"Bom, kita apain nih?” Lelaki bertubuh gempal itu mendekat sambil menatap lekat pada wajah pias Bu Minah.
“Sepertinya cantik juga, jangan di sia-siakan Har,” ucap lelaki yang bertubuh lebih tinggi sambil menarik tubuh Bu Minah ke dalam rumpun yang tidak jauh dari sana. Lelaki bertubuh gempal segera mengikutinya setelah mengamankan sepeda motor agar tidak terlihat oleh orang yang lewat. “Gantian kita Bom, siapa dulu?” ujar lelaki bertubuh gempal sambil menyeringai. “Gue dulu lah, kan udah di tangan gue,” ucap lelaki itu sambil menatap wanita di depannya penuh nafsu. “Gak bisa gitu dong, kita gambreng kalau gitu, yang menang dia duluan,” ucap lelaki bertubuh gempal itu. Akhirnya satu tangannya dilepas untuk gambreng dengan temannya. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh“Teh, nanti langsung susul Sabar ke rumah sakit, ya!” Tanpa menunggu jawaban Bu Haminah, Sabar langsung melajukan sepeda motornya dengan kecepatan maksimal.Sementara itu, Pak Wawan pun turut menyalakan sepeda motornya. Bu Minah duduk diboncengnya. Mereka segera melaju menuju kediaman Pak Hamizan. Sepanjang perjalanan tidak ada yang berkata-kata. Baik Bu Minah maupun Pak Wawan masih terlalu terkejut dengan takdir yang tiba-tiba menyatukan mereka.Ketika mereka tiba, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluh menit. Bu Minah bergegas masuk ke dalam rumah dan meningglkan begitu saja orang yang sudah mengantarnya. Pak Wawan duduk di depan merenung sendirian. Ada rasa berasalah pada Esih---istrinya dan Enih---putri mereka satu-satunya yang kini sedang mondok di pesantren sholehah.Sementara itu, Bu Minah segera membersihkan diri dan mengganti pakaian. Perlakuan para perampok tadi masih terekam jelas dan membu
"Kak Ira kan tinggal di pondok ... dia pulangnya ke rumah Pak Ustadz ... nanti kalau Reni sudah besar bisa tinggal di pondok juga,” ucap Pak Dermawan lembut.“Reni gak mau ... Reni benci ayah sama Kak Ira!” Teriaknya sambil berlari ke dalam dan membanting pintu keras-keras.Semua orang menatap punggung gadis kecil itu. Bu Minah melirik benci pada Bu Nani---istri baru mantan suaminya.“Bu Nani, Reni kan anak saya. Bu Nani gak boleh racunin pikiran anak saya, ya! Apalagi untuk membenci ibunya, dosa!” ucap Bu Minah penuh penekanan.“Ya Allah ... saya gak pernah ngehasut apapun pada Reni! Dia mungkin senang karena ada temennya. Dia sangat akrab dengan Tiara makanya betah tinggal bareng kami,” bela Bu Nani dengan wajah terkejut. Dia tidak menyangka mantan tetangganya itu berpikiran demikian.“Elah ... bisanya cuma ngeles ... bukti udah bicara masih me
Follow dan subscribe dulu ya ceritanya...Btw Mak... Yang masih berkenan lanjut session tiga ya yuck lanjut! Yang udah gak berkenan baca boleh skip aja 🥰🥰🥰Happy reading!Ini hari pertamaku tinggal di rumah Kang Wawan. Ternyata rumahnya tidak seburuk penampilannya. Sepertinya istrinya Kang Wawan memiliki gaji cukup besar sehingga bisa membuat rumah yang lumayan. Rumah ini cukup besar untuk seukuran rumah di perkampungan.Aku bebas sekarang, setidaknya sampai istrinya Kang Wawan pulang dan aku mendapatkan suami kaya yang baru. Daripada aku harus tinggal di rumah bersama Sabar dan Istrinya yang menyebalkan. Di sini sepertinya lebih baik buatku. Reni pun bisa leluasa bermain.“Teh, ayo!” Kang Wawan membukakan pintu untuk kami. Aku menggendong Reni masuk. Sementara Kang Wawan membawakan pakaian kami.“Yang depan ini kamar saya sama Esih! Teteh tidur di kamar yang tengah saja ya!&rd
