*****"Dari gejalanya, kamu kayak lagi hamil muda," jawabnya. Raut wajahnya nampak sangat khawatir pada kondisiku.Jawaban Fano membuatku terdiam.'Hamil? Apa mungkin?' aku bergumam dalam hati. Obat herbal yang rencananya akan aku konsumsi pun. Masih belum kudapatkan. Bagaimana mungkin Fano bisa mengatakan bahwa gejala yang kualami saat ini karena aku sedang hamil muda?"Han? Are u oke?" Fano membuyarkan kebekuan yang melanda diriku. Cepat aku pun menoleh padanya dan mengangguk."Aku baik, Fan," sahutku meyakinkan."Jadi, apa kamu emang lagi hamil?" tanyanya kembali.Aku menggeleng menyangkal pertanyaan Fano. "Enggak, Fan. Aku cuma gak suka aja wangi pengharum mobil kamu ini. Nyengat banget baunya di hidung! Udah kita lanjut jalan aja. Takutnya kita telat!" jelas dan pintaku pada Fano."Kamu yakin? Apa ga mau periksa?" Tergambar jelas raut khawati di wajah Fano.Aku mengangguk pasti. "Yakin, Fan. Nggak perlu periksa. Aku baik-baik aja, kok!""Maksudku, periksa kehamilan, Han!" sanggah
************"Kamu beneran ga mau mampir?" Aku bertanya lewat kaca jendela. Dengan badan sedikit membungkuk, karena sudah berdiri di luar mobil. Sedangkan Fano masih berada di kursi kemudinya.Fano nampak mengangguk. "Lain kali aja, Han," sahutnya diikuti senyuman ramah."Ya udah, thanks ya, Fan, udah anterin sampai rumah. Kamu hati-hati," pesanku kemudian.Fano mengacungkan ibu jarinya. "Beres. Bye, Han …." Ia pun melambaikan tangan. Aku membalasnya. Perlahan mobilnya pun mulai melaju dan menjauh dari hadapanku.Setelah mobil milik Fano pergi. Aku segera berbalik lalu membuka pintu pagar dan masuk ke halaman rumahku.Begitu kakiku melewati pagar dan menginjak halaman. Aku tertegun sejenak. Melihat mobil Mas Adrian terparkir sempurna di depanku. Di parkiran di luar garasi.Itu artinya, Mas Adrian sudah pulang ke rumah ini. Aku pun mempercepat langkah hingga tiba di depan pintu. Membuka pintu lalu masuk ke dalam rumah."Mas? Mas Adrian?" Aku memanggil-manggil suamiku begitu sampai di r
Ah. Tidak. Tidak! Tidak mungkin.Aku menggeleng cepat. Beringsut menjauh dari samping Mas Adrian yang masih menyelami alam mimpi.Lalu membaringkan tubuhku di tempat semula. Mana mungkin Mas Adrian selingkuh? Tidak mungkin.Mas Adrian suamiku yang sangat baik dan juga setia. Dia tidak mungkin mengkhianatiku. Iya, begitu. Selamanya akan tetap begitu. Mas Adrian akan terus setia dengan pernikahan kami.Sedangkan tanda merah itu. Bisa saja itu hanya gigitan nyamuk atau serangga lain. Gigitan yang menyebabkan gatal dan Mas Adrian menggaruknya terus menerus sehingga menjadi sangat merah seperti itu.Iya. Bisa jadi seperti itu. Tanda merah itu bukan selalu kissmark yang ditinggalkan ketika pasangan sedang bercinta.Kutarik napas panjang. Menghalau pikiran buruk yang menerpa. Aku berusaha mensugesti untuk tetap berpikir positif. Lalu kembali mencoba untuk tertidur kembali. Sebab hari masih tengah malam.*****Aku bangun lebih awal seperti biasanya. Sedangkan Mas Adrian masih meringkuk dalam
Aku melihat reaksi Mas Adrian yang melotot. Seperti terkejut, tapi setelahnya dia bereaksi biasa saja."Kenapa Mas? Kok kamu kayak kaget?" tanyaku penasaran.Mas Adrian nampak menggeleng cepat. "Eng-nggak, Dek. Iya … mas cuma kaget, kok barang seperti cincin begini bisa ada di bak wastafel? Apa mungkin milik tetangga sebelah itu? Kalo iya, berarti yaa dia ceroboh banget kan."Aku mengangguk setuju. "Iya bener, Mas. Kok bisa-bisanya barang berharga seperti ini ketinggalan, apalagi di bak wastafel. Kalo ini emang punya Mba Yolan, apa dia ngga balik ke sini lagi kemarin buat nanyain cincinnya ini, Mas?"Mas Adrian menggeleng. "Enggak ada, Dek. Dia cuma ikut ke kamar mandi, habis itu ga balik lagi. Mungkin dia udah stok air galon buat ganti sementara airnya yang macet. Ga tau juga deh."Aku mengatupkan bibir. Jadi cincin emas putih ini milik Mba Yolan. "Mas aku udah kenyang. Udah ah makannya," ucapku saat Mas Adrian hendak menyuapiku kembali."Bener, nih?" tanyanya meyakinkan."Hu'um. Aku
