Aku melihat reaksi Mas Adrian yang melotot. Seperti terkejut, tapi setelahnya dia bereaksi biasa saja."Kenapa Mas? Kok kamu kayak kaget?" tanyaku penasaran.Mas Adrian nampak menggeleng cepat. "Eng-nggak, Dek. Iya … mas cuma kaget, kok barang seperti cincin begini bisa ada di bak wastafel? Apa mungkin milik tetangga sebelah itu? Kalo iya, berarti yaa dia ceroboh banget kan."Aku mengangguk setuju. "Iya bener, Mas. Kok bisa-bisanya barang berharga seperti ini ketinggalan, apalagi di bak wastafel. Kalo ini emang punya Mba Yolan, apa dia ngga balik ke sini lagi kemarin buat nanyain cincinnya ini, Mas?"Mas Adrian menggeleng. "Enggak ada, Dek. Dia cuma ikut ke kamar mandi, habis itu ga balik lagi. Mungkin dia udah stok air galon buat ganti sementara airnya yang macet. Ga tau juga deh."Aku mengatupkan bibir. Jadi cincin emas putih ini milik Mba Yolan. "Mas aku udah kenyang. Udah ah makannya," ucapku saat Mas Adrian hendak menyuapiku kembali."Bener, nih?" tanyanya meyakinkan."Hu'um. Aku
Tok Tok Tok!Tiba di rumah Mba Yolan. Aku langsung mengetuk pintunya. Lalu tak lama, pintu pun dibuka dari dalam.Mba Yolan nampak masih mengenakan daster tidur. Lengkap dengan rambut yang berantakan. Matanya terlihat kuyu. Seperti kurang tidur. Mungkin dia berjaga semalaman menunggu Arsen."Eh, Mba Yolan. Masuk masuk," ajaknya. Aku pun segera masuk ke dalam rumah Mba Yolan."Mba, Arsen masih tidur?" tanyaku pelan. Sebab tak melihat Mba Yolan menggendong bayinya.Mba Yolan mengangguk. "Iya, Mba. Semalaman dia nggak nyenyak tidurnya. Paling sejam, kebangun lagi. Gitu terus. Sampai barusan jam enam baru beneran tidur.""Duh, Mba sorry ya, aku ke sini jadi ganggu," ujarku merasa tidak enak."Gak papa, Mba. Santai aja, lagian aku udah bangun kok, karena ga bisa tidur lagi."Aku lantas menyerahkan mangkuk sup di tanganku pada Mba Yolan. Setelah itu, Mba Yolan beranjak ke dapur sedangkan aku masih di ruangan depan rumahnya.Arsen masih tidur. Padahal aku ingin sekali menggendongnya. Aku sud
Mba Yolan nampak melongo. Melihat cincinnya ada di telapak tanganku sekarang. Dia lantas mengambil cincinnya itu dengan segera."Ah, makasih banyak, Mba. Aku kira cincin ini hilang," jawabnya."Hati-hati, Mba. Itu pasti cincin pernikahan ya? Kalau sampai hilang, pasti suami Mba marah nanti."Mba Yolan terlihat mengangguk sambil memperhatikan cincinnya itu. Lalu memasangkan cincin emas putih tersebut di jari tengahnya."Sekali lagi, makasih ya, Mba. Aku tinggal mandi dulu, ya!" pamitnya kembali.Aku pun mempersilahkan. Sehingga Mba Yolan bergegas ke arah dapurnya. Karena kamar mandi di rumah ini terletak di bagian belakang setelah dapur.Seperginya Mba Yolan. Aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan televisinya. Lalu mengambil cangkir kecil berisi air teh hangat dan menyeruputnya. Ada pula cemilan kripik ubi ungu teman minumku bersama teh hangat ini.Aku menikmati hidangan yang diberikan Mba Yolan. Sambil mengamati ruangan santai yang sekaligus sebagai ruangan televisi dan ruang kelua
******Malam hari, aku duduk bersantai di ruangan televisi. Memegangi sebuah figura di tangan dan kupandangi lekat foto yang terbingkai.Fotoku dan Mas Adrian di panti asuhan tempat kami biasa berkunjung. Foto yang diambil enam bulan lalu. Dalam foto ini aku tengah menggendong seorang bayi.Bayi yang baru saja ditemukan di depan pintu gerbang panti. Tanpa identitas, hanya terbungkus selimut dalam keranjang bayi.Sungguh bayi yang malang. Entah siapa yang sudah tega menelantarkan bayi selucu ini. Aku tidak habis pikir.Enam bulan lalu, aku ingin mengadopsi bayi lucu dan mungil itu. Namun lagi-lagi, Mas Adrian menolak. Mas Adrian masih belum memberi izin untuk segera mengadopsi anak. Suamiku itu, kukuh masih ingin menjalani program kehamilan."Sayang," sapa Mas Adrian yang baru saja tiba di ruang televisi ini. Duduk di sampingku setelah menaruh gelas berisi susu cokelat pada meja di hadapan kami.Aku hanya menoleh dan tersenyum ke arahnya. Lalu menyimpan figura ke tempatnya semula."Kam
