Pada akhirnya, Alifa bisa menarik nafas lega ketika berada di dalam mobil Novi. Novi menoleh sekilas, kemudian fokus pada kemudi mobilnya.Dia mendengar Alifa berkali-kali mendesah gusar. Hal tersebut membuat Novi tidak tahan untuk tidak bertanya."Ada apa, Lif? Kamu bertengkar lagi sama Mas Farrel?" tebaknya.Alifa tak menjawab, dia malah kembali mendesah kasar. Novi yang merasa tebakannya benar, menggeleng pelan. Gadis manis itu menghentikan mobilnya ketika melihat Zizi sudah menunggu di depan rumahnya."Kenapa sih, Lif, kalian itu hobi banget berantem? Perasaan tadi, dia masih antar jemput kamu ke kampus, deh!" ucap Novi. "Apa ini ada hubungannya dengan rencana kita touring itu?" tanyanya tak enak hati."Mas Farrel nggak mengizinkan kamu pergi ikut touring?" Kali ini giliran Zizi yang bertanya sambil menutup pintu tengah.Alifa menoleh sekilas dan mengangguk pelan. "Iya, posesif banget dia. Apalagi tahu aku hamil, huuh tambah memperlakukan aku mirip anak PAUD!" Alifa menjawab denga
Tanpa menunggu persetujuan Alifa, Kevin segera bangkit dari tempat duduknya. Laki-laki itu memesankan makanan yang menurutnya lebih bergizi. Alifa mengamati semangkuk gulai yang terlihat begitu nikmat. Tiba-tiba, dia kembali teringat akan suaminya itu. Alifa menunduk, mengambil handphone yang sejak tadi dia simpan di dalam tasnya dalam keadaan mati."Mas Farrel," gumamnya lirih, ketika handphone telah dinyalakan. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari suaminya itu. "Faa, makan dulu, mumpung masih hangat." Kevin kembali memperingatkan. Alifa mendongak dan mengangguk kaku. Sedangkan Zizi dan Novi memperhatikan interaksi keduanya dengan tatapan penuh arti. Melihat perhatian Kevin pada Alifa yang tidak wajar, Zizi tampak gelisah.Kevin menggeser mangkuk lebih mendekat ke arah Alifa. "Makan dulu, biar baby kamu sehat," titahnya.Alifa kembali mengangguk. Dia mulai menyuap. Tetapi, tiba-tiba rasa mual itu bergejolak di dalam perutnya. Alifa segera bangkit sambil memegang perutnya."Lif
Farrel memejamkan matanya rapat. Dia mendongakkan wajah. Ucapan sang istri menyesakkan dadanya. "Astaghfirullah," gumamnya lirih. Dia tidak boleh terpancing emosi sesaat yang akan menghancurkan segalanya. Bukan hanya rumah tangga yang baru dimulainya yang hancur. Akan tetapi, kekecewaan dari semua anggota keluarga besarnya. Jika Farrel menuruti emosi istrinya maka detik ini juga semua akan selesai. Arsyi Allah akan berguncang dengan kata talaq.Tidak. Dia tidak ingin mengalah. Farrel mendekat ke arah sang istri yang masih mematung di tempatnya. Wanita itu menatapnya tajam dengan nafas memburu.Farrel menangkup wajah tirus istrinya dengan telapak tangannya. Dia menatap wajah cantik itu dalam-dalam walaupun Alifa tak membalas tatapannya."Kamu tahu, Sayang." Farrel berucap lirih sambil mengusap-usap pipi istrinya dengan ibu jarinya. "Jika aku sangat marah, itu artinya aku takut kehilanganmu. Aku khawatir akan keadaan kamu. Tadi sewaktu aku tinggal pergi kamu sedang marah, dan...""Ng
Alifa kembali mencubit. Kali ini perut suaminya yang dijadikan sasaran. Farrel tersenyum dan menggenggam jemari tangan istrinya sebentar karena harus konsentrasi pada setir motornya."Mas, jaga tuh pandangannya. Nggak usah lihat-lihat paha cewek lain. Dosa!" Farrel kembali menyunggingkan senyum melihat wajah Alifa yang masih cemberut. "Kamu kalau cemberut gini bikin gemes, Sayang. Jadi, bagaimana, kita ke hotel dulu ya?" Farrel kembali bernegosiasi. Alifa tak menyahut dan malah menipiskan bibirnya menahan geram. "Mau ngapain sih ke hotel terus pikirannya?" tanyanya gemas."Ya, pengin saja. Biasanya habis berantem, kamu tuh beda, Sayang." Farrel menjawab sambil cengengesan. "Bagaimana Alifa Fatima?" tanyanya lagi.Alifa tak menjawab. Dia malas meladeni keinginan suaminya. Merasa tak ada jawaban, Farrel kembali iseng. Dia mengusap pelan paha istrinya yang terbalut celana jeans. Kini, mereka berhenti di lampu merah."Gara-gara lihat paha cewek tadi, pikirannya jadi gentayangan!" Alifa
