Share

HASRAT YANG MENGGODA

Esmo hanya membungkuk. Lalu segera berjalan menuju ruang William. Tak lama, akhirnya mereka pun sampai. Esmo pun segera meninggalkan mereka.

"Tuan William," bisik Beatrix dengan mata yang berbinar.

Suara Beatrix terdengar syahdu menggoda. Membuat William mendongak dan mengalihkan pandangannya.

Dia melihat seorang wanita muda dan cantik. Yang sedang tersenyum lebar padanya. Seakan ingin menabur kerinduan yang terpendam di antara mereka. Walau perpisahan yang terjadi baru berumur tujuh hari.

Sejenak William terpesona. Tubuh seksi Beatrix dipadu pakaian dengan belahan dada yang rendah. Membuat bagian atasnya tersembul indah. Seolah menantang William untuk segera mencumbunya.

"Kemarilah, Beatrix!"

Wanita itu mempercepat langkahnya.

"Sayang, aku merinduimu," ucap Beatrix manja.

William menghentikan aktivitas yang dia lakukan. Dia pun beranjak dari kursi kerjanya. Menyambut wanita muda itu,  yang langsung bergelayut manja dan mesra.

"Kau tak merindukan aku, Tuan?"

"Selalu merindukanmu. Apalagi kalau mengingat gaya binal kamu di ranjang. Semakin membuat aku tak bisa tidur," bisik William.

Raut wajah Beatrix memerah. Dia tersipu malu oleh ucapan William yang pandai membuat hatinya penuh gelora.

"Ayo, ikuti aku!" ajak William.

"Kita ke mana?"

"Akan aku tunjukkan kamar kamu!"

Rona kebahagiaan, terpancar jelas di wajah wanita itu. Tanpa peduli, dia telah menoreh sebuah luka di hati Jill Anne. Yang kini entah berada di mana?

Mereka berdua menaiki beberapa anak tangga. Menuju lantai tiga. Di beberapa sudut ruang. Terlihat bunga mawar putih dipadu dengan bunga myrtle. Bunga yang berwarna putih, perlambang kesetian cinta.

"Aku suka dengan bunga mytle, Wiiliam Sayang."

"Karena aku tahu kau suka, makanya aku letakkan sebagai hiasan. Perlambang cintaku padamu."

"Kau pun akan setia padaku?"

William tak menjawab. Dia menggandeng lengan Beatrix menuju kamarnya yang sudah dihias penuh bunga. Wanita itu seperti melupakan pertanyaan yang sempat dia lontarkan pada William.

"Indah sekali kamar ini, Sayang."

"Kamu suka?"

"Sangat menyukainya."

William langsung menyambar tubuh Beatrix yang tak siap. Lelaki tampan itu menggendong dan menghempaskan di atas kasur. Seolah tak memberi kesempatan pada Beatrix untuk bernapas. Dia memagut rakus bibir sang 'istri.'

Beatrix pun tak menyiakan kesempatan itu. Hembusan napas William mulai terdengar kasar di telinga. Bersamaan dengan suara petir yang menyambar dan menyalak dengan suara kencang. Mereka meluapkan hasrat yang penuh gelora.

Wanita cantik itu, begitu pintar mempermainkan hasrat membara Willliam. Seakan lelaki itu dibuat tak berdaya dengan kelihaiannya. William pun begitu menikmati, semua sensasi yang diberikan Beatrix. Yang tanpa malu, dia terlihat lebih beringas di ranjang dari pada Jill Anne.

"Kau ... pintar Sayang," bisik William dengan terengah-engah.

"Lanjut, Sayangku?" William hanya bisa mengangguk pasrah.

Dia seolah tak peduli dengan keberadaan istri pertamanya itu. Di tengah badai petir yang terus menyambar bumi. Hanya Esmo yang sedari tadi berjalan mondar mandir. Dia terlihat sangat gelisah memikirkan tuannya. Sesekali dia melihat ke arah lantai tiga. Dengan kemarahan.

"Bagaimana bisa dia membiarkan istrinya di luar?  Di tengah badai petir seperti ini. Tanpa berniat mencari atau menyesali perbuatannya. Malah enak-enak bercinta dengan wanita itu!"

"Sabar, Esmo! Bukannya Tuan kita memang terkenal suka main wanita. Iya 'kan?" sahut Ester.

"Tapi, sekarang ini benar-benar keterlaluan. Kurang apa Nyonya Jill Anne? Bahkan kekayaannya bisa membeli Tuan William."

"Esmo! Hati-hati kalau bicara. Jika Tuan William mendengarmu. Kau bisa dihukum."

"Aku memang benar-benar marah dengan Tuan, Ester. Sikap dia dalam memperlakukan Nyonya. Sungguh keterlaluan."

"Aku pun sebenarnya merasakan hal yang sama. Tuan Willian seperti tidak peduli sama sekali."

Esmo menghembuskan napas panjang. Dia berjalan menuju jendela kaca yang tertutup rapat. Tatap matanya memandang tetesan air hujan yang membasahi jendela kastil saat ini.

"Yang aku tahu, Nyonya Jill Anne menyerahkan semua  aset kekayaan untuk dikelola Tuan William. Jadi, sekarang dia tak bisa berbuat apa-apa. Kesalahan Nyonya satu!"

"Apa itu Esmo?"

"Dia terlalu percaya pada Tuan, Ester!"

Mereka berdua pun hanya bisa iba pada nasib Jill Anne. Yang kini mereka pun tak tahu bagaimana kondisinya.

"Sayang, kau tak ingin mencarinya?" Tiba-tiba suara Beatrix terdengar berbisik di telinga William.

"Siapa?"

"Jill Anne, Sayang."

Tak ada jawaban yang terlontar dari bibir William. Beatrix pun tak memaksa William untuk menjawab. Dia terus mempermainkan wajah tampan lelaki bangsawan itu.

Suara guntur bergemuruh. Petir pun masih menyambar-nyambar kencang. Seakan ingin merobohkan menara kastil yang tertinggi. Segera Beatrix masuk ke dalam selimut dan memeluk tubuh William yang hangat.

"Kau dengar suara menakutkan itu? Sepertinya sedang badai petir William Sayang."

Tak ada ekspresi apa pun, yang di tunjukkan lelaki tampan penuh pesona itu. William Edward hanya tersungging masam.

"Biarkan dia menyesalinya!"

"Tapi, William. Kasihan dia di luar sana."

Jemari tangan Beatrix, terus bergerak mengusap dada bidang 'suaminya.'

"Aku paling tak suka bila ada yang menentangku. Terutama wanita. Termasuk kamu, Beatrix. Ingat pesan aku ini, jangan pernah sekali pun kau menentang apa pun yang aku inginkan. Paham?"

"Keinginan yang seperti apa?"

"Termasuk keinginan pada wanita!" Suara itu terdengar tegas tanpa basa basi.

Deg!

Ada desir ketakutan yang merambat di hati Beatrix. Dengan pandangan mata yang nanar. Dia memalingkan wajah William hingga menghadap ke arahnya.

"Maksud kamu? Apa kamu masih ingin mencari wanita lain? Tak cukup hanya aku dan Jill?"

"Beatrix, jangan cerewet!"

"Aku kan hanya bertanya saja William."

Lelaki tampan itu mengibaskan tangan. Pertanda agar Beatrix tak melanjutkan lagi kalimatnya.

"Aku akan turun. Biar Ester akan melayani-mu. Apa pun yang kamu minta akan aku turuti. Kau akan hidup bahagia dengan kekayaan aku. Bagaimana?"

Sejenak Beatrix terdiam, cukup lama. Ada pergolakan dalam hati. Bertahan karena cinta atau harta?

'Ahhhh, aku tak peduli. Yang terpenting, aku bisa menikmati semua ini.'

William kembali menoleh padanya.

"Kau tak menjawab?" lanjut William dengan sorot mata yang tajam. Begitu mengintimidasi Beatrix.

"A-aku menyukainya William Sayang."

"Bagus! Aku menyukai itu."

Bergegas William turun dari ranjang. Segera dia mengenakan pakaian yang berserakan di lantai. Tubuhnya yang atletis dan kekar, mempunyai daya pikat seksual tersendiri bagi wanita mana pun.

Langkah kakinya berjalan cepat meninggalkan kamar Beatrix. Terdengar wanita itu, menghela napas panjang. Tak lama kemudian, muncul seorang pelayan wanita. Dia masih berdiri di depan pintu yang terbuka lebar.

"Siapa nama kamu?"

"Ester, Nyonya."

"Apakah Nyonya Jill sudah pulang?" tanya Beatrix ikut mengkhawatirkan wanita yang baru saja dia kenal dan lihat.

"Masih belum, Nyonya."

Beatrix kembali menghembuskan napas panjang. Terpancar gurat rasa bersalah. Karena dirinya, Jill Anne pergi.

"Ester, aku ingin mandi. Siapkan baju aku di koper."

"Nyonya dilarang menggunakan pakaian yang dibawa dari rumah. Mari ikuti saya, Nyonya!" ajak Ester.

"Kenapa aku dilarang memakai baju aku sendiri?"

"Wanita Tuan William Edward. Harus tampil bak bangsawan."

"Tapi, aku bukan dari kaum bangsawan. Tidak bolehkah aku ingin memakai bajuku sendiri?"

Ester menoleh pada Beatrix. Yang belum apa-apa, sudah merasa seperti berada dalam sangkar emas.

"Mari Nyonya, ikuti saya!" tanpa memberi penjelasan.

Beatrix menyibak rambut merahnya yang panjang dan sedikit bergelombang. Lalu mengikat ke atas. Memperlihatkan leher yang jenjang.

"Rambutnya Nyonya sangat indah."

"Terima kasih, Ester."

Wanita berkulit hitam itu. Berjalan mendahului. Lalu dia berhenti di sebuah ruangan.

"Ruangan ini khusus pakaian anda, Nyonya."

Seketika itu dua bola matanya terbelalak. Dia hanya bisa terperangah, saat melihat ratusan pakaian wanita yang serba indah. Berjajar rapi. Dengan model terkini.

"Silakan Nyonya memilih!"

Beatrix langsung menghambur. Dia seperti kalap saat melihat surganya wanita. Senyum terus mengembang di wajahnya.

Sedangkan di salah satu sudut ruang kamar tidur Jill Anne. William masih berdiri di depan jendela kaca yang tertutup. Tampak ukiran burung phoniex menjadi hiasan jendela.

"Kau terlalu keras kepala, Jill. Aku mencintaimu, tapi bukan berarti kau bisa menghalangi kebebasan aku."

Sejenak William terdiam. Pandangannya terpaku melihat guyuran air hujan yang begitu deras.

"Aku yakin kau akan pulang! Kau tak memiliki apa-apa, Jill. Jadi, pilihanmu tetap kembali padaku."

Terlihat senyum William menyeringai dingin.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kebo Rawis
Awwww, si Beatrix binal banget ya? Wah, pantesan Duke William tersepona dibuatnya. Gak sabar nunggu aksi mereka :D
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status