Share

THE DUKE WILLIAM ( 9 ISTRI )
THE DUKE WILLIAM ( 9 ISTRI )
Penulis: Raifiza27

KENYATAAN YANG MENYAKITKAN

_1890 (Era Victoria)_

Kastil Edward Lily tampak megah dan indah. Terletak di atas bukit dengan latar belakang pegunungan. Dan tepat di bagian pintu masuk, terlihat pantai yang membentang luas. Terdapat beberapa serangkaian menara ramping menjulang tinggi di beberapa sisi kastil.

Terdengar derap langkah yang menuruni anak tangga. Seorang wanita berparas manis dengan kulit eksotis, bermata bulat, terlihat sedikit mengangkat rok lebar model lipit yang dia kenakan. Tubuhnya terlihat semampai dengan balutan korset di bagian pinggang. Busana dengan belahan rendah di bagaian dada, semakin membuat Jill Anne terlihat sangat menarik.

Di lantai bawah seorang pelayan sudah menunggu kehadirannya.

"Di mana tamu itu, Esmo?"

Masih dengan kepala yang tertunduk dan tubuh sedikit membungkuk. Esmo menjawab pelan, "wanita itu berada di ruang depan, Nyonya Jill Anne."

Langkahnya bergerak perlahan, diikuti pelayan setianya. Dari jauh Jill Anne berhenti. Pandangan matanya menangkap sosok wanita asing yang sama sekali belum dia kenal.

'Siapa wanita itu?' bisiknya dalam hati.

Dari pakaian yang dikenakan, Jill Anne bisa menebak dia dari golongan mana. Tubuhnya terlihat lebih sexy darinya. Bagian dada dan bokongnya cukup berisi. Bermata bulat lebar dengan senyum yang menggoda. Dia pun terlihat lebih cantik dan muda.

Kehadiran wanita ini, membuat Jill Anne bertanya-tanya. Apalagi saat melihat koper besar berwarna coklat yang berada di samping wanita itu.

Melihat kedatangan Jill Anne, sang wanita yang tampak ramah, tersenyum lebar. Lalu mengulurkan tangannya dengan tubuh sedikit membungkuk. "Beatrix Floy," ucapnya tegas penuh percaya diri.

Jill Anne tak langsung menyambut uluran tangan wanita itu. Dia terus memperhatikan dengan angkuh dan detil. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tak hanya sekali, tapi berulang-ulang.

Walau pun begitu, Beatrix Floy penuh percaya diri membalas tatapan Jill Anne. Tak ada rasa sungkan atau rikuh sama sekali. Seolah dia bukan sedang berhadapan dengan salah seorang dari keluarga bangsawan.

"Siapa kamu?" Suara Jill Anne terdengar tegas dan ketus.

"Haruskah saya ulangi lagi Nyonya Jill Anne? Nama saya Beatrix Floy, istri dari Tuan William Edward."

Bagai petir yang menyambar di siang hari yang terik. Jill Anne terbelalak dengan pengakuan wanita yang berdiri di hadapannya. Dia penuh percaya diri, saat berucap.

"Apa maksud kamu?"

"Satu minggu lalu, Tuan William melamar aku untuk menjadi istrinya. Dan, dia mengajak aku tinggal di kastil besar ini."

Seketika dadanya berdebar-debar kencang. Tarikan napas Jill Anne sangat terlihat jelas. Membuat Beatrix bisa membaca kegelisahan dan kemarahan, yang langsung terpancar di rona wajahnya.

"Kau jangan membuat sebuah candaan yang bisa mengakibatkan kepalamu digantung, Nona!"

"Saya tak sedang bercanda." Lalu dia mengulurkan sebuah surat pada Jill Anne. Jemari tangannya bergetar, saat membuka lembaran surat itu.

"Surat itu menunjukkan bahwa Tuan William memang menikahi saya, Nyonya."

"Ini tidak sah! Perkawainan macam apa ini? Yang ada kamu ini hanya jadi selir atau gundik suamiku!" teriak Jill Anne dengan suara yang bergetar.

Namun, itu tak membuat Beatrix pantang mundur. Dia semakin berani menantang Jill Anne yang mulai frustasi dengan kelakuan suaminya.

"Sebaiknya Nyonya pertemukan aku dengan Tuan William."

Kemarahan sudah sampai puncak kepala. Jill Anne mengangkat tinggi rok lebarnya. Berjalan cepat menuju ruangan pribadi sang suami. Napasnya tersengal-sengal. Sesekali dia mengusap kasar air mata yang menetes. 

"Aku tak percaya kau melakukan ini William! Kamu benar-benar keterlaluan. Tak menghargai aku sama sekali!" suaranya berbisik.

Kini langkahnya telah berhenti, di depan pintu sebuah ruangan pribadi William. Tanpa mengetuk terlebih dahulu. Jill langsung masuk dengan kemarahan yang berkobar bagai api panas. Yang siap menyambar siapa saja di dekatnya.

Bruuuaaakkk!

Kedua tangan menggebrak meja kerja William. Sontak lelaki berumur hampir 40 tahun itu, mendongak ke arah istrinya. Dia terpaku geram.

"Ada apa kamu sampai menggebrak meja sekeras ini, Jill?"

"William, kau ini ternyata brengsek! Kurang ajar sekali kau berani-beraninya membawa gundik kamu ke rumah ini! Kau anggap aku ini apa?"

Bruuuaaaakkkk!

Meja pun kembali digebrak keras oleh William. Seolah tak terima dengan perlakuan Jill Anne.

"Diam kau, Jill!" sentak William kasar.

"Ka-kamu ... mengakui wanita itu sebagai istri?"

"Iya. Dia akan tinggal di kastil yang luas ini, Jill. Jadikan dia seorang wanita bangsawan seperti dirimu!"

Hembusan napasnya menderu kuat. Seketika kedua tangan mengepal erat. Rahangnya mengeras, seakan menahan rasa sakit yang kian menghujam palung hati terdalam.

Tanpa banyak kata. Jill Anne berlari kencang dengan mengangkat tinggi rok lebarnya. Diikuti Esmo sang pelayan setia.

"Nyonya ... Nyonya! Mau ke mana?"

Namun panggilan Esmo tak dihiraukannya. Jill Anne terus berlari menuju kandang kuda. Hatinya serasa hancur dan remuk redam.

"Benton! Bentooon ...!" teriak Jill Anne dengan terisak.

Seorang lelaki muda berlari tergopoh-tergopoh menghampiri.

"A-ada apa, Nyonya Jill?"

"Siapkan kudaku sekarang juga!"

"Kuda, Nyonya?" ulang Benton seolah tak percaya.

"Siapkan sekarang! Jangan banyak tanya!"

"Ta-tapi, ini mau turun hujan Nyonya."

"Benton, kau siapkan sekarang atau kau, aku pecat!"

Lelaki muda itu ketakutan dengan ancaman Jill Anne. Dia langsung berlari ke dalam kandang. Tak lama menunggu. Kuda yang bernama Mariana seolah hapal dengan tuannya. Mariana meringkik seakan menyambut kedatangan Jill Anne.

"Bawa aku sekarang ke pantai, Mariana!"

Derap tapak kaki kuda melesat kencang. Hentakan kedua kaki Jill Anne, semakin menambah kecepatannya.

"Hiiiiaaaaaah!"

"Bawa aku pergi jauh, Mariana."

Dari jendela lebar yang berada di lantai dua. William terus memperhatikan kepergian Jill Anne. Pandangan mata yang tajam terus tertuju pada bayangan istrinya, yang kian samar terlihat.

"Seberapa lama kau akan berada di luar kastil ini, Jill? Kau tak akan bisa bertahan."

Suara bariton Wiliiam terdengar lirih. Lalu memperhatikan arah langit yang terlihat sangat mendung. Sembari tersenyum tipis, seolah menganggap kecemburuan istrinya hanya sebuah lelucon.

Hingga sebuah ketukan terdengar.

Tok tok tok!

"Masuklah!"

Esmo sudah berdiri di ambang pintu.

"Maaf, Tuan. Apakah Tuan William tak berniat mengejar Nyonya?"

"Buat apa, Esmo? Dia yang pergi, kenapa aku harus mengejar Jill?"

"Nyonya begitu mencintai Tuan."

"Lalu?"

"Sudilah kiranya Tuan untuk mengejar dan mengajak pulang. Apalagi  langit sangat gelap. Saya takut akan ada badai, Tuan William."

"Kalau dia menentang aku, aku akan membiarkan dia. Paham kau Esmo?"

Pelayan setia itu, hanya bisa terdiam.

"Suruh Ester melayani semua keperluan Beatrix. Sebelumnya, antar dia ke ruangan ini dulu Esmo!"

"Baik, Tuan William."

"Tunggu, Esmo!"

Wanita paruh baya itu menghentikan langkahnya. Lalu berbalik.

"Ada apa Tuan?"

"Jangan pernah memberikan nasehat padaku lagi, Esmo. Kau dan aku, pasti lebih pintar aku. Paham?" Dengan suara yang meninggi.

"Maafkan saya, Tuan William."

Langkahnya pun bergegas menuju ruang depan. Tampak Beatrix benar-benar terpesona dengan kemegahan dan keindahan kastil ini.

Tiba-tiba, suara Esmo mengejutkan beatrix.

"Nona, silakan ikuti saya!"

"Akhirnya ...! Bagaimana dengan tas saya ini?"

"Akan ada seorang pelayan yang nanti akan melayani anda, Nona."

"Jangan panggil aku, Nona. Tapi, Nyonya Beatrix," ucapnya dengan tersungging sinis.

Esmo hanya membungkuk. Lalu segera berjalan menuju ruang William. Tak lama, akhirnya mereka pun sampai. Esmo segera meninggalkan mereka.

"Tuan William," bisik Beatrix dengan mata yang berbinar.

***

Cerita hanya imajinasi liar penulis semata.

Ikuti ceritaku yang lain ya.

Kuku Bu Sapto, Elegi Wanita Kedua, Geishaku Karmila.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status