Aku segera bangun dan turun dari ranjang."Akhh..." pekikku saat merasakan organ intimku yang terasa perih. Sekuat tenaga aku melangkahkan kaki. Rasanya tidak sabar ingin melihat kondisi Firman.Dengan langkah tertatih aku keluar dari kamar. Aku segera berjalan menuju teras. Disana, aku bisa melihat Firman yang tengah berdebat dengan Mas Hendra."Mbak Winda!" panggil Firman, dia tersenyum melihatku yang berdiam di ambang pintu. Mas Hendra langsung menoleh. Kemudian berjalan dengan cepat menghampiriku."Masuk ke dalam!" sentak suamiku itu."Tidak, Mas. Aku ingin bertemu dengan Firman." Aku menatap ke arah Firman yang sedang memandangku. Dengan wajah yang penuh luka itu dia berjalan mendekat."Stop, Jangan mendekat!" ujar Mas Hendra.Firman yang semula hendak menghampiri kami langsung berhenti di tempat."Kak, ceraikan Mbak Winda. Biarkan dia bersamaku." lirihnya. Aku menatap Firman dalam, begitupun sebaliknya."Winda milikku. Dia masih sah sebagai istriku. Dan kau—" tunjuk Mas Hendra k
"Hentikan, Jangan sakiti Winda!" suara bariton seorang pria datang, kemudian memeluk tu buhkku.Mereka semua mundur ke belakang, aku menoleh ke arah pria yang kini berusaha untuk melindungiku dari cemoohan mereka yang terus menghinaku."Jangan sakiti, Winda. Dia istriku, aku memaafkannya." ujar suamiku.Aku menoleh ke arahnya, menatapnya lekat. Apa yang sedang dia perankan disini suami yang tersakiti? Cih! Bukankah dia juga pernah menghianatiku. Kenapa seolah-olah aku yang salah. Ini sangat tidak adil."Ayo, sayang. Kita pulang."Mas Hendra berusaha membantuku untuk berdiri. Kemudian menuntunku untuk kembali ke rumah. Aku menoleh ke arah Mbak Santi dan para tetanggaku yang lain. Tatapan mereka terlihat tidak bersahabat."Dasar ipar tak tau diri.""Wanita mand*l yang tak tau di untung,"Samar-samar aku masih bisa mendengar umpatan demi umpatan dari mereka. Aku memilih untuk mengabaikannya.Setiba di dalam rumah Mas Hendra mendudukanku di sofa. Kemudian dia ikut duduk di sebelahku."Ken
"Pulanglah, Winda!" sahut seseorang di sebrang telepon.Mataku membulat sempurna dengan tangan yang menggenggam telepon. Tanganku bergetar saat suara di sebrang sana adalah suara Mas Hendra. Bagaimana bisa ponsel Firman ada padanya?"M—Mas Hendra..." lirihku. Napasku tercekat."Keluarlah dari sana, aku menunggumu di mobil." Aku berbalik badan, di sebrang jalan ada Mas Hendra yang sedang memperhatikanku dari dalam mobil, tangannya menggenggam ponsel menerima panggilan dariku.Aku segera menutup telepon, aku tak habis pikir, kenapa ponsel Firman berada di tangan Mas Hendra. Aku keluar dari sana tatapanku menunduk ke bawah. Mas Hendra menjalankan mobilnya menghampiriku."Ayo, masuk!" ujarnya saat tiba di depanku.Ingin rasanya aku pergi dari sana, namun percuma saja, Mas Hendra takkan melepaskanku.Aku mende sah pelan, kemudian masuk ke dalam mobil. Mas Hendra melajukan mobilnya dengan cepat, hingga mobil berjalan meliuk-liuk. Aku bisa merasakan dirinya tengah di landa emosi."Kenapa kau
Mbak Santi mencari Firman di kamar mandi namun tak menemukannya.Dia terlihat stres, Mbak Santi keluar dari ruangan kemudian memanggil perawat."Perawat, perawat! Cepat kemari." teriak Mbak Santi.Seorang perawat tergopoh-gopoh menghampiri Mbak Santi."Ada apa, Bu?""Dimana adikku Firman?" tanya nya menatap tajam ke arah sang perawat."Pasien bernama Firman, bukankah dia belum sadar? Bagaimana mungkin dia ada di tempatnya?""Oh astaga," Mbak Santi menepuk dahinya, dia lupa memanggil Dokter, jika Firman sudah sadar."Adik saya sudah sadar, saya lupa memberi tahu dokter. Dan sekarang dia tidak ada di ruangannya selang infusnya saja sudah di cabut paksa.""Apa pasien mengatakan ingin pergi ke suatu tempat sebelumnya, Bu?" tanya sang perawat.Mbak Santi bergeming di tempat, dia teringat permintaan Firman yang ingin bertemu denganku."Ya, aku tau dimana adikku sekarang, terimakasih perawat. Saya pergi dulu." Mbak Santi pergi dari sana membawa nasi kucing yang sempat dia beli tadi.***Di j
Aku terbangun beberapa jam kemudian, aku menatap langit-langit yang bernuansa putih. Tunggu, dulu. Ini bukan kamarku! Aku melihat ke sekeliling, tempat yang terasa dingin dan asing.Aku melirik ke sampingku, ada Mas Hendra yang tengah duduk, menelungkup kan kepalanya pada sisi ranjang. Tempat yang aku tiduri saat ini.Aku menyentuh kepalanya. Sebenarnya tidak berniat untuk mengganggu tidurnya, namun aku merasa tak nyaman berada disana.Mas Hendra menggeliat kala jari tanganku menyentuh rambutnya."Engh!" Mas Hendra mengucek matanya, kemudian tersenyum melihatku."Win, kau sudah bangun?" sapanya.Aku tersenyum simpul, " Mas, kenapa kau membawaku kemari?" tanyaku, aku kebingungan. Seingatku aku hanya pingsan, tapi Mas Hendra malah membawaku ke rumah sakit. Lebay sekali."Tadi kau pingsan, Win. Aku takut kau kenapa-napa, apalagi kau pingsannya sangat lama. Jadi aku membawamu kemari." ujarnya."Kalau begitu.... Ayo kita pulang, Mas!" seruku."Sekarang sudah malam, kita pulang besok saja."
Aku duduk di bibir ranj-ang, masih memikirkan bagaimana nasibku kedepannya. Mas Hendra setelah ini pasti akan menceraikanku. Dia tak mungkin mempertahankan wanita yang sudah hamil dengan pria lain. Aku memijat pelipis, merasa bingung dengan nasibku yang terasa malang.KREK!Bunyi pintu kamar terbuka, menampakkan Mas Hendra yang lebih terlihat segar, tidak se kusut sebelumnya. Apa kondisi hatinya sudah membaik?Mas Hendra menyunggingkan senyum, kemudian berjalan ke arahku. "Mas...." sapaku."Apa, kau sudah membaik?" sambungku.Mas Hendra duduk di sampingku. Dia menghembuskan napas perlahan."Sejujurnya aku senang tidak baik-baik saja, Win." Dia menoleh ke arahku."Setelah mengetahui semua kebenarannya, aku minta maaf pada mu. Selama ini aku selalu menuduhmu, menyudutkanmu, bahwa kau yang bermasalah, haha." Mas Hendra tertawa sumbang. "Tapi ternyata malah aku sendiri yang m@ndul. Tidak bisa memberimu keturunan. Maafkan aku." sambungnya.Aku tersenyum simpul, kemudian menatapnya dengan l
Seorang pria duduk di sampingku, yang tengah terbaring lemah di rumah sakit. Ada luka perban di area kepala akibat benturan keras di aspal.Aku masih belum sadar setelah kecelakaan itu.Tak berselang lama Dokter pria, memakai jas berwarna putih datang, usianya sekitar 40 tahun. Dia masuk ke ruangan dimana ada aku yang masih tak sadarkan diri."Anda siapa?" tanya nya. Pada seseorang yang berada di samping ran-jangku."Saya suaminya, Dok." ujarnya, yang tak lain adalah Mas Hendra.Dokter itu berjalan ke arah ranj-ang, kemudian mulai memeriksaku dengan teliti."Bagaimana keadaan istri saya, Dokter?" tanya Mas Hendra."Luka di kepalanya tidak terlalu parah, tidak sampai mengalami pembekuan darah. Beruntung tidak ada luka dalam. Dan hanya terluka di bagian luar saja.""Lalu bagaimana dengan...." Mas Hendra melirik ke arah perutku."Oh untuk itu—Janin yang di kandung oleh pasien bernama Winda ini, baik-baik saja, Pak. Dia sangat sehat dan kuat.""Em, begitu ya, Dokter?!" Mas Hendra terlihat
Di sebuah pabrik bangunan yang sudah tak terpakai, Firman memukul tembok berkali-kali. Meluapkan kekesalannya. Dia tak perduli dengan darah yang keluar dari sela-sela jarinya yang terluka.Rasa sakit di tangannya tak sebanding dengan sakit di hatinya. Dua kali Firman mengalami kegagalan cinta. Dan kali ini lebih sakit dari sebelumnya. Hatinya terluka kala mendengar pengakuan Mas Hendra tentangku."Aaaaaaaahhh!" Firman mendongak, dia berteriak kencang, urat-urat di lehernya sampai terlihat.Firman luruh ke lantai, dia terduduk, bersandar pada tembok yang terlihat usang. Firman memijat pelipisnya. Pikirannya begitu kacau. Di satu sisi dia masih mencintaiku, disisi lain dia begitu kecewa terhadapku."Kenapa, Winda? Kenapa?! Kenapa kau tak datang, mungkin aku tidak sekecewa ini jika kau mengatakannya secara langsung.""Aku begitu senang saat kau mengajakku bertemu tapi apa? Kau malah memberiku luka sesakit ini, hiks!" Firman menangis, meraung sejadi-jadinya disana. Tanpa ada yang mendenga