Pov 3"Heyyy!"Bu Haminah menghentikan langkahnya dan menoleh ke asal suara. Terlihat wanita yang tadi memakinya tengah berkacak pinggang. Satu tangannya memegang ponsel yang masih menyala.Dia mengarahkan kamera ponselnya ke arah wajah Bu Minah. Wanita itu berteriak dengan cukup keras."Esih! Lihat itu! Kamu selalu bilang Kang Wawan lelaki baik dan gak mungkin khianati kamu! Itu buktinya apa?! Lihat wanita itu istrinya Kang Wawan yang baru!"Wajah Bu Minah memucat. Dia memalingkan muka dan berjalan menjauh dari tetangganya yang masih mengoceh. Rupanya wanita itu sedang melakukan panggilan video dengan istri pertamanya Pak Wawan.Bu Minah segera masuk ke dalam rumah. Hatinya masih deg-degan. Bagaimanapun kejadian serupa pernah di alaminya. Kejadian yang membuat dia keh
Seorang wanita yang disebut Bi Isah itu sudah berdiri di depannya. Pakaiannya serba ketat sudah seperti mau senam aerobic. Dia hanya memakai celana lejing dengan kaos ngepas di badan. Wajahnya berwarna, bukan cantik kesannya tetapi lebih pada berlebihan. Bibir merah menyala, di atas kelopak mata memakai eyeshadow hijau terang.Resti tertegun melihat perawakan orang yang akan menjadi ART-nya. Namun suara Mpok Inem membuyarkan pikirannya.“Neng, ini Bi Isah … umurnya sih baru 30 tahun, dia udah punya anak tiga! Yang pertama anaknya usia 12 tahun, yang kedua delapan tahun dan yang paling bontot baru enam tahun,” ucap Mpok Inem lagi.“Saya Resti, mari masuk Bi!” Resti mempersilakan pembantu rumah tangganya yang baru. Bi Isah langsung di ajak Mpok Inem ke dalam.
Bu Minah melengos pergi meninggalkan lelaki paruh baya yang sedang memijat kepala. Sebetulnya istrinya---Esih memintanya untuk keluar dari rumah itu jika masih mempertahankan Bu Minah sebagai istrinya. Namun dia kembali tidak tega ketika mendengar jawaban Bu Minah yang bersikukuh untuk mempertahankan pernikahannya. Dia menatap punggung Bu Minah menjauh.“Enak saja nyuruh cerai, saya gak akan mau cerai sebelum bisa menikmati uang yang kamu kirimkan Esih!” batin Bu Minah sambil tetap melanjutkan langkah menuju rumah Winda.Setibanya di sana dia kembali berbaur dengan ibu-ibu di dapur. Sementara mulutnya mengoceh berbicara, tangannya sesekali mengamankan makanan dan memisahkannya.Menjelang sore acara di mulai. Dia dan beberapa tetangga masih di sana. Membungkuskan bingkisan untuk semua peserta pengajian. Dalam tiap plastik itu ada satu box nasi lengkap dengan lauk pauknya ditambah air mineral serta
“Sudah, gak usah banyak tanya … sekarang kemasi barang-barang kalian dulu! Kalian harus pergi secepatnya dari rumah ini! Saya gak mau menyambut Esih dengan keadaan seperti ini! Hatinya pasti terluka!”“Terus kami tinggal di mana Kang?”Wajah Bu Minah memelas sambil mengiba pada Pak Wawan. Namun lelaki itu malah meninggalkannya ke dalam dan mengeluarkan koper milik Bu Minah.“Kalau Teteh gak mau beresin, biar saya aja yang beresin!”“Eh, bentar atuh, Kang! Saya bisa beresin sendiri!”Bu Minah mengejar suaminya yang sudah mengeluarkan koper dan menuju kamarnya. Dia mengambil koper itu dari tangan suaminya.“Sekarang saya beresin semua barang ini, tapi saya gak mau bercerai sama Akang! Bantu saya atuh, Kang! Nanti mantan suami saya ngambil Reni lagi dari saya!” Wajah Bu Minah memelas. Pak Wawan
Dua belas tahun kemudian.“Dinda, kita nebeng ya!” ucap Reni sambil menyenggol lengan Dinda.“Emang mau pulang ke mana? Ke rumah ayah kamu lagi?” tanya Dinda---gadis cantik yang tinggi semampai dengan rambut tergerai indah.“Iya, tapi Tiara lagi gak bawa mobil. Dia naik angkutan umum! Aku males lah!” Gadis berseragam putih abu itu melirik ke arah Tiara---saudara tirinya yang tengah mengikat rambutnya.“Ren, Ren! Kamu tuh ya! Kan kata ayah kita harus terbiasa hidup dalam semua kondisi! Jangan hanya ingin hidup enak, hidup senang, kita juga harus belajar hidup susah!” ucap Tiara sambil menghampiri kedua orang itu. Rambutnya sudah rapi terikat ekor kuda.“Kamu tuh bilang gitu, enak! Selama ini hidup dengan fasilitas lengkap ayah! Kamu yang belum merasakan hidup susah! Aku sampai saat ini hanya tinggal di kontrakan petakan