“Sudah, gak usah banyak tanya … sekarang kemasi barang-barang kalian dulu! Kalian harus pergi secepatnya dari rumah ini! Saya gak mau menyambut Esih dengan keadaan seperti ini! Hatinya pasti terluka!”
“Terus kami tinggal di mana Kang?”Wajah Bu Minah memelas sambil mengiba pada Pak Wawan. Namun lelaki itu malah meninggalkannya ke dalam dan mengeluarkan koper milik Bu Minah.
“Kalau Teteh gak mau beresin, biar saya aja yang beresin!”“Eh, bentar atuh, Kang! Saya bisa beresin sendiri!”
Bu Minah mengejar suaminya yang sudah mengeluarkan koper dan menuju kamarnya. Dia mengambil koper itu dari tangan suaminya.
“Sekarang saya beresin semua barang ini, tapi saya gak mau bercerai sama Akang! Bantu saya atuh, Kang! Nanti mantan suami saya ngambil Reni lagi dari saya!” Wajah Bu Minah memelas. Pak Wawan
Dua belas tahun kemudian.“Dinda, kita nebeng ya!” ucap Reni sambil menyenggol lengan Dinda.“Emang mau pulang ke mana? Ke rumah ayah kamu lagi?” tanya Dinda---gadis cantik yang tinggi semampai dengan rambut tergerai indah.“Iya, tapi Tiara lagi gak bawa mobil. Dia naik angkutan umum! Aku males lah!” Gadis berseragam putih abu itu melirik ke arah Tiara---saudara tirinya yang tengah mengikat rambutnya.“Ren, Ren! Kamu tuh ya! Kan kata ayah kita harus terbiasa hidup dalam semua kondisi! Jangan hanya ingin hidup enak, hidup senang, kita juga harus belajar hidup susah!” ucap Tiara sambil menghampiri kedua orang itu. Rambutnya sudah rapi terikat ekor kuda.“Kamu tuh bilang gitu, enak! Selama ini hidup dengan fasilitas lengkap ayah! Kamu yang belum merasakan hidup susah! Aku sampai saat ini hanya tinggal di kontrakan petakan
Satu komplek kontrakan itu dihebohkan dengan kejadian malam itu. Beberapa warga yang mengenal Pak Dermawan langsung menghubunginya. Reni terisak karena takut dan gemetar atas teriakan dan makian beberapa warga. Mereka di giring ke rumah pemilik kontrakan. Ibu pemilik kontrakan langsung menghubungi Bu Minah yang baru saja tiba di kota kenangan. Wanita itu akhirnya langsung kembali malam itu juga. Warga masih berkerumun menonton dua manusia yang masih berpakaian alakadarnya. Tidak lama Pak Dermawan datang. Lelaki berwajah teduh itu berkali-kali menarik napas panjang. Rasa pedih, kesal dan kecewa bercampur menjadi satu. “Ren! Setega ini kamu mempermalukan ayah?” lirih Pak Dermawan. Dia mendudukan tubuhnya di kursi rotan milik ibu kontrakan. “Maafin Reni, Yah!” Ditengah isaknya, gadis itu masih sempat meminta maaf. “Ayah kecewa sama kamu, Ren! Sia-si
"Reni, Kamu ngabisin gula Mbak lagi ya?” teriakku dari dapur.“Ya elah, Mbak! Gula doang pelit amet!” Kudengar adik iparku menyahut dari dalam kamarnya.Aku hanya menghela nafas. Kebiasaan buruknya sepertinya sudah melekat. Setiap kali kuhabis belanja bulanan maka sebagian bahan makanan akan berpindah pada toples yang dia simpan di kamarnya. Gula, kopi, teh, susu dalam sekejap semua akan tinggal setengah. Padahal aku tidak pernah membatasinya yang penting bekasnya dirapikan kembali dan tetap disimpan di dapur yang bisa di akses bareng-bareng. Jika barang-barang itu sudah masuk ke dalam kamarnya maka pantang untuk keluar lagi.Semenjak Ali menikah dengannya dan mengajaknya tinggal di rumah ini semua menjadi serba sulit. Dia bukan hanya tidak pandai menitipkan diri, tetapi aji mumpung. Semenjak mereka di sini kebutuhan harian meningkat dua kali lipat.Selain itu, hal yang pali
"Ren, kamu yang sopan, ya! Jangan menguji batas kesabaran Mbak! Kalau sudah gak nyaman dan gak bisa ikut aturan, silakan pergi dari rumah ini!” Teriakku di depan kamarnya.Tidak ada sahutan yang terdengar. Rupanya dia masih takut juga jika kuusir. Aku segera berlalu menuju teras. Tehku sudah menghangat rupanya. Baru satu biskuit yang kuhabiskan tiba-tiba Bu Marni pedagang pakaian keliling datang.“Assalamu’alaikum, Mbak Rumi!” ucapnya dengan senyuman merekah.“Wa’alaikumsalam! Jualan, Bu Mar?” sapaku ramah sambil menarik satu kursi untuknya.“Iya ... saya di sini aja duduknya, Mbak Rum,” ucapnya sambil memilih duduk di lantai dan menggelarkan dagangannya.“Ayo, dipilih pakaiannya ada model terbaru nih, yang ini daster yang lagi musim lho, terus kalau yang ini pakaian tidur kekinian, biar suami betah, Mbak!&rdqu
"Nih kamu nyapu dulu, bersihkan semua rumah, nanti Mbak kasih kamu uang!”Kujatuhkan sapu itu didepannya. Kemudian kubanting pintu dengan keras.“Mbak Rumiii!” teriaknya kesal. Tidak lagi kuhiraukan. Pintu kukunci dari dalam agar dia tidak menggangu istirahatku kali ini.Entah apa yang terjadi selanjutnya. Tidak kudengar lagi suara dari depan kamar. Semoga saja anak itu benar-benar membersihkan rumah.Baru sebulan menumpang saja sikapnya sudah melunjak. Entah apa yang membuat Ali tertarik untuk memperistrinya. Andai saja kutahu lebih awal tentang perangainya yang menyebalkan sudah kupastikan, Ali tidak akan berjodoh dengannya.Aku sebetulnya lebih menyukai Tiara yang katanya saudara tirinya. Namun sepertinya Reni lebih agresif mendekati Ali.Sekarang, nasi sudah menjadi bubur. Tidak baik jika aku menyuruh mereka berce
Aku mempercepat jalanku agar segera tiba di kediaman Bonbon. Berharap segera pulang kembali dan mencari tahu siapa wanita itu?“ Assalamu’alaikum,” ucapku.“Waalaikumsalam,” jawab seseorang dari dalam.“Bar! Nana ada di dalam?” tanyaku pada Ambar---Ibunya Bonita.“Ada Rum, ayo masuk aja!” ujarnya sambil memberikan jalan padaku untuk masuk mengikutinya.“Eh, masih belum kelar belajarnya?” tanyaku ketika melihat Nana dan Bonbon beserta buku mereka yang berantakan.“Belum, Mah!” jawab Nana dan Bonbon.Aku duduk di sofa milik Ambar. Tipe rumahnya sama dengan milikku, cuma punya mereka sudah di renovasi dan dibikin dua lantai.
"Reni! Kenapa semua bahan stock bulanan tidak ada di tempatnya, gula, kopi, teh, susu, bahkan bahan makanan yang mau di masak juga tidak ada?” Aku berkacak pinggang.“Nanti akhir bulan kuganti, Mbak! Tadi aku kasih mamahku ... masa pulang gak bawa oleh-oleh!” ucapnya."Ya ampuuun Reni! Modal dong kalau mau ngasih oleh-oleh buat orang tua tuh ... terus tadi bahan masakan yang Mbak udah siapkan kemana? Kho gak ada?”“Aku kasihin Mamahku sekalian tadi, Mbak! Soalnya buat makan malam sekarang dia bawain aku KFC, makanan favoritku. Jadinya daripada masak mending langsung makan deh, gak pake ribet!” jawabnya enteng dengan wajah tanpa merasa bersalah.“Oh ya udah kalau gitu, mulai besok tidak ada lagi stock makanan bersama. Silakan kamu atur sendiri urusan bul
Mas Harso yang baru saja mengambil handuk dan baru membuka pintu kamar menatapku heran.“Rum, kamu buat apa beli lemari lagi? Di simpan di kamar pula?”“Di dapur sekarang banyak tikus, Mas! Aku mau simpen stock makanan bulanan kita di dalam kamar!” jawabku.Tidak mungkin aku menjelaskan secara gamblang. Bagaimanapun, Mas Harso selalu memintaku untuk memngayomi kedua orang tersebut. Tapi adik seperti apa dulu yang harus kuayomi? Seenak jidatnya saja.Mas Harso mandi duluan sebelum Ali. Kulihat Reni ada di dapur dan tengah menatap magic com nasi yang kosong.“Mbak, nasi kho gak ada, ya?’ tanyanya padaku.“Habis,” jawabku singkat sambil mengambil satu cangkir keramik besar. Aku akan membuatkan Mas Harso