Ungkapan Satria
"Bagas ada rahasia apa kamu dan Anisa? Apa yang kamu sembunyikan dari ibu, hah? Jangan bilang ini tentang warisan itu?" cecar Bu Mutia kala mereka telah tiba dirumah."Bu,,,, ibu tak usah dengarkan wnaita kampungan itu lah, bu. Percayalah sama Bagas. Bagas anak ibu loh,""Betul, bu. Mas Bagas tak mungkin menyembunyikan apa-apa dari wanita itu. Ia hanya belum terima saja akan perpisahannya apalagi sekarang aku yang tengah hamil anak mas Bagas. Pasti dia iri, bu." ujar Linda membela suaminya."Tapi kok kayaknya dia serius banget, Gas? " tanya Wulan yang penasaran juga."Halah paling juga cuma akting mbak. Aku setuju apa kata mbak Linda daripada kata si gendut itu." Ungkap Nana yang kini duduk merebahkan dirinya di sofa."Awas kamu, Gas. Pokoknya desak terus Anisa untuk menyerahkan bagiannya pada kita, enak sekali dia mendapatkan setengah harta dari ayah kalian seorang diri.""Tenang saja, bu. Ibu gak usPerkara Rendang Sesuai permintaan Anisa, kini mereka masih tinggal disekitaran pantai. Satria memesan homestay untuk menginap malam ini. Satria kekeh ingin membayar tempat menginapnya. Mau tak mau Anisa mengalah dan membiarkan Satria yang akan membayarnya. "Terimakasih ya, Sat. Malah merepotkan kamu, padahal bapak mengajak kamu karen kamu yang bisa menyopir tapi kini malah kamu yang bayar sewa penginapan untuk kami." "Apaan sih, Nis. Aku ikhlas, lagian kemarin kamu juga yang sewa hotel untukku, belum lagi makan dan lainnya. Apa salahnya gantian aku yang membayarnya. Gak usah dipermasalahkan, yang penting kamu bahagia dan aku juga ikut bahagia." ucap Satria yang memandang lekat wajah Anisa. Anisa hanya tersenyum, senyum manis yang memikat hati Satria. Walau bagi Satria senyuman itu berbeda dari Anisa yang gendut. Walau berbeda tetapi masih terlihat manis. Ya kini keduanya menikmati malam bersama dipinggir pantai. Sedangkan kedua orangtua A
"Haduh, punggung ini rasanya mau copot, bersih-bersih rumah segini besarnya belum lagi harus masak jiga. Udah kaya babu dirumah sendiri, punya anak perempuan gak ada yang peduli akan nasib ibunya, belum lagi Bagas punya istri baru bukannya mengurangi beban ku tapi malah menambah beban dan pekerjaanku. Dahulu ada Anisa justru aku bisa istirahat dan berpergian, pulang-pulang semuanya sudah rapi, bersih, makanan sudah tersedia kalau perlu apa-apa tinggal bilang dan pasti langsung dikerjakan.Sekarang mau bilang sama siapa? Mana uang yang diberikan Bagas dikurangi lagi, aku sudah gak bisa mengontrol keuangan Bagas gara-gara Linda." gerutu Bu Mutia yang kini merebahkan dirinya di sofa. Sedangkan Wulan dan Nana sudah pergi usai sarapan bersama tadi pagi. Entah kemana perginya Wulan bersama sang anak, setidaknya Bu Mutia bisa lebih cepat membereskan rumah. Rumahnya kini tidak selalu sebersih dahulu saat ada Anisa, namun setidaknya jika masuk kedalam rumah terlihat sediki
Tak henti-hentinya Linda marah-marah malam ini. Ia menyalahkan bu Mutia terus menerus. Bagas sudah berusaha menenangkan sang istri namun usahanya sia-sia belaka. Apalagi mbak Wulan juga ikut dalam membela sang ibu. "Sudahlah sayang. Nanti aku belikan lagi baju baru. Ingat kamu sedang mengandung.. mbak juga lihat disana ada anak mbak sedang makan, apa kalian gak berpikir jauh sebelum bertengkar." "Itu juga karena istrimu, Gas. Kalau tak memancing emosiku jelas gak ada pertengkaran seperti ini. Hanya masalah sepele aja dibikin besar. Beda sama Anisa yang tak pernah membentak dan memberontak." "Apa! Jangan samakan aku dengan orang kampungan itu mbak. Aku lebih berkelas dan berpendidikan." Dengan terpaksa Bagas menarik tangan Linda untuk dibawanya memasuki kamar. Ia sudah pusing menengahi pertengