Share

Pembalasan Dendam

“Sudah sampai?” tanya seseorang di seberang telepon tanpa sapaan atau lainnya.

“Bisakah kau menyapa lebih dulu sebelum bertanya, Logan.”

Lion menggeleng pelan dengan kaki terus melangkah mendekati pintu keluar bandara.

“Iya-iya. Sekarang jawab.”

“Aku sudah tiba di Bandara, Logan.”

“Kalau begitu, sebaiknya segera hubungi Revan agar menjemput Kakak di Bandara.” Ucap Logan di seberang telepon.

Lion menghela napas pelan. Menggeleng sembari menghentikan langkahnya. Memijit pangkal hidungnya.

“Aku bisa naik taksi, Logan. Berhentilah …” Seketika ucapan

Lion terhenti dengan tatapan mata tertuju pada sosok yang berdiri tidak jauh darinya.

“Risya.” Guman Lion dengan kedua mata terbelalak.

“Kak ...” panggil Logan saat mendengar suara samar Lion di seberang sana.

“Taksi sudah menunggu. Aku matikan teleponnya, Logan.” Seketika Lion memutuskan panggilan sepihak, berlari meninggalkan kopernya mengejar siluet seseorang yang sesaat ia lihat sebelumnya.

Perlahan langkah Lion terhenti di luar bandara. Menatap sekeliling dengan penuh tanda tanya mencari sosok tersebut, tapi sayang Lion tak menemukannya.

Kepala Lion menunduk menatap lantai bandara. Mengacak rambutnya kesal dengan napas memburu.

‘Apa tadi aku salah lihat?’ batin Lion menyentuh dadanya yang terasa sesak.

Pria itu menghela napas pelan, lalu memutar langkah kembali memasuki bandara untuk mengambil kopernya dan pergi meninggalkan bandara menuju hotel sebelum menemui seseorang di rumah sakit. Karena tujuannya ke Negara itu bukan untuk berlibur, melainkan membantu keluarga istri adiknya.

Sebuah mobil melaju pelan membelah jalan. Sosok wanita cantik duduk di kursi belakang dengan tatapan menatap keluar jendela.

Tangannya terulur menyentuh dadanya yang tiba-tiba sesak, entah karena apa.

“Apa Anda baik-baik saja, Nyonya Risya?” tanya sosok pria yang duduk di kursi samping kemudi, sedikit melirik ke belakang dengan wajah datarnya.

“Iya. Aku baik-baik saja,” jawab Risya singkat. Kembali menatap keluar jendela mobil, mencoba menenangkan hatinya yang tiba-tiba dilema tanpa sebab.

***

Adelia duduk diam di kursi dengan Zeline di hadapannya. Kening gadis itu mengerut melihat raut wajah serius Zeline.

“Kakak baik-baik saja?” tanya Adelia memberanikan diri.

Perlahan Zeline mendongak. Menatap lama wajah gadis yang telah bekerja dengannya cukup lama. “Apa kamu ingin bekerja sebagai pelayan di sebuah mansion, Lia?”

“Pelayan? Mansion?”

Zeline menganggukkan kepalanya. “Pria yang tadi ... Kaisar mencari pelayan untuk bekerja di mansion-nya. Dia bilang, jika kamu bekerja di sana, kamu juga bisa tinggal di mansion itu. Menurut kamu bagaimana?”

Adelia terdiam dengan kepala menunduk. Ia sedikit mencuri pandang ke arah Zeline yang terus menatapnya.

‘Jika bisa tinggal di dalam mansion, aku tidak perlu lagi membayar uang kontrakan.’ Adelia menggigit bibir bawahnya.

“Adel …”

“Aku mau, Kak.”

“Itu, jika kakak tidak keberatan.” Lanjutnya dengan kepala menunduk.

Zeline terkekeh pelan. Tangannya terulur mengusap pipi Adelia. “Aku tidak keberatan karena itu keputusanmu. Lagi pula, kamu tidak pergi jauh dari Negara ini. Kamu bisa meminta izin pada Kaisar untuk keluar dan berkunjung ke tempat ini.”

Adelia mengangguk. “Baiklah. Aku akan mengabari Kaisar nanti.”

“Terima kasih, Kak.”

“Sama-sama, Adelia.”

“Oh, iya.” Adelia memiringkan kepalanya menatap Zeline, “kamu bisa catat nomor teleponnya dan menghubunginya. Berbicara empat mata soal gaji lebih baik dari pada orang lain yang menyampaikannya.” Lanjut Zeline tersenyum.

Sesaat Adelia mengerjap, lalu mengangguk mengerti.

“Sekali lagi terima kasih, Kak.”

Sore menjelang, tepat pukul 16:30 WIB.

Di dalam ruangan Kaisar.

Pria itu tersenyum penuh arti menatap layar ponselnya. Memutar kursi menghadap jendela kaca besar yang memperlihatkan bangunan pencakar langit di sekitar.

“Masuk ke ruanganku, Bram.” Titah Kaisar setelah memencet tombol pada telepon di atas mejanya.

Tidak lama kemudian, suara ketukan terdengar. Sosok Bram melangkah masuk setelah mendapat izin dari atasannya. Pria itu melangkah mendekat ke arah meja kebesaran Kaisar, lalu menghentikan langkah tepat di depan meja.

“Ada apa, Tuan?” tanya Bram dengan wajah datar.

“Jemput tamuku sekarang juga. Perlakukan dia dengan baik.” Ucap Kaisar menyeringai.

Seketika Bram mendongak menatap Bosnya dengan mata terbelalak.

“Baik, Tuan.” Sahut Bram patuh dengan tangan gemetar.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status