Tok Tok Tok!Tiba di rumah Mba Yolan. Aku langsung mengetuk pintunya. Lalu tak lama, pintu pun dibuka dari dalam.Mba Yolan nampak masih mengenakan daster tidur. Lengkap dengan rambut yang berantakan. Matanya terlihat kuyu. Seperti kurang tidur. Mungkin dia berjaga semalaman menunggu Arsen."Eh, Mba Yolan. Masuk masuk," ajaknya. Aku pun segera masuk ke dalam rumah Mba Yolan."Mba, Arsen masih tidur?" tanyaku pelan. Sebab tak melihat Mba Yolan menggendong bayinya.Mba Yolan mengangguk. "Iya, Mba. Semalaman dia nggak nyenyak tidurnya. Paling sejam, kebangun lagi. Gitu terus. Sampai barusan jam enam baru beneran tidur.""Duh, Mba sorry ya, aku ke sini jadi ganggu," ujarku merasa tidak enak."Gak papa, Mba. Santai aja, lagian aku udah bangun kok, karena ga bisa tidur lagi."Aku lantas menyerahkan mangkuk sup di tanganku pada Mba Yolan. Setelah itu, Mba Yolan beranjak ke dapur sedangkan aku masih di ruangan depan rumahnya.Arsen masih tidur. Padahal aku ingin sekali menggendongnya. Aku sud
Mba Yolan nampak melongo. Melihat cincinnya ada di telapak tanganku sekarang. Dia lantas mengambil cincinnya itu dengan segera."Ah, makasih banyak, Mba. Aku kira cincin ini hilang," jawabnya."Hati-hati, Mba. Itu pasti cincin pernikahan ya? Kalau sampai hilang, pasti suami Mba marah nanti."Mba Yolan terlihat mengangguk sambil memperhatikan cincinnya itu. Lalu memasangkan cincin emas putih tersebut di jari tengahnya."Sekali lagi, makasih ya, Mba. Aku tinggal mandi dulu, ya!" pamitnya kembali.Aku pun mempersilahkan. Sehingga Mba Yolan bergegas ke arah dapurnya. Karena kamar mandi di rumah ini terletak di bagian belakang setelah dapur.Seperginya Mba Yolan. Aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan televisinya. Lalu mengambil cangkir kecil berisi air teh hangat dan menyeruputnya. Ada pula cemilan kripik ubi ungu teman minumku bersama teh hangat ini.Aku menikmati hidangan yang diberikan Mba Yolan. Sambil mengamati ruangan santai yang sekaligus sebagai ruangan televisi dan ruang kelua
******Malam hari, aku duduk bersantai di ruangan televisi. Memegangi sebuah figura di tangan dan kupandangi lekat foto yang terbingkai.Fotoku dan Mas Adrian di panti asuhan tempat kami biasa berkunjung. Foto yang diambil enam bulan lalu. Dalam foto ini aku tengah menggendong seorang bayi.Bayi yang baru saja ditemukan di depan pintu gerbang panti. Tanpa identitas, hanya terbungkus selimut dalam keranjang bayi.Sungguh bayi yang malang. Entah siapa yang sudah tega menelantarkan bayi selucu ini. Aku tidak habis pikir.Enam bulan lalu, aku ingin mengadopsi bayi lucu dan mungil itu. Namun lagi-lagi, Mas Adrian menolak. Mas Adrian masih belum memberi izin untuk segera mengadopsi anak. Suamiku itu, kukuh masih ingin menjalani program kehamilan."Sayang," sapa Mas Adrian yang baru saja tiba di ruang televisi ini. Duduk di sampingku setelah menaruh gelas berisi susu cokelat pada meja di hadapan kami.Aku hanya menoleh dan tersenyum ke arahnya. Lalu menyimpan figura ke tempatnya semula."Kam
*******Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Selesai sarapan pagi. Mas Adrian telah lebih dulu berangkat ke toko. Sementara aku, baru saja mengunci pintu rumah dari luar. Hendak pergi ke panti pagi ini.Melewati teras, kubuka gerbang pagar lebih dulu. Sebelum kemudian membuka pintu garasi untuk mengeluarkan mobil.Setelah mobil berhasil kukendarai hingga keluar pagar. Aku kembali ke dalam halaman rumah. Menutup dan mengunci kembali pintu garasi. Begitu juga dengan gerbang pagarnya. Sedikit repot memang karena tak ada pekerja di rumah ini.Aku berdiri di samping pintu mobil. Berdiri sesaat sambil melihat ke arah rumah Mba Yolan yang pagarnya masih tertutup rapat. Tidak ada aktivitas yang kulihat dari halaman rumahnya itu.Katanya, hari besok dia akan pindah. Maka hari ini, aku menyempatkan untuk mengunjungi panti. Agar besok, aku bisa ikut mengantar Mba Yolan pindahan.Kutarik napas panjang. Lalu membuka pintu mobilku. Kuhempaskan bobotku di kursi kemudi. Gegas membawa kendaraan roda empa