"Aku mau makan yang asem-asem, Mas. Kayak mangga mengkel, terus kweni," sahut Belinda sambil menelan ludah dan liurnya yang tiba-tiba menetes. Membayangkan asamnya buah tersebut berada di dalam mulutnya, sepertinya itu sangat enak. Bima mengulum senyum. Itu artinya Belinda sedang mengidam. Perkiraan dokter ternyata tidak salah. "Iya, nanti biar aku suruh pelayan cariin buah itu. Sekarang kamu makan dulu, terus minum obat ini. Biar pusing dan mual kamu berkurang." Bima mengambil mangkuk bubur tersebut, lalu menyodorkan ke depan muka Belinda. "Hoek...." Belinda menepis tangan Bima dengan cepat, memalingkan muka lantas berkata, "dibilang aku mual kalo cium baunya. Ganti yang lain aja, Mas! Aku mau roti bakar pakek selai nanas." Bima menghela, "Ya udah. Ini biar nanti dibawa ke bawah lagi sama pelayan." Dia meletakkan mangkuk bubur itu lagi ke nakas, lantas mengambil segelas jus jeruk. "minum jusnya aja kalo gitu. Ini jus jeruk buat mengurangi rasa mual." Belinda menerima gelas jus t
"Selamat bergabung di sini. Semoga kamu betah." Ayah menyambut Raffa dengan tangan terbuka, kehadiran putranya membuat seluruh karyawan wanita terkagum pada sosok Raffa yang sangat tampan dan menawan.Tidak sedikit dari mereka berbisik-bisik membicarakan Raffa. Ayah menyadari akan hal itu. Raffa menjadi pusat perhatian begitu dia melangkahkan kaki di perusahaannya. "Terima kasih, Yah. Raffa akan berusaha sebaik mungkin. Mohon bimbingannya." Raffa mengulurkan tangan ke ayah dan langsung di sambut oleh pria paruh baya itu. "Sama-sama. Nanti ayah suruh orang buat mengajarimu lebih dulu. Menjelaskan apa saja pekerjaan kamu di sini. Dia kebetulan asisten ayah," ucap ayah seraya menepuk pundak sang putra yang terlihat lebih dewasa. "Baik, Yah. Raffa akan belajar pelan-pelan," sahut Raffa dengan keyakinan penuh yang saat ini berkobar di dadanya. Dia akan membuktikan kepada Ayana jika dia bisa berubah dan mau belajar. Demi Belinda.Lantas, ayah berlalu dari kubik tempat di mana Raffa akan
Dua jam sebelum menuju Restoran~Belinda menangis tergugu di pelukan Bima, rasa bersalah yang teramat membuatnya hampir tak mampu menatap mata suaminya itu. Dia pikir, Bima pria egois dan tidak pernah memikirkan kebahagiaannya. Namun, apa yang pria itu lakukan merupakan hal yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Belinda. "Mas." Belinda menarik diri dari pelukan Bima. Mengatur napasnya yang sesak, lalu menyeka air mata di pipi. "Aku mau ketemu Raffa, boleh?" tanyanya kemudian. Bola matanya yang basah bergerak gelisah, takut jika Bima tak memberinya ijin.Bima menghela seraya mengangguk. "Boleh. Itu hak kamu. Saya memberikan kamu ijin, Bel." Dia mengelus lembut rambut istrinya. Demi kebahagiaan perempuan ini, Bima rela nama baiknya hancur apabila suatu saat kabar perceraiannya terendus. "Makasih, Mas," ucap Belinda, tatapan yang dulu penuh kebencian kini berubah menjadi tatapan segan. "Tapi, sebelum aku bertemu Raffa, aku mau ke Dokter dulu. Aku mau memastikan sekali lagi soal kehami
Mobil Raffa terparkir sempurna di basemen Apartemen, dia melepas sabuk pengaman miliknya, lalu melepas sabuk di tubuh Belinda. Mengecup sekilas pipi kekasihnya yang sejak tadi merajuk lantaran sayur asem yang dia mau tidak ada. "Bel? Kamu kenapa? Aku liat dari tadi kamu diem aja," tanya Raffa sambil mengelus lembut rambut Belinda yang kini mencebik. Baru kali ini dia melihat perempuan itu merajuk seperti anak kecil. "Aku mau sayur asem, Raffa...." lirih Belinda menjawab pertanyaan Raffa dengan kepala menunduk. Bola matanya memanas dan mengembun. Keinginannya untuk menyantap segarnya sayur asem terpaksa diurungkan. Ah, ternyata begini rasanya orang mengidam. Rasanya sungguh tidak enak. Raffa malah terkekeh, dan seketika itu juga mendapat pelototan tajam dari Belinda."Kok, malah ketawa, sih? Kamu nyebelin!" Belinda melengos mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Basemen Apartemen Raffa nampak sangat sepi."Hei, maaf." Raffa merangkum wajah Belinda, memutarnya pelan supaya mengha
