Share

Gadis Manis

Brak!

Kaisar keluar dari mobil dengan membanting kuat pintu tanpa menunggu bawahannya. Berjalan dengan langkah lebar meninggalkan parkiran rumah sakit untuk segera memasuki lobi.

Dua orang yang duduk di kursi depan saling bertukar pandang satu sama lain, kemudian menelan kasar ludah mereka secara bersamaan.

“Tuan Bram ... kita tidak melakukan kesalahan ‘kan?” Tanya sang Sopir pada pria yang duduk di sampingnya.

Bram segera menggeleng. Jelas sekali kemarahan Kaisar bukan karena mereka melakukan kesalahan, melainkan karena hal yang Bos mereka lihat di lampu merah tadi. Ingin sekali Bram menoleh dan melihat hal apa yang membuat bosnya marah, tapi nyalinya tak sekuat itu untuk bertanya.

“Yang jelasnya hal itu bukan kesalahan kita. Jadi Kau tenang saja,” ujar Bram menenangkan, lalu membuka pintu dan keluar dari mobil menyusul Kaisar yang telah hilang dari pandangan.

Di lobi rumah sakit.

Kaisar berjalan dengan raut marah yang terlihat jelas di wajahnya, membuat para perawat dan beberapa orang yang berlalu lalang di lobi rumah sakit seketika menyingkir saat Kaisar berjalan melewati mereka.

“Sialan! Brengsek!” umpat Kaisar tanpa henti sejak tadi. Kedua tangannya masih terkepal kuat mengingat sosok yang ia lihat di lampu merah sebelumnya.

“Gila! Aku pasti akan memberikan pelajaran padamu, Jalang!” geram Kaisar dengan rahang mengetat.

Langkah Kaisar kian cepat mendekati lift.

Mengabaikan suara seseorang yang memanggil namanya, tanpa menoleh pun Kaisar tahu jika sosok itu adalah Bram. Tapi ia tak peduli, di pikirannya sekarang hanya ingin tiba di ruang rawat adiknya.

“Tuan! Tunggu saya,” teriak Bram mencoba mengejar langkah lebar atasannya yang kini telah memasuki lift.

Dengan tergesa-gesa pria berkacamata itu mendekati lift dan masuk. Mencoba mengatur deru napasnya yang tidak beraturan karena berlari.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Bram memencet tombol lift ke lantai dua rumah sakit tersebut. Mulutnya gatal ingin bertanya, tapi ia urungkan melihat ekspresi wajah atasannya itu.

Ting!

Kaisar melangkah lebih dulu keluar dari lift. Meninggalkan Bram yang kembali mengejar langkah kaki Bosnya dengan tergesa-gesa.

‘Hari ini suasana hari Tuan Kaisar sangat buruk, seperti hari itu.’ Batin Bram menelan kasar ludahnya.

Perlahan-lahan langkah kaki Kaisar melambat. Semakin dekat dengan pintu ruang rawat bertuliskan nama Raila Argantara, semakin lambat pula langkahnya.

Sesaat pria itu menghentikan sejenak langkahnya. Memejamkan matanya dengan tarikan napas panjang untuk menenangkan diri.

Pyuuh.

Kaisar menghela napas, kemudian kembali melangkah memasuki ruang rawat adiknya. Senyum yang tadinya lenyap, kembali terbit di bibir pria 25 tahun itu kala melihat sosok wanita berusia 40an lebih tengah duduk di samping brankar adiknya.

“Selamat sore, Mom.”

Wanita itu menoleh. Membalas senyum hangat di bibir putranya, “Kaisar, bagaimana pekerjaanmu, Sayang?” tanya Rania Argantara.

Sosok wanita yang masih terlihat begitu cantik walau usianya tak lagi muda.

“Lancar, Mom. Sangat,” balas Kaisar mendekat ke samping kursi Sang Ibunda, lalu mengecup singkat kening Ibunya itu.

“Apakah belum ada perkembangan?” lanjut Kaisar, bertanya pelan dengan tatapan sendu menatap sosok gadis cantik yang terbaring lemah di atas brankar.

Rania menunduk, lalu mendongak memaksakan senyum di bibirnya.

“Kata dokter, kondisi Raila sudah sedikit membaik. Hanya saja, mereka belum bisa memprediksi kapan dia akan siuman.” Lirih Rania, menggenggam erat tangan putri bungsunya yang telah koma selama tiga bulan.

Kaisar menganggukkan kepalanya beberapa kali. Rahangnya mengetat tanpa Rania sadari perubahan ekspresi putra sulungnya itu.

“Mom,” panggil Kaisar.

“Iya, Sayang?” sahut Rania mendongak menatap wajah putranya.

Kaisar kembali tersenyum simpul dengan kepala menunduk membalas tatapan Sang Ibu, “Mommy percaya padaku ‘kan?” tanya Kaisar.

Seketika Rania mengerutkan keningnya bingung, merasa aneh dengan pertanyaan yang diajukan oleh putranya itu.

“Mommy selalu percaya padamu, Sayang. Apa pun itu, Mommy akan selalu percaya. Karena kamu tidak pernah berbohong,” ucap Rania.

Wanita itu memiringkan kepalanya menatap Kaisar yang kini berjongkok di hadapannya.

“Aku akan melakukan yang terbaik. Aku akan melakukannya,” ujar Kaisar semakin membuat Rania bingung. Tapi tetap menganggukkan kepalanya.

Bram yang sejak tadi diam melihat interaksi sepasang Ibu dan Anak itu, pelan-pelan menelan ludahnya kasar.

Tiba-tiba ia merasa tidak enak, firasatnya mengatakan hal buruk akan terjadi pada seseorang yang tidak bersalah, seperti hari itu. Ya, seperti hari itu.

