kedepannya. Dan yang sabar ya, Siska. Saya ikut prihatin atas apa yang telah menimpa keluargamu. Kamu wanita yang tangguh!" balas Haris seraya menyunggingkan senyumnya.Namun, Siska justru tersenyum getir mendengarnya. Seolah ia hanya menganggap apa yang telah Haris katakan sebuah basa-basi saja. Baginya, semua orang yang berhungan dengan Nabila pasti sama saja. Bermuka dua!"Kenapa gitu ekspresinya?" Haris mengangkat kedua alisnya bingung."Nggak perlu pura-pura baik gitu sama saya!" balas Siska dengan sinis.Haris semakin dibuat bingung. Padahal ia sama sekali tidak b
Siska mencoba untuk tidak menghiraukannya karena sudah pasti mereka pasti sedang membicarakan soal rumah tangganya. Kini sudah tak penting lagi apa yang akan menjadi asumsi orang terhadap dirinya. Asal bukan ia yang berbuat salah semua itu tidak akan berpengaruh apa-apa untuknya."Pak, Ibu dimana?" bisik Siska lirih. Karena sedari tadi ia belum melihat keberadaan sang Ibu."Itu si Qila minta tidur ditemenin neneknya. Padahal lagi rame orang gini. Sana kamu susulin biar Ibumu bisa ke sini, nggak enak sama tetangga yang dateng!""Oalah iya, Pak." Siska pun langsung bangkit dari duduknya.Sebelum ia membuka pintu kamar ia merasa ada menarik-narik ujung bajunya. Dan Siska pun langsung melihat ke bawah.Kedua mata Siska menyipit lalu ia mengangkat kedua bahunya, "kenapa, ya?""Sini dulu duduk, Sis! Saya mau ngobrol sebentar!" ucap Ibu-ibu yang tadi Siska lihat sedang melirik dirinya sembari berbisik-bisik dengan sebelahnya."Maaf, ya! Saya harus masuk sekarang, mau manggil Ibu saya." Siska