"A-aku hamil, Raf," lirihnya yang kemudian menundukkan kepala seraya menggigit bibirnya sendiri kuat-kuat. Dia tidak berani menatap perubahan pada wajah Raffa. Belinda memilin jari-jarinya sambil memejamkan mata.'Kenapa Raffa diem aja?' batinnya gusar. Debaran jantungnya semakin kencang nyaris loncat dari tempatnya. Hening terbentang di antara keduanya. Sementara Raffa kini mengerjap lamban, apa yang dikatakan Belinda barusan seakan bergema di telinganya. 'Hamil? Belinda hamil?' Pemuda itu membatin, menatap lurus ke arah sang kekasih yang betah menunduk. Lalu, sekejap Raffa tersentak dalam pemikirannya, itu artinya jika Belinda hamil, tak lama lagi dia akan menjadi seorang ayah?"Bel, k-kamu serius?" Raffa meraih tangan Belinda, digenggamnya begitu erat. "Kamu... enggak bercanda 'kan?" tanyanya lagi. Perasaannya campur aduk saat ini. Dia terlalu terkejut dan bingung. Kemudian, Raffa memegang dagu Belinda, lalu mengangkatnya perlahan. Ditatapnya dalam manik biru itu, bola mata bula
"Gitu doang?" Raffa bertanya dengan raut jahil, dia sengaja memancing Belinda. Sekadar ingin tahu bagaimana reaksi kekasihnya. Jujur, sejak bertemu dan bisa menyentuh Belinda lagi, Raffa sebenarnya ingin sekali bergelung manja di ranjang. Menikmati pertemuan ini dengan bercinta sepuasnya.Belinda yang masih berada di pelukan Raffa sontak mengerutkan alisnya tak paham. Dia lantas segera menarik diri menjauh dari dada Raffa."Maksudnya?" tanyanya, kepalanya sedikit mendongak, menatap Raffa yang kini menyeringai penuh arti. Matanya menyipit seolah dia tengah membaca isi kepala Raffa.Mengecup singkat bibir Belinda yang merekah menggoda, senyuman nakal terbit dari bibir Raffa."Aku kangen, Belinda. Masa kamu enggak paham, sih?" bisiknya sensual yang kemudian sengaja mencium dan mengulum telinga Belinda. Kedua tangannya sudah bergerilya ke mana-mana. Meremas bahkan menjelajahi setiap lekukan tubuh Belinda."Raf...." Sentuhan Raffa dengan cepat menyulut percikan gairah dalam diri Belinda ya
Vano menghela pendek, dia menopang kepala seraya memijatnya pelan. Berita yang baru saja didengar cukup membuatnya berdenyut. Tak disangka jika ucapannya tempo hari menjadi kenyataan. Belinda hamil anak Raffa dengan status masih istri orang.Rumit. Padahal bukan dia yang sedang dihadapkan dengan masalah ini, tetapi sebagai teman dekat, Vano berusaha mencari jalan keluar yang terbaik untuk sahabatnya ini. Baru saja dia bernapas lega dan merasa senang lantaran Raffa sudah mendapatkan pekerjaan. Lalu, tiba-tiba ada kabar semacam ini."Hfuuh...." Vano merasa otaknya buntu. Dia menyorot Raffa dengan tatapan kasihan. Bagaimana tidak? Inginnya, Raffa bertanggung jawab dan segera menikahi Belinda. Akan tetapi, niat baiknya tersebut tak bisa terealisasikan lantaran Belinda tidak bisa bercerai dalam keadaan hamil. Raffa mesti menunggu sampai anak itu lahir terlebih dahulu."Berarti gue mesti nunggu sekitar berapa bulan, Van?" tanya Raffa memecah keheningan di ruangan itu. Perasaan bahagia yang
Malam menjelang, Belinda berniat ingin menginap di Apartemen Raffa, sebab dia masih belum puas bertemu dengan kekasihnya itu, rindunya masih menumpuk di dada. Belinda ingin menghabiskan malam ini bersama Raffa, melepaskan kerinduannya. Namun, sebelum itu dia menghubungi suaminya terlebih dahulu, meminta ijin berharap Bima mengijinkannya. Saat di telepon, Bima sempat menolak dan tidak memberikan ijin, mengingat jika Belinda saat ini tengah mengandung. Dia hanya tidak mau Belinda kelelahan akibat ulah nakal Raffa. Sebagai laki-laki normal, Bima jelas paham, apa yang akan terjadi ketika Belinda menginap di Apartemen Raffa. Lalu, karena Belinda yang terus merengek bahkan sempat menangis, pada akhirnya Bima memperbolehkan perempuan itu menginap. Belinda bahagia lantaran diperbolehkan menginap, meski dengan satu syarat Bima akan menyuruh seseorang mengantar vitamin dan obat mual dari dokter. Pun beberapa baju ganti dan perlengkapan lainnya. Usai menghubungi suaminya, lantas Belinda kemba