“Oh, iya. Daddy ke mana?” tanya Kaisar menatap sekeliling ruangan untuk mencari keberadaan Sang Ayah.

“Tadi Daddy mu mengatakan, jika dia akan kembali setelah menelepon seseorang.” Jawab Rania yang dibalas anggukan kepala oleh Putranya.

“Mom,” panggil Kaisar lagi.

“Hm,” kini Rania membalas dengan deheman.

“Soal ucapanku yang tadi. Jangan beritahukan pada Daddy, ya.” Ucap Kaisar atau lebih tepatnya permohonan.

Seketika Rania menoleh menatap Kaisar, “kenapa?” tanya Rania bingung.

“Tidak apa-apa,” jawab Kaisar tersenyum simpul.

Di sisi lain.

Sosok gadis cantik tengah berdiri tegap di samping lampu merah. Menawarkan sepucuk bunga yang telah dihias dengan begitu cantik pada pejalan kaki di sekitarnya.

Sejenak ia menghela napas pelan dengan senyum yang tak luntur dari bibirnya. Sedikit menunduk menatap keranjang rajut yang kini telah kosong.

“Hari ini juga habis. Syukurlah,” ujarnya tersenyum cerah.

Di saat gadis itu masih menunduk dengan senyumnya. Tiba-tiba sebuah suara terdengar memanggil namanya.

“Adelia!”

Sontak ia menoleh. Tersenyum hangat pada sosok wanita yang tengah berdiri di depan toko bunga terdekat sembari melambaikan tangan ke arahnya.

Dengan segera gadis bernama Adelia itu berlari menghampiri sosok yang memanggilnya.

“Iya, kak. Ada apa?” tanya Adelia saat tiba di depan wanita itu.

“Jangan terlalu lama berada di bawah matahari. Kamu harus banyak istirahat, ingat?” tanyanya.

Adelia tersenyum malu dengan pipi bersemu. Dia bahkan tak peduli dengan kesehatannya, tetapi wanita yang merupakan Bosnya itu malah begitu perhatian melebihi dirinya sendiri.

“Iya, kak. Maaf, lain kali akan aku ingat.” Ucap Adelia menggaruk pelan pelipisnya yang tidak gatal.

Wanita itu menggeleng pelan, “bersiaplah untuk pulang. Hari sudah mulai sore,” ujarnya mengingatkan.

“Baik, kak.” Sahut Adelia menatap dalam diam pada punggung wanita itu yang perlahan menghilang di balik pintu masuk toko bunga tempat ia bekerja.

Adelia terkekeh pelan mengingat panggilan yang kini ia gunakan pada atasannya itu. Walau Adelia memanggil dengan sebutan ‘kakak’ tapi nyatanya sosok tersebut jauh lebih tua darinya.

Bahkan bosnya itu sudah memiliki seorang putra yang hampir seumuran dengan dirinya.

Tubuh Adelia tersentak kala mendengar suara mobil yang berhenti di depan toko. Seketika ia menoleh, terdiam menatap pria jakun dengan wajah tampan rupawan keluar dari mobil.

Panjang umur sekali, padahal Adelia baru saja membatin membahas sosok tersebut, Putra dari atasannya.

“Selamat Sore, Tu—“

Sebuah telunjuk sudah lebih dulu berada di bibir Adelia sebelum wanita itu menyelesaikan ucapannya.

“Panggil namaku. Kamu bukan pembantu di rumahku, hingga memanggil dengan sebutan Tuan Muda.” kesal pria itu, Rean Admaja.

Adelia terkekeh dengan senyum canggung,

“maaf, Tu—“ Adelia segera membekap mulutnya sendiri kala hampir mengucapkan panggilan itu.

Rean menggeleng.

“Di mana Ibuku?” tanya Rean mencari sosok yang menjadi tujuannya ke tempat itu. Hingga mendapat telepon tanpa henti dari Ayahnya yang posesif bin protektif.

“Ah, itu—“

“Oh, Rean. Kamu sudah datang. Padahal Mama bilang untuk jemputnya besok saja.”

Rean menghela napas sambil menggelengkan kepalanya, “apa Mama mau membuat Papa gila?” tanyanya dengan wajah malas.

Seketika wanita itu terkekeh pelan. Melirik ke arah Adelia, hingga tanpa sengaja pandangan keduanya bertemu membuat Adelia menelan kasar ludahnya merasakan firasat tak enak saat itu juga.

“Em, kak. Aku pulang duluan, sampai jumpa besok.” Ujar Adelia. Buru-buru memasuki toko bunga untuk mengambil tas jinjing miliknya, lalu meninggalkan toko bunga tersebut setelah berpamitan sekali lagi pada atasannya.

Suara deru napas tak beraturan terdengar.

Perlahan langkah kaki Adelia terhenti. Sedikit menoleh ke belakang untuk memastikan jika dirinya telah jauh dari tempat kerjanya itu.

“Untunglah. Hampir saja,” gumam Adelia mengusap pelan dadanya.

Sejenak gadis itu terdiam merenung di trotoar jalan. Mengingat beberapa hal yang kini sedikit mengganggu pikirannya.

‘Sepertinya aku harus mencari pekerjaan lain. Jika hanya mengandalkan gaji dari toko bunga, maka aku tidak bisa melunasi semua utang itu.’ Batin Adelia menggigit bibirnya sendiri.

“Ya, aku harus mencari pekerjaan lain dengan gaji besar. Eh, tapi apa ada?”

“Urusan belakangan, ah. Pokoknya sekarang harus semangat, jalan masih panjang Adelia.” Ujarnya bergumam sendiri lalu melangkah penuh semangat kembali ke kontrakannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status