Mereka kompak menoleh. Farrel telah berdiri beberapa langkah di belakang keduanya. Laki-laki jangkung itu tersenyum miring dengan tatapan tajam pada Kevin."Dengan cara apa aku bilang ke kamu, Vin?" Farrel tak mau berbasa-basi. "Jauhi istriku, kamu dengar?" tanyanya tegas."Ow, ow ... sabar Bro. Aku nggak mengganggu Alifa. Kamu tahu, kan? Kami itu bersahabat, jauh sebelum kamu hadir dalam hidupnya?" tanya Kevin sambil menaikkan dagunya. Dia menjulurkan tangan dan menunjuk tepat di dada Farrel. "Kamu nggak bisa mengaturku," ucapnya lirih seolah mengejek.Farrel menepis tangan Kevin dan menantang tatapan laki-laki di depannya. "Sahabat yang modus mencintainya setelah kamu kesepian?" tanyanya sinis."Ya, aku mencintai Alifa. Mau apa kamu?"Bugh!Farrel tak tahan lagi. Setelah mendaratkan pukulan di rahang Kevin hingga memar, Farrel mencengkeram kerah kemeja laki-laki berkulit putih tersebut."Mas, sudah!" Farrel melirik ke arah Alifa yang memegangi lengannya yang terangkat, siap memukul
Kevin mengangguk walaupun tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi antara Elis dan Farrel. "Sudah, kita bicarakan di rumah. Ayo pulang, kamu ke sini naik apa?" tanya laki-laki bermata agak sipit itu.Kevin mengulurkan tangan dan mengusap bahu adik sepupu mendiang Marissa itu. Marissa menoleh ke arah motor matic yang diparkir di depan warung bakso."Aku bawa motor, Mas."Kevin mengikuti arah pandangan Elis, lalu mengangguk samar. "Oh, ya sudah. Kamu hati-hati," pesannya.Elis masih bergeming di tempatnya. Kevin mengurungkan niatnya membuka pintu mobil. Dia mengerutkan kening melihat Elis yang tidak mau beranjak."Lis, pulang dulu!" ucapnya."Mas Kevin tadi bilang, sahabat istrinya Mas Farrel. Kapan mereka menikah?" tanya gadis berambut sebahu itu."Sebulanan yang lalu." Kevin menjawab singkat. Jangan ditanya perasaannya ketika mengingat Alifa sudah menikah. Menyesal karena kebodohan. Elis mengangguk lemah. Sama seperti Kevin, hatinya terasa sakit setelah mengetahui ternyata Farrel s
Alifa menunggu jawaban dari Farrel dengan dada berdebar-debar. Namun, Farrel tidak kunjung menjawab pertanyaan istrinya itu. Alifa yang tidak sabar segera mendorong dada suaminya dengan wajah cemberut."Nggak usah dijelasin, aku sudah tahu jawabannya. Iya itu berarti benar. Iya kan, Mas?" Farrel mengangguk dan menarik tangan istrinya, lalu kembali memeluk istrinya itu. "Iya, benar. Laki-laki itu boleh memiliki istri sampai empat. Tapi...""Tapi apa?" sahut Alifa menghentikan ucapan suaminya. "Tapi takut nggak adil begitu?" tanyanya lagi.Farrel kembali mengangguk tanpa merasa bersalah. "Iya, tapi bukan itu alasannya. Aku takut kalau aku punya istri lagi, aku nggak bisa memberikan adik buat Alfa. Alangkah mengerikan dan nggak bergunanya aku, Fa," keluhnya yang langsung mendapatkan cubitan kuat di lengan."Auh, auh! Kenapa kamu hobi nyubit sih, Fa?" "Biarin, habisnya aneh-aneh. Kenapa dulu nggak dinikahi saja kalau gitu?" Alifa kembali menunjukkan sikap ketusnya. "Sekarang mau macam-m
Alifa meletakkan kembali kunci kontak motor di tangannya dengan gerakan lemah. Kurang ajar sekali suami menyebalkannya ini."Kenapa? Nggak suka?" tanya Farrel dengan alis terangkat sebelah. Dia melirik kunci tersebut yang berada di atas meja. "Motor itu bagus lho, Fa. Keluaran terbaru," lanjutnya.Alifa mendesah jengkel. "Kalau niat beliin istrinya motor untuk touring itu yang ikhlas, Mas. Jangan pakai syarat. Jangan-jangan ini motor kreditan!" cibirnya sinis."Sembarangan kreditan, noh BPKB di rumah. Salah sendiri seharian marah-marah.""Kalau gitu kenapa mesti pakai syarat segala? Awas, kalau tiap bulan aku ditagih orang gara-gara utang motor." Alifa menggerutu tak mau kalah. Mendengar ucapan istrinya yang berdengung seperti lebah, Farrel menggaruk telinganya. Dia ingin mengatakan istrinya jangan terlalu banyak mengomel seperti lebah. Tetapi, takut jika anaknya nanti mengikuti sifat cerewet istrinya itu. Pamali katanya."Ya karena kamu sedang hamil, Fa. Syaratnya kamu dibonceng sam