*******Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Selesai sarapan pagi. Mas Adrian telah lebih dulu berangkat ke toko. Sementara aku, baru saja mengunci pintu rumah dari luar. Hendak pergi ke panti pagi ini.Melewati teras, kubuka gerbang pagar lebih dulu. Sebelum kemudian membuka pintu garasi untuk mengeluarkan mobil.Setelah mobil berhasil kukendarai hingga keluar pagar. Aku kembali ke dalam halaman rumah. Menutup dan mengunci kembali pintu garasi. Begitu juga dengan gerbang pagarnya. Sedikit repot memang karena tak ada pekerja di rumah ini.Aku berdiri di samping pintu mobil. Berdiri sesaat sambil melihat ke arah rumah Mba Yolan yang pagarnya masih tertutup rapat. Tidak ada aktivitas yang kulihat dari halaman rumahnya itu.Katanya, hari besok dia akan pindah. Maka hari ini, aku menyempatkan untuk mengunjungi panti. Agar besok, aku bisa ikut mengantar Mba Yolan pindahan.Kutarik napas panjang. Lalu membuka pintu mobilku. Kuhempaskan bobotku di kursi kemudi. Gegas membawa kendaraan roda empa
Fano terlihat berjalan ke arahku. Dia sepertinya baru saja dari klinik umum yang ada di sebelah butik milik Stella ini."Kamu dari mana? Butik ini?" tanyanya."Iya, Fan. Aku mau ke panti asuhan, tapi mobilku tiba-tiba ngadat. Ga mau nyala. Aku nelpon Mas Adrian tapi ga diangkat. Kamu dari mana?""Aku dari klinik. Kebetulan habis dari rumah Mba Tami. Terus temenku yang punya klinik ini minta aku mampir. Ini aku baru selesai nemuin temenku. Karena dia udah mau buka praktek, jadinya aku ya keluar," jelasnya kemudian."Temen kamu dokter perempuan apa laki-laki, Fan?" "Laki-laki, Han. Kenapa emang?"Aku menyipitkan mataku menatap Fano. "Circle pertemanan kamu kayaknya kebanyakan laki-laki deh, Fan. Makanya kamu belum nikah sampai sekarang. Jangan-jangan …." Aku menggantung ucapkanku."Jangan-jangan apa? Kamu jangan sembarang ya, Han. Kamu mau bilang aku belok, iya? Enak aja kamu, Han. Aku masih normal. Masalah aku belum menikah, itu karena aku belum ketemu jodohku aja. Kamu lama-lama miri
**********Ap-ap-apah? Apa itu? Apa yang sedang mataku ini saksikan? Aku mengucek mata. Lalu kembali melihat dengan seksama.Aku menggeleng. Kubekap mulutku tak percaya.M-mas Adrian dengan … Mba Yolan?Mba Yolan duduk di pangkuan suamiku. Kedua tangannya melingkar di leher Mas Adrian. Sedangkan tangan Mas Adrian melingkar erat di pinggang ramping Mba Yolan.Mereka bercumbu dengan setengah kancing kemeja Mas Adrian telah terbuka. Sedangkan Mba Yolan terlihat memakai bra hitam. Karena kain bajunya telah diturunkan.Mas Adrian lalu turun ke dada Mba Yolan. Dia membenamkan wajahnya di sana. Hingga Mba Yolan kembali menjerit dan mendesah. Dengan kepala yang semakin menengadah dan ditarik ke belakang. Merasakan serangan yang Mas Adrian lancarkan di bagian dadanya.Dadaku sesak. Bulir bening lolos begitu saja dari kedua mataku. Kaki ini bahkan terasa lunglai. Seluruh tulang persendianku terasa dilolosi dari tempatnya.Apa yang ada dibenak Mas Adrian? Sampai bisa berbuat seperti itu pada tet
"Tunggu, Mba!" seruan Mba Yolan menahan kakiku yang baru saja melangkah."Kalau Mba melaporkan rekaman itu. Bukan aku dan Mas Adrian yang akan disidang di balai warga. Tapi justru, Mba Jihan yang akan malu!" ucapnya yang tidak aku mengerti.Lantas aku pun berbalik kembali menghadap mereka. "Apa maksud kamu?!" bentakku dengan nada tinggi."Kenapa aku yang malu? Kalianlah yang seharusnya malu, karena sudah berzinah seperti ini!" tukasku geram."Dengar, Mba! Aku dan Mas Adrian nggak berzinah. Kami sudah halal. Mba salah jika menuduh kami sudah berzinah!"Jedddar!Bagai disambar petir. Lututku lemas mendengar ucapan perempuan berambut sebahu itu. Apa maksudnya sudah halal?"Yolan!" Terdengar Mas Adrian menghardik perempuan yang berdiri di belakangnya itu."Biar, Mas! Sudah saatnya Mba Jihan tahu semuanya. Biar aku buka saja semuanya sekarang. Buat apalagi kita tutupi, Mas?!" cecarnya mendebat Mas Adrian."Tapi, Yol—""Apa yang harus aku tahu? Apa?! Apa yang mau kamu buka, ha?!" tantangku