“Berpisah?” Gavin menatap tajam. Gerakannya terhenti. “Mudah sekali mulutmu mengucap kata pisah. Sangat tak bertanggung jawab!”Tengkuk Prisha seakan-akan tersepuh es. Ia sedikit menggigil merasakan aura dingin kemurkaan Gavin. “Bukankah dari dulu Anda tak menyukai saya?”“Siapa yang mengejarku duluan?”“Oh, itu ... se-sebenarnya dulu itu—“ Bagai dapat serangan lembing yang membalik ke diri sendiri, Prisha mendadak mati gaya. “Kamu emang susah dipercaya. Seenaknya saja!” Gavin bersungut-sungut. Lantas dilepasnya kerudung Prisha tanpa aba-aba. “Diamlah! Aku mau membersihkan semua jejak Salman darimu!” Prisha terbelalak. “Kata-kata apa itu? Dokter Salman hanya membantu evakuasi!”“Dia menggendongmu, kan?”“Itu kondisi darurat!”“Tak peduli apa pun alasannya, aku tetap benci melihat dia menolongmu! Aku lihat rekamannya dari CCTV!” Mata abu-abu Gavin memancarkan kilau berapi. Prisha mengatupkan bibirnya. Tak berdaya. Terpaksa dibiarkannya sang suami membersihkan tubuhnya dengan washla
Sebuah panggilan telepon dari Kakek Zed, memaksa Gavin meninggalkan ruangan demi merahasiakan pembicaraannya dari Prisha.“Vin, aku kecolongan!” Gavin langsung mendengar raungan murka Kakek Zed di ujung ponsel. “Kecolongan? Siapa yang mampu membobol brankas Kakek? Bukannya mansion Kakek udah dilindungi tiga lapis penjaga?”“Bukan kecolongan harta! Melainkan nenekmu ... ""Apaa? Kecolongan nenek? Nenek diculik?" Gavin sontak overthinking."Bukaan! Ituu ... nenekmu nyaris jadi korban keracunan!”“Astaghfirullah! Gimana kondisi nenek sekarang?” seru Gavin, panik. “Nenekmu baik-baik aja. Ia tak sempat menelan racun itu!”“Wah, siapa pelakunya? Bagaimana para penjaga dan asisten rumah tangga bisa lengah mengawasi makanan nenek?”“Dua jam lalu, nenekmu memesan bubur ikan kesukaannya lewat grab food. Seorang kurir mengantarnya seperti biasa. Bungkus mangkok bubur dibuka nenek. Lalu nenekmu meninggalkan bubur sebentar di meja makan, untuk mencuci tangan. Lengah sebentar saja, si Moy, kucin
“Kakek Nenek?” Prisha hendak turun dari tempat tidurnya begitu melihat Kakek Zed dan Nenek Diana memasuki ruangan. Ia ingin menyalami sepasang orang tua itu. “Jangan bergerak, Sha. Tetaplah di tempatmu. Biar kami yang mendatangimu, Nak.” Nenek Diana berkata ramah. Lantas nenek itu dan suaminya menghampiri Prisha.Gegas Prisha menyambut uluran tangan Kakek Zed dan Nenek Diana, lalu menyentuhkan dahinya ke tangan mereka sebagai tanda sopan santun dan penghormatan.Ia cukup terkejut dan senang dikunjungi Kakek Zed dan Nenek Diana. Hanya dua lansia itu yang menyambutnya ramah dan tulus di Keluarga Devandra. Prisha juga mengingat kisah Nenek Diana mengenai persahabatan almarhum kakeknya—Egon Braun—dengan Keluarga Devandra di masa lalu. Kehangatan memenuhi dada Prisha saat Nenek Diana mengusap puncak kepalanya. Terlihat pancaran kasih sayang di mata tua itu. Prisha jadi teringat neneknya. Kenangan tersebut membuat matanya berembun.Iyam dan Semi buru-buru mendekatkan sepasang kursi agar
“Yang menjadi sumber kekhawatiranku, tindakanmu menimbulkan kepanikan seluruh keluarga dan kerabat kami. Wajar jika mereka mencemaskan Healthy Light bangkrut, apalagi sebelumnya aku telah menebar rumor bahwa perusahaan sedang krisis. Keputusanmu menjadi monster bagi putra dan kerabatku serta orang-orang yang mengais rezeki di Healthy Light. Akibatnya, kekhawatiranku terbukti. Kamu dan Gavin dalam bahaya.”“Justru demi menghindari itu, saya meminta Gavin untuk mundur. Kami sudah berencana membangun usaha sendiri,” ungkap Prisha, polos.Ada jejak terluka di permukaan mata keruh Kakek Zed.“Aku dan nenekmu telah menanamkan harapan sejak lama, agar Gavin menjadi penerus bisnis keluarga ini. Kami yang membesarkannya dengan susah payah. Kami yang membersamainya di kala senang dan susah. Tiba-tiba kamu datang dan hendak mengaturnya. Memaksanya meninggalkan kami. Alangkah teganya. Apakah kamu tidak memiliki hati nurani?”Prisha tersentak kaget dan sontak menggeleng. “Kakek, Nenek, saya tak p
Keesokan paginya, Gavin menelepon lewat panggilan video. Prisha memperhatikan sebentar nama sang suami yang tampil pada layar. Pikirannya menimbang-nimbang sesuatu, sebelum menggeser tanda menerima panggilan. “Assalamualaykum, gimana kondisimu hari ini?” Paras menawan Gavin muncul di layar. Tampak bayang-bayang lingkaran hitam di bawah matanya, pertanda kurang tidur. Wajahnya agak pucat, menunjukkan keletihan. Prisha jadi iba. Sungguh kasihan suamiku. Proyek-proyek bisnis Healthy Light telah menguras energinya. Perempuan muda berhati lembut itu membatin.“Wa alaikumussalam, saya udah ngerasa lebih baik,” jawab Prisha, lembut.“Tidurmu nyenyak tadi malam? Hasil vital sign normal? Apakah sudah dapat suntikan? Ada keluhan pada luka? Udah ganti perban?”“Wow wow, satu-satu aja pertanyaannya, Pak Dok. Tenanglah, semuanya normal, aman, dan terkendali. Gimana dengan Anda sendiri? Kelihatannya kurang tidur. Kerjaannya banyak banget, ya?” “Aku udah terbiasa begadang di rumah sakit. Pekerjaa
“Sha, ngelamunin masa lalu, ya?” tebak Gavin.“Hem ... iya.” Prisha tersipu-sipu. Gavin terpesona menyaksikan rona merah di pipi ranum istrinya. Kerinduannya tiba-tiba membuncah, hingga rasanya ingin terbang pagi itu juga untuk menemui Prisha serta menghirup langsung wangi floralnya yang melenakan. Sayang sekali, ia terpaksa bertahan karena tugas yang belum beres. Kekacauannya semakin bertambah karena rongrongan Danu selama di Singapura. Danu baru berhenti tatkala orang-orang suruhan Zed Devandra meringkusnya. Danu diekstradisi ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Ia ditahan dalam penjara terbuka. Meski diberikan fasilitas rumah yang lengkap serta dicukupi kebutuhan, tapi Danu tak diberi akses ke mana pun. Tak diberikan transportasi dan internet. Pulau tempatnya diasingkan pun dijaga orang-orang bayaran yang silih berganti selama 24 jam, pada radius sejauh 10 km dari pulau terdekat. Zed mengancam tembak di tempat jika Danu terlihat nekat melarikan diri. Rupa-rupanya, Zed sudah
“Masalahnya, aku nggak tau kata hatiku sendiri. Gimana mau dengerin kata hati?” Ariana mengganjur napas, setengah putus asa.Prisha kehabisan kata-kata. Ingin tertawa, tapi khawatir Ariana tersinggung. Ingin terharu dan iba, tapi tingkah sepupu Gavin itu lucu sekali. Apakah Ariana betul-betul sepolos ini? Prisha sebenarnya tak punya pengalaman banyak soal cinta atau dunia pria, tapi ia suka membaca rubrik psikologi yang mengulas masalah cinta serta rumah tangga. Sejak di pondok dulu pun hingga sekarang, ia kerap menerima curhatan kawan-kawannya. Rata-rata kawan-kawannya, sering terjerumus gara-gara mendengarkan kata hati yang sejalan dengan hawa nafsu saja. Meskipun demikian, mereka paham kata hati sendiri. Sementara Ariana, bahkan kata hatinya sendiri pun tidak paham. Sungguh menyedihkan. Prisha tidak tahu, Ariana dulunya adalah seorang kutu buku yang jarang bergaul. Ayahnya seorang ahli farmasi yang hanya menghargai prestasi akademik. Ibunya seorang bidan yang menyukai anak-anak,
Prisha mengabaikan telepon suaminya. Ia memutuskan menuntaskan pembicaraan dengan ibu mertuanya yang tak tahu diri itu.“Saya adalah menantu yang dipilih sendiri oleh Kakek Zed dan Nenek Diana.” Prisha menahan emosinya. “Anda mempersoalkan hal yang sudah basi,” lanjutnya, agak kasar.“Aku ibunya Gavin. Dia sangat mematuhiku. Dulu dia menikahimu atas permintaanku. Aku juga bisa menyuruhnya menceraikanmu. Jangan arogan hanya karena kamu pemilik saham terbesar. Gavinku sanggup menstabilkan perusahaan tanpa sahammu!”“Bu, selama ini saya selalu berusaha sabar menghadapi Anda. Tapi Anda terus merongrong saya! Ketahuilah, bukti pembunuhan akan segera saya dapatkan. Anda siap-siap saja berjumpa saya di pengadilan!” ancam Prisha.“Jaksa dan pengacara terkenal negeri ini bekerja untuk keluarga Devandra. Jangan mimpi bisa menyeretku ke pengadilan! Ibumu pantas mati!”“Astaghfirullah ....” Prisha mengelus dada. “Cukup, Bu! Kita lihat saja nanti!” Gadis itu memutuskan sambungan telepon secara sep