Suara decitan ban terdengar memenuhi bandara pribadi keluarga Salvatore saat sosok putra kedua di keluarga itu mengerem dadakan mobilnya.Devian segera membuka pintu. Berlari dengan tergesa-gesa mendekati jet pribadi miliknya yang siap lepas landas menuju La Spezia. Tepat saat tiba di samping pintu jet, Devian menoleh ke belakang. Menatap sepupunya yang masih berada dan diam dalam mobil."CEPATLAH, KAISAR! KAMU INGIN BERDIAM DI SINI LEBIH LAMA, HAH!" teriak Devian frustasi.Kaisar mengerjap mendengar teriakan itu. Teriakan yang seolah menyatakan jika sepupunya tengah melampiaskan amarah padanya.Apa salahnya? Sejak tadi Kaisar hanya diam, bahkan saat Devian menambah kecepatan mobil itu Kaisar tetap tak membuka suara dan hanya menggenggam erat sabuk pengaman.Sedang Devian mengusap kasar wajahnya. Hatinya sedang tidak tenang setelah menerima telepon bawahannya tadi. Telepon yang mengatakan jika terjadi sesuatu tak terduga di depan mansion Kakaknya. Kehadiran beberapa orang yang terliha
Tap tap tap!Suara derap langkah kaki terdengar di lobi perusahaan KR Group, perusahaan besar yang telah memiliki cabang di beberapa kota dan di luar Negeri.Para karyawan yang berada di lobi serentak membungkukkan setengah badan mereka pada sosok yang tengah berjalan mendekati lift dengan beberapa orang mengikut di belakang.Siapa lagi, jika bukan sang pemilik perusahaan.Kaisar Argantara.Pria dengan tinggi 189cm, memiliki wajah tampan dan rupawan yang menarik perhatian para kaum hawa hingga rela menjadi selingkuhan dari sosok tersebut. Sayangnya, pria itu tak suka dengan wanita. Kabarnya seperti itu, hingga kini telah tersebar di perusahaan membuat para karyawan wanita menghentikan niat mereka sebelum memulai.Putra sulung dari Revan Argantara dan Rania Alexander dengan watak dingin, warisan dari bapaknya.Kini pria tampan itu melangkahkan kakinya mendekati lift bersama dengan dua bodyguard yang mengekor di belakangnya dan satu lagi adalah sekretaris sekaligus tangan kanannya.Hany
Brak!Kaisar keluar dari mobil dengan membanting kuat pintu tanpa menunggu bawahannya. Berjalan dengan langkah lebar meninggalkan parkiran rumah sakit untuk segera memasuki lobi.Dua orang yang duduk di kursi depan saling bertukar pandang satu sama lain, kemudian menelan kasar ludah mereka secara bersamaan.“Tuan Bram ... kita tidak melakukan kesalahan ‘kan?” Tanya sang Sopir pada pria yang duduk di sampingnya.Bram segera menggeleng. Jelas sekali kemarahan Kaisar bukan karena mereka melakukan kesalahan, melainkan karena hal yang Bos mereka lihat di lampu merah tadi. Ingin sekali Bram menoleh dan melihat hal apa yang membuat bosnya marah, tapi nyalinya tak sekuat itu untuk bertanya.“Yang jelasnya hal itu bukan kesalahan kita. Jadi Kau tenang saja,” ujar Bram menenangkan, lalu membuka pintu dan keluar dari mobil menyusul Kaisar yang telah hilang dari pandangan.Di lobi rumah sakit.Kaisar berjalan dengan raut marah yang terlihat jelas di wajahnya, membuat para perawat dan beberapa ora
Suara pecahan kaca saling bersahutan di dalam sebuah ruangan tanpa henti. Napas Kaisar memburu dengan tangan terkepal kuat, hingga goresan di telapak tangannya mengeluarkan darah.“Dia ... Dia tersenyum seperti itu dengan begitu mudahnya?” Kaisar tersenyum miris, mengetatkan rahangnya dengan tubuh gemetar menahan amarah.“Kau sudah lama menikmati waktu di luar sana dengan bebas. Sudah tiba saatnya menerima hukuman, aku tidak akan melepaskanmu kali ini.” Ujar Kaisar dingin, lalu berbalik melangkah keluar dari ruangan kerjanya yang kini berantakan seperti kapal pecah dengan pecahan kaca di mana-mana.Di tempat lain.Seorang wanita memegang ponsel di telinganya. Berdiri diam menghadap dinding kaca yang memperlihatkan bangunan kota.“Kak ... apa aku sudah boleh kembali?” Tanyanya pelan dengan bibir gemetar mengingat hal yang telah ia lakukan.“Belum saatnya. Aku meneleponmu bukan untuk memanggilmu kembali, hanya ingin menyampaikan jika Ibu sangat merindukanmu.”Wanita itu menunduk dengan
“Tumben kamu datang ke sini, Kaisar? Biasanya kamu hanya fokus berkutak dengan laptop dan berkas-berkas dalam ruanganmu itu.”Kaisar tersenyum canggung. Mengikuti langkah Zeline memasuki Toko bunga.“Bukankah Om Dave juga seperti itu, Tante.”Zeline terkekeh kecil mendengar ucapan Kaisar yang menyindir Suaminya. Ya, karena memang hal itu benar adanya. Suaminya, putranya sama saja.“Ya, kamu benar.” Zeline menghentikan langkahnya tepat di samping meja yang ada di dalam toko bunga, lalu berbalik menatap pria yang terlihat rapi dengan setelan jas hitam di hadapannya itu.“Tante yakin, jika kamu ke sini tidak hanya untuk menyindir suami tampanku.”Kaisar tersenyum hingga memperlihatkan deretan giginya. “Aku ingin membeli bunga.” Ucap Kaisar, melirik sekilas ke arah Adelia yang hanya menunduk tanpa mengeluarkan suara.Zeline mengangguk mengerti. “Kamu ingin ke rumah sakit pagi ini?” tanya Zeline, mendapat anggukan dari Kaisar.“Adel, tolong siapkan bunga lily.” Lanjutnya memberi perintah p
“Sudah sampai?” tanya seseorang di seberang telepon tanpa sapaan atau lainnya.“Bisakah kau menyapa lebih dulu sebelum bertanya, Logan.”Lion menggeleng pelan dengan kaki terus melangkah mendekati pintu keluar bandara.“Iya-iya. Sekarang jawab.”“Aku sudah tiba di Bandara, Logan.”“Kalau begitu, sebaiknya segera hubungi Revan agar menjemput Kakak di Bandara.” Ucap Logan di seberang telepon.Lion menghela napas pelan. Menggeleng sembari menghentikan langkahnya. Memijit pangkal hidungnya.“Aku bisa naik taksi, Logan. Berhentilah …” Seketika ucapanLion terhenti dengan tatapan mata tertuju pada sosok yang berdiri tidak jauh darinya.“Risya.” Guman Lion dengan kedua mata terbelalak.“Kak ...” panggil Logan saat mendengar suara samar Lion di seberang sana.“Taksi sudah menunggu. Aku matikan teleponnya, Logan.” Seketika Lion memutuskan panggilan sepihak, berlari meninggalkan kopernya mengejar siluet seseorang yang sesaat ia lihat sebelumnya.Perlahan langkah Lion terhenti di luar bandara. M
Perlahan sepasang mata yang terpejam mengerjap perlahan, hingga akhirnya terbuka.Tubuh Adelia mematung menatap sekeliling ruangan yang begitu asing. Ruangan yang terlihat begitu mewah, tapi entah kenapa membuat Adelia takut.‘A-aku ada di mana? I-ini bukan kamarku.’ Batin Adelia. Bulir keringat dingin mulai terlihat membasahi kening gadis itu, hingga suara berisik cukup mengusik telinganya saat ia mengerakkan kakinya.Kedua mata Adelia terbelalak menatap rantai besi yang melingkar sempurna di pergelangan kakinya, rantai yang terikat pada kaki ranjang mewah berukuran king size dalam ruangan itu.Adelia berusaha untuk melepaskan rantai itu, tetapi tak bisa. Tiba-tiba bayangan akan kejadian sebelum ia kehilangan kesadaran melintas di benaknya.Adelia ingat jelas, saat itu ia tengah keluar untuk membeli bahan makanan. Karena bahan makanan di kosnya sudah habis. Namun, saat dirinya berniat untuk kembali ke kosnya. Tiba-tiba sebuah tangan membekap mulutnya, hingga Adelia kehilangan kesadar
Bram melangkahkan kakinya mendekati sepasang suami istri yang kini berdiri dengan raut wajah tegang menatap ke arah pintu ruang rawat di depan mereka.Revan menoleh saat mendengar langkah kaki mendekati. Menatap saksama sekretaris putranya.“Kamu sudah menghubungi Kaisar?” Tanya Revan yang dibalas anggukan kepala oleh Bram.“Raila ... Raila.”Revan segera memeluk tubuh Istrinya yang kini gemetar takut sambil menyebut nama Putri mereka.“Tidak apa-apa. Dia akan baik-baik saja.”Perlahan Rania mendongak, menatap wajah suaminya dengan mata berkaca-kaca. Padahal semuanya cukup baik beberapa menit yang lalu, tapi kenapa jadi seperti ini? Tubuh Raila tiba-tiba kejang tanpa sebab, membuat Rania yang saat itu duduk di dalam ruang rawat sontak berteriak memanggil nama suaminya.Revan dapat merasakan pundak Rania yang gemetar takut dalam dekapannya. Ia mencoba mengusap pelan punggung istrinya, berusaha untuk menenangkan meski jauh di lubuk hatinya ia juga khawatir.Beberapa menit kemudian.Sebu