“Prisha!” bentak Gavin. Matanya mulai memerah. Sepasang tangannya mengepal, ketat. “Lihat diriku! Jangan lihat mereka! Apa kamu masih belum percaya kalo aku pengen lindungi kamu? Tanpa posisi CEO, aku tak leluasa menjagamu!” Prisha diam, berpikir. Sel-sel otaknya yang cerdas dan terbiasa merangkai fakta secara sistematis, seketika bekerja cepat. “Apakah ada yang mengancam Anda?”“Kamu mendorong saya sampai batas kesabaran! Prisha, jangan ngelunjak!” Gavin yang merasa terpojok, menjadi gusar. “Sampai di titik ini, Anda masih jadi boneka!” Kalimat Prisha menusuk tepat di titik tersakit Gavin. “Sejak awal kita menikah, saya hanyalah pengantin pengganti mami. Anda anggap saya boneka! Dulu saya tak berdaya. Belakangan saya mengetahui kekuatan latar belakang asli keluarga saya. Serangkaian musibah yang saya alami membuat saya mengerti, bahwa kalian, keluarga Devandra, hanya memanfaatkan saya. Kalian bahkan tak segan mencelakakan saya demi merebut saham itu! Jangan-jangan Anda juga berkom
Pada saat hendak memasuki gerbang rumah sakit, Prisha melihat spanduk yang mengumumkan acara workshop, bertempat di aula rumah sakit yang terletak di lantai lima. Temanya tentang teknologi terbaru penanganan kasus janin yang terdeteksi gagal jantung dalam kandungan. Salah satu narasumbernya adalah Dokter Salman Saladin, SpOG. Prisha baru teringat kalau hari itu para koas dan residen yang dinas di Rumah Sakit DIMS, wajib menghadiri acara tersebut. Segera dihubunginya Dokter Ariana, selaku pembimbing kliniknya. “Dok, ada workshop medis di aula rumah sakit. Saya izin menghadirinya, ya.”“Tentu saja kamu harus ikut acara itu. Aku jadi panitia. Ngomong-ngomong, berhentilah menggunakan panggilan kaku. Kita udah jadi keluarga. Panggil saja saya ‘Kak’ atau ‘Mbak’. Kamu ke Gavin juga aneh. Masa’ manggil ‘Pak Dok’?” Suara Ariana terdengar lincah dan bersemangat.“Oke, Kak. Hee ... manggil Pak Dok itu udah kebiasaan.”“Aku udah di lokasi. Ohiya, Dokter Salman udah datang. Dia emang selalu tep
“Hanya perlu belajar. Guru rohisnya adalah suami dari guruku. Kalau Kak Ariana serius mengikuti komunitas hijrah yang beliau kelola, mungkin beliau bersedia merekomendasikan pernikahan Dokter Salman dengan Kak Ariana.” Prisha memberi saran dengan sungguh-sungguh. Ariana tercenung, memikirkan jalan panjang yang harus ditempuhnya. Sanggupkah dirinya? Tatkala memperhatikan Dokter Salman yang telah maju ke depan memaparkan hasil studi bandingnya di luar negeri terkait kasus janin gagal jantung dalam kandungan, debar indah menguasai dada putri pemilik industri farmasi Healthy Light itu. Ia mengangguk sendiri sambil tersenyum. Demi sosok secemerlang Dokter Salman, pengorbanannya mungkin sepadan.Workshop berlangsung sampai sore. Break tengah hari untuk makan siang dan sholat Zuhur. Pukul 17.00 WIB, acara berakhir. Teknologi baru yang diungkapkan para narasumber, membuka wawasan para ahli medis. Pihak Rumah Sakit DIMS, tertarik untuk memanfaatkan. Namun, tentu saja mereka harus lebih dulu
Gavin nyaris membanting ponsel demi melampiaskan kemarahannya. Darahnya mendidih mendengar Salman menolong istrinya. Entah sejak kapan perasaan tersebut muncul. Tak rela istrinya disentuh lelaki lain walau hanya sehelai rambut pun. Rasa kepemilikannya terhadap Prisha terlampau kuat, melebihi perasaannya dahulu terhadap Nalini.Sayang sekali dirinya tertahan oleh urusan bisnis di Singapura. Ada banyak hal yang harus dibenahi di perusahaan cabang yang telah bergabung ke perusahaan induk. Cabang Singapura yang semula memiliki manajemen sendiri—yang terlepas dari perusahaan induk--telah dibawahi kantor pusat Healthy Light pula. Gavin telah menempatkan direktur yang kompeten, sebagai pengganti Danu. Awalnya, Gavin berniat hanya sehari berada di Singapura. Pagi berangkat, sorenya pulang. Ternyata masalah perusahaan di cabang Singapura, tak sesederhana yang ia pikirkan. Mau tak mau, ia harus menginap. Mereka kudu mengadakan rapat berjam-jam selama sekian hari agar kantor cabang tersebut bi
“Berpisah?” Gavin menatap tajam. Gerakannya terhenti. “Mudah sekali mulutmu mengucap kata pisah. Sangat tak bertanggung jawab!”Tengkuk Prisha seakan-akan tersepuh es. Ia sedikit menggigil merasakan aura dingin kemurkaan Gavin. “Bukankah dari dulu Anda tak menyukai saya?”“Siapa yang mengejarku duluan?”“Oh, itu ... se-sebenarnya dulu itu—“ Bagai dapat serangan lembing yang membalik ke diri sendiri, Prisha mendadak mati gaya. “Kamu emang susah dipercaya. Seenaknya saja!” Gavin bersungut-sungut. Lantas dilepasnya kerudung Prisha tanpa aba-aba. “Diamlah! Aku mau membersihkan semua jejak Salman darimu!” Prisha terbelalak. “Kata-kata apa itu? Dokter Salman hanya membantu evakuasi!”“Dia menggendongmu, kan?”“Itu kondisi darurat!”“Tak peduli apa pun alasannya, aku tetap benci melihat dia menolongmu! Aku lihat rekamannya dari CCTV!” Mata abu-abu Gavin memancarkan kilau berapi. Prisha mengatupkan bibirnya. Tak berdaya. Terpaksa dibiarkannya sang suami membersihkan tubuhnya dengan washla
Sebuah panggilan telepon dari Kakek Zed, memaksa Gavin meninggalkan ruangan demi merahasiakan pembicaraannya dari Prisha.“Vin, aku kecolongan!” Gavin langsung mendengar raungan murka Kakek Zed di ujung ponsel. “Kecolongan? Siapa yang mampu membobol brankas Kakek? Bukannya mansion Kakek udah dilindungi tiga lapis penjaga?”“Bukan kecolongan harta! Melainkan nenekmu ... ""Apaa? Kecolongan nenek? Nenek diculik?" Gavin sontak overthinking."Bukaan! Ituu ... nenekmu nyaris jadi korban keracunan!”“Astaghfirullah! Gimana kondisi nenek sekarang?” seru Gavin, panik. “Nenekmu baik-baik aja. Ia tak sempat menelan racun itu!”“Wah, siapa pelakunya? Bagaimana para penjaga dan asisten rumah tangga bisa lengah mengawasi makanan nenek?”“Dua jam lalu, nenekmu memesan bubur ikan kesukaannya lewat grab food. Seorang kurir mengantarnya seperti biasa. Bungkus mangkok bubur dibuka nenek. Lalu nenekmu meninggalkan bubur sebentar di meja makan, untuk mencuci tangan. Lengah sebentar saja, si Moy, kucin
“Kakek Nenek?” Prisha hendak turun dari tempat tidurnya begitu melihat Kakek Zed dan Nenek Diana memasuki ruangan. Ia ingin menyalami sepasang orang tua itu. “Jangan bergerak, Sha. Tetaplah di tempatmu. Biar kami yang mendatangimu, Nak.” Nenek Diana berkata ramah. Lantas nenek itu dan suaminya menghampiri Prisha.Gegas Prisha menyambut uluran tangan Kakek Zed dan Nenek Diana, lalu menyentuhkan dahinya ke tangan mereka sebagai tanda sopan santun dan penghormatan.Ia cukup terkejut dan senang dikunjungi Kakek Zed dan Nenek Diana. Hanya dua lansia itu yang menyambutnya ramah dan tulus di Keluarga Devandra. Prisha juga mengingat kisah Nenek Diana mengenai persahabatan almarhum kakeknya—Egon Braun—dengan Keluarga Devandra di masa lalu. Kehangatan memenuhi dada Prisha saat Nenek Diana mengusap puncak kepalanya. Terlihat pancaran kasih sayang di mata tua itu. Prisha jadi teringat neneknya. Kenangan tersebut membuat matanya berembun.Iyam dan Semi buru-buru mendekatkan sepasang kursi agar
“Yang menjadi sumber kekhawatiranku, tindakanmu menimbulkan kepanikan seluruh keluarga dan kerabat kami. Wajar jika mereka mencemaskan Healthy Light bangkrut, apalagi sebelumnya aku telah menebar rumor bahwa perusahaan sedang krisis. Keputusanmu menjadi monster bagi putra dan kerabatku serta orang-orang yang mengais rezeki di Healthy Light. Akibatnya, kekhawatiranku terbukti. Kamu dan Gavin dalam bahaya.”“Justru demi menghindari itu, saya meminta Gavin untuk mundur. Kami sudah berencana membangun usaha sendiri,” ungkap Prisha, polos.Ada jejak terluka di permukaan mata keruh Kakek Zed.“Aku dan nenekmu telah menanamkan harapan sejak lama, agar Gavin menjadi penerus bisnis keluarga ini. Kami yang membesarkannya dengan susah payah. Kami yang membersamainya di kala senang dan susah. Tiba-tiba kamu datang dan hendak mengaturnya. Memaksanya meninggalkan kami. Alangkah teganya. Apakah kamu tidak memiliki hati nurani?”Prisha tersentak kaget dan sontak menggeleng. “Kakek, Nenek, saya tak p