"Saskia lepas." Panik Mas Arfan menjauhkan tangan istri sirinya. "Kamu apaan jangan teriak di sini.""Kamu bohong! Katamu pergi urusan pekerjaan, tapi pergi bersama pelakor ini!" Saskia memarahi sambil menunjuk-nunjuk aku. Seketika orang berdatangan melihat. "Aku bukan pelakor, aku istri sah. Kamu istri siri yang disembunyikan statusmu lemah dan tidak berhak mengaturku." Semakin meradang perempuan itu mendengarku bicara seperti itu. Hendak menamparku jika Mas Arfan telat menahan tangannya. Lelaki itu menurunkan tangan wanitanya membujuk dengan menggenggam erat. Pemandangan yang membuat panas mata. "Aku minta kamu pulang sekarang. Ya?" "Kamu juga harus pulang, Mas. Kalian tidak boleh pergi!" Aku membuang muka saat Mas Arfan menatapku, pertanda keberangkatan ini tidak mau dibatalkan. Petugas yang membawakan koper kami memberi tahu pesawat kami akan segera Take Off. "Mas Arfan cepat, pesawat mau berangkat." Kuikuti langkah petugas itu setelah memberitahunya. "Dasar pelakor kamu! Gan
Rambut basah subuh-subuh pertanda kini aku telah menjadi istri seutuhnya. Membungkusnya dengan handuk kecil setelah disisir. Aku berbalik dari cermin melihat lelaki itu yang masih tidur. Berjalan dan duduk di sisinya. Dia suamiku. Mungkin keputusanku ini disayangkan bagi sebagian besar orang. Mau-maunya menyerahkan diri pada lelaki yang telah menipu dan memiliki perempuan lain. Pada awalnya aku pun tetap mempertahankan. Tapi seiring berjalannya waktu, banyak hal yang kuketahui dan banyak hal terjadi, aku akhirnya merelakan. Aku melakukannya bukan tanpa pertimbangan. Biarlah orang lain mengatai perempuan bod-oh, mereka hanya tidak mengerti ada di posisi aku. Jika pun hal buruk itu terjadi nanti, soal dia yang akan melepasku. Sebenarnya bukan kerugian besar karna dia memberi imbalan tidak sedikit. Untuk orang biasa sepertiku bisa menjadi kaya mendadak meski jadi janda. Tapi, aku tidak akan mengalah untuk Saskia! Segala sakitku harus terbayar dengan meyingkirkannya. Dia tak pantas di s
"Kamu membuka blokirannya, Mas?" Aku menatapnya murka dan sangat kecewa."Tidak, Nabila.""Bohong! Buktinya Saskia bisa menghubungimu.""Dia memang menghubungiku tapi dengan nomor lain." Melihatku menggeleng tak percaya Mas Arfan mendekat. "Lihat, ini nomor baru di ponselku," tunjuknya pada kontak yang baru menghubungi dan sudah dimatikan. Lalu dia menunjukkan nomor ponsel Saskia yang masih dalam blokir. "Dan ini nomor Saskia, aku tidak bohong.""Kamu senang dia menghubungimu?""Aku tidak menyangka kalau itu dia, Nabila.""Dan dia memintamu pulang?""Kita sudahi honeymoon ini.""Kita baru tiga hari." "Aku harus pulang.""Kita habiskan dulu masa liburan kita." "Kita ke sini lagi lain waktu.""Kapan? Belum tentu itu terjadi. Apalagi dengan niatmu yang ingin meninggalkan aku." Lelaki itu tidak menimpali lagi beranjak ke dalam. Aku mengikutinya dengan menghentakkan kaki kesal. "Mas!""Siapkan barang-barang kamu. Kita pergi sekarang juga. Aku tidak mau terjadi sesuatu dengan Saskia.""Se
Saat Mas Arfan benar-benar tidur, kali ini aku tidak menyiakan kesempatan memotong rambutnya. Melakukan hati-hati memasukkan dalam kantong plastik kecil. Beres, berlahan aku bangkit dan turun dari ranjang. Ke luar kamar. Menyimpan sampel itu di kamarku sendiri. Disembunyikan dengan aman. Setelahnya baru aku bisa tidur nyenyak. Sampel Mas Arfan berhasil aku dapatkan tinggal sampel Savia. Aku akan mencari cara. "Ternyata kamu tidur di sini." Aku langsung terjaga dari tidur saat mendengar suara Mas Arfan. Lelaki itu sudah duduk di sisiku. "Mas?""Kenapa pindah?" "Mm ... nggak apa-apa. Pengen aja tidur di sini.""Baru satu malam kamu tidur denganku, sudah tidak mau?" "Mas, ini masih malam. Kamu tidur lagi." Kualihkan pertanyaannya ke hal lain. Tidak menyangka dia akan bangun. Aku terkejut mengetahuinya tiba-tiba sudah ada di sini. Beruntungnya sudah berhasil mengambil rambutnya, semoga dia tidak menyadari. "Aku mau tidur di sini." Jadi, dia tidak mau tidur tanpa aku? Sehingga datang
"Tidak apa-apa." Lelaki itu menatapku curiga dan mendekat. Astagfirullah, jantungku deg-dekkan kencang dan panas terasa saking takut ketahuan. Jangan sampai dia mengambil sampel itu. "Apa yang kamu sembunyikan di belakang.""Nggak nyembunyiin apa-apa." Aku semakin tegang dia sudah dekat di hadapan. Mas Arfan mencondongkan tubuhnya. Terus menelisik mencari sesuatu di kedalaman mataku. Aku menunduk menghindarinya. Harus melakukan apa? Takut dia tiba-tiba menarik tanganku.Tiba-tiba terlintas hal gila. Aku menarik kepalanya membungkam bibir lelaki itu. Sambil menyembunyikan sampel di bawahku dengan tangan yang lain. Tidak kupedulikan Mas Arfan yang terkejut. Terus aku menahannya. "Maass!!!" Terdengar lengkingan Saskia. Dia melangkah cepat menarik tubuh Mas Arfan hingga terlepas dariku. "Mas kenapa malah melakukan itu? Katanya hanya mau mengajak makan?!" Saskia memarahinya lalu tertuju padaku. "Pasti karna kamu rayu. Dasar gatal!" "Jangan, Saskia." Mas Arfan menahan tangannya yang su
"Ini, Pak. Hasil tes DNA-nya.""Terimakasih." Mas Satya pamit, aku juga. "Ayo, Nabila." Membawa surat hasil tes ke luar ruangan. Lipatan kertas itu dibuka Mas Satya. Kami sama-sama melihatnya. Aku membelalak begitu membaca keterangannya. "Jadi? Mas?" Kulirik lelaki itu yang mematung. "Benar," lirihnya."Benar bukan Ayahnya," sambungnya dengan tegas kini. Dugaan kami tidak salah. Surat Hasil Identifikasi DNA memberitahukan tidak ada kecocokkan gen mereka. Penelitian sebanyak 99,9 persen menunjukkan Mas Arfan bukan Ayah biologis Savia.Aku sudah deg-dekan ketika melihat hasilnya. Sekarang lega setelah tahu anak itu bukan darah daging Mas Arfan. "Surat tes DNA yang Mas Arfan miliki berarti palsu atau sudah dimanipulasi, Mas, oleh Saskia.""Ya. Hanya akal-akalan perempuan itu." "Papa aslinya pasti orang dalam mobil itu, Mas." Aku teringat sekilas saat Saskia mengobrol dengan laki-laki asing dalam mobil mewah itu. "Dia sengaja menjebak. Menyuruh Saskia merayu Arfan sampai luluh lalu
Aku tersentak dari tidur dengan terisak-isak pilu. Menunduk memegangi dada sendiri. "Astagfirullah ... Ya Allah." Rupanya tragedi itu hanya dalam mimpi. Tapi rasa sakit dan ketakutannya terbawa hingga ke dunia nyata. Betapa aku dan Ibu seketika menangis histeris melihat Bapak ambruk kesakitan. Setelah mendengar keadaan rumah tanggaku yang sebenarnya dan hendak cerai. Jantung Bapak langsung collaps. Mungkin, itulah yang akan terjadi jika aku bercerita yang sebenarnya dengan resiko kehilangan Bapak selamanya. Aku menggeleng. Ya Allah, aku tidak ingin membunuh orang tuaku sendiri dengan kabar buruk ini. Mimpi sangat menakutkan, membawa langkah kaki ini ke luar kamar, melihat Ibu dan Bapak dari celah pintu. Tenang mengetahui mereka baik-baik saja. Ibu terlihat sedang memberikan air minum. Damai wajah Bapak yang bersandar ketika Ibu memijiti betis kakinya. Aku pun kini tersenyum. Mengusap pipi yang masih dijatuhi air mata. Masih sangat terasa suasana di alam bawah sadar tadi.***Saat
Mas Arfan menahanku yang hendak pergi. "Kamu sengaja menguping?" Aku tidak mau menjawabnya memilih pergi lagi. "Nabila! Hei!" Semakin kupercepat langkah. "Arfaan ... kenapa sih pagi-pagi sudah teriakkin Nabila?" Mama protes mengampirinya. Lelaki itu berhenti mengejarku. "Kenapa? Kan bisa bicara baik-baik." "Eh, nggak apa-apa, kok, Ma." Aku tidak jadi masuk kamar memperhatikannya yang jadi salah tingkah. Dan berusaha menormalkan raut wajah. Lelaki itu melirikku dengan tatapan dingin dan mencoba tersenyum saat tertuju pada Mama lagi. Aku pun memasuki kamar. Kamu pusing kan, Mas? Tidak semudah itu kamu untuk mendapat semua harta Papamu. Kamu harus memberikan cucu dulu. Harus bisa membuatku hamil dulu. Aku sedikit tersentak saat dia menyusul ke sini. Pintu ditutupnya pelan. Dan berjalan lambat menghampiri aku di sisi ranjang. Mas Arfan duduk di sampingku. Tampak pusing dan bingung. Terdengar helaan napasnya yang berat. "Kamu senang?" tanyanya tetap menatap lurus ke depan. "Tidak ta