Setelah itu Winda mendekat ke arah Firman duduk di sampingnya, dia menatap muka wajah yang tengah terlelap. Wajah yang sangat teduh, tiba-tiba saja jantungnya berdetak kencang saat menatapnya. Winda menyentuh dadanya sendiri.
Deg Deg Deg!Benar, jantungnya berdebar-debar. Padahal Firman Tengah tertidur.“Perasaan apa ini? Apakah aku jatuh cinta pada Firman?”“Ah, sudahlah. Jika memang iya, bukankah tidak apa-apa. Toh, dia suamiku.” Winda mengulum senyum.Senyum di wajah Winda pudar saat melihat bibir Firman bergetar.“A—aku tidak melakukan apapun, Win. Tidak ...” gumam Firman dengan mata yang masih terpejam.Winda langsung menyentuh keningnya.“Sshh, panas!”“Ternyata Firman demam, pantas saja dia tidak turun untuk makan malam.”Winda segera bangun dari ranjang. Kemudian keluar dari kamar. Dia mengambil sesuatu kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Sambil membawa bak berisi air hangat dan jugaPagi hari .... Firman membuka matanya perlahan. Kepala yang semalam terasa berat, kini menghilang perlahan. Meskipun dia demam tinggi semalam, tapi dia ingat semalam Winda mengompres dirinya. Firman pikir Winda percaya pada ucapan seseorang yang mengatakan dirinya adalah penyebab kematian Hendra—kakaknya sendiri. Ternyata wanita itu masih perduli padanya. Firman mengulum senyum. Dia menoleh ke samping. Kosong! Winda tidak ada di sana. Entah semalam istrinya itu tidur di mana dia tidak tau. Sebab, setelah minum obat matanya terasa berat. Dia tertidur dan baru bangun sekarang. Firman menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Dia harus segera pergi ke kantor. Hari ini ada jadwal meeting pagi. Sebagai manager yang disiplin tentu saja Firman tidak ingin telat. Meskipun tubunya masih terasa tidak enak. Namun, semangatnya tidak berkurang sedikitpun. Ada wajah Fira dan Farhan, yang menjadi semangatnya ketika rasa malas itu datang. D
POV Firman Aku baru saja sampai di kantor. Berbarengan dengan aku masuk ke dalam loby, tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Aku segera mengangkatnya karena itu berasa dari rumah. Aku sangat takut terjadi sesuatu di rumah. Apalagi itu menyangkut Winda. Kondisi nya masih belum stabil. “Halo, Bibik. Ada apa?” “Halo, Pak. Ibu ... Ibu ....” “Ada apa? Bicara yang jelas?! Winda kenapa?” bertubi-tubi pertanyaan kulontarkan, aku benar-benar merasa khawatir. “Ada apa dengan Winda?” “Tadi Ibu pamit keluar sebentar katanya, dia membawa tas.” Ah, aku meraup wajah kasar. “Sudah kuduga, dia pasti akan berpergian. Harusnya aku tetap di rumah.” Aku menyesal. Kupikir memang benar Winda hanya per
“Bagaimana? Apa ada perkembangan?” itu suara Kak Santi. Aku segera menoleh ke arah nya. Kemudian menggeleng, “Belum, Winda masih belum sadar.” jawabku. Aku menatap ke arah ranjang di mana ada Winda yang tengah berbaring dengan luka perban di kepalanya. Kejadian dua hari yang lalu membuatnya tak berdaya di rumah sakit ini. “Anak-anak bagaimana, mereka sama siapa?” Aku menghela napas sejenak, “Bersama asisten rumah tangga kami.” “Kakak ke rumahmu ya, kasian keponakanku. Dua kali ibu mereka masuk rumah sakit.” Aku mengangguk,“Terima kasih, Kak.” “Ya sudah. Kakak pamit ingin menemui mereka. kamu jangan terus bersedih, doakan saja istrimu cepat pulih.“ “Oh iya, bagaimana dengan pelaku yang menyebabkan Winda begini?” “Aku sudah melaporkannya kepada pihak berwajib, biarkan mereka yang mengurusnya.” Kak Santi tersenyum, “Aku tau, adikku tau apa yang harus di lakukan.”
Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu ... Aku dan anak-anak terus mencoba untuk menghibur Winda. Jangan sampai dia sedih dan terus memikirkan Farah. Ternyata, tidak ada usaha yang menghianati hasil. Winda yang tadinya menangisi Farah setiap malam. Kini sedikit berkurang. Hari ini adalah hari jadi pernikahan kami yg ke 6 tahun, tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Aku berencana mengajaknya liburan di bali sekaligus merayakan anniversary kami. Anak-anak sengaja kutitipkan pada Kak Santi selama aku liburan di bali.Kami sampai di resort Bali setelah sebelumnya naik pesawat selama 2 jam. Winda langsung merebahkan diri di kamar hotel. Aku tau dia pasti kelelahan.Setelah memasukan isi koper ke dalam lemari, aku langsung membuka tirai jendela. Terlihat deburan ombak yang sangat kencang di sertai dengan pemandangan yang sangat cantik. Aku sengaja memilih resort yang menghadap langsung dengan laut. Jadi, saat berdiri di jendela seperti yang kulakukan i
BRAK!"Ah ma—maaf mbak, aku tidak sengaja. Aku pikir tidak ada orang di dalam."Firman pria berusia 27 tahun itu segera menutup pintunya kembali.Aku terpaku di tempat, saat adik iparku masuk ke dalam kamar mandi, dimana aku sedang tel*njang bul4t di dalamnya.Firman adiknya Mas Hendra suamiku. Usianya memang lebih tua di atasku. Sebab aku menikah dengan pria dewasa yang 7 tahun lebih tua dariku. Firman dan Mas Hendra hanya berjarak satu tahun saja. Namun Firman dengan sopan memanggilku dengan sebutan Mbak Winda. Winda—namaku.Aku menggigit bibir merasa malu, mengapa aku sebodoh ini, seingatku pintunya ku kunci. Ah Firman telah melihat seluruh tubuhku. Apalagi tadi matanya membulat seolah mengagumi tubuhku yang seksi tanpa busana.Aku bergegas menyelesaikan mandiku, kemudian segera keluar. Berjalan mengendap-endap menuju kamarku.Ini salahku, aku yang ceroboh sampai lupa mengunci pintu. Semoga saja Firman tidak berpikir aku sengaja ingin menggodanya.Sudah sebulan Firman tinggal di ru
Aku menelan ludah, kemudian mengatur napasku. Aku menautkan alis saat suara itu tidak terdengar lagi. Ku dekatkan telingaku kembali menempel pada pintu. Dan...KREK!Pintu terbuka, aku terkejut bukan main."M—mbak Winda, ngapain disini?" ujar Firman dengan wajah yang panik."Em, a—aku.... Aku...." Aku tak kalah panik dari Firman."Mbak ngapain? Ko gugup gitu, jangan bilang mbak mau ngintip aku?" tanya-nya sambil menaik-turunkan alis menyudutkanku. Aneh, harusnya dia malu karena terpergok olehku."Tidak, tadi... Aku hanya mengambil air minum untuk Mas Hendra, dan tak sengaja malah mendengar... Mendengar...""Oh itu.... Mbak jangan salah paham. Tadi temanku iseng mengirimkan sepenggal video film blue, aku juga kaget, makanya langsung aku matikan dan tak sengaja malah bertemu Mbak Winda.""Oh begitu." wajahku berubah sendu, ternyata pikiranku salah."Kenapa? Kok wajah Mbak Winda murung begitu, kecewa ya, karena ternyata bukan aku? Apa Mbak Winda ingin aku melakukannya? Hem." tanya-nya me
Aku menutup kamarku, kemudian berjalan ke arah ranjang, aku duduk dan segera mengambil surat dari rumah sakit dalam tasku. Kemudian mulai membukanya perlahan. Jantungku semakin berdegup tak karuan. Perlahan aku membaca dengan seksama setiap kata. Dan... Hasilnya sangat mengejutkanku. Aku membekap mulut tak percaya. Di keterangan tertulis bahwa Mas Hendra tidak bisa mempunyai keturunan, itu artinya dia.... Mandul.Aku menggeleng kuat. "Tidak, tidak. Mas Hendra tidak boleh tahu tentang ini. Jika dia tahu, dia pasti akan sedih."Aku segera menyembunyikan kertas itu di dalam lemari, menyimpannya rapat-rapat.Banyak orang-orang diluar sana yang diagnosa mandul, tapi tetap bisa punya anak.Aku segera pergi ke dapur, memasak untuk makan malam Mas Hendra dan juga Firman.Saat sedang masak pikiranku melambung pada kertas diagnosa Mas Hendra yang tidak bisa memiliki keturunan. Entah sampai kapan aku akan menyembunyikannya. Yang jelas aku tidak ingin Mas Hendra merasa sedih.Sebenarnya aku juga
Aku mengangguk kembali. Kemudian mulai mengelus perut bagian bawahnya."Kebawahan lagi Mbak.""Minyaknya tambahin dikit lagi."Lagi-lagi aku menurut, mengikuti setiap yang di katakan Firman. Namun tak lama kemudian gerakan tanganku terhenti, saat tak sengaja menyentuh benda kenyal.Aku melirik ke arah Firman yang ternyata sedang menatapku dengan tatapan sayu."Fi—Firman, K-kau?" Aku menjadi gugup."Maaf, Mbak. Aku tidak bisa menahannya." lirihnya.Aku langsung menarik tanganku dari sana.BRAK!Pintu rumah terbuka menampakkan Mas Hendra di sana. Firman segera terduduk. Dan aku juga segera berdiri. Aku sangat gugup, takut Mas Hendra salah paham."Kalian sedang apa?" tanyanya menatapku dan Firman bergantian."Perut ku sangat sakit Kak, sepertinya aku diare. Jadi aku minta minyak angin dan obat pada Mbak Winda."Aku berusaha bersikap sebiasa mungkin di depan Mas Hendra."Oh, kalau begitu minum obatmu."Mas Hendra masuk ke dalam, kemudian menarik tanganku agar mengikutinya masuk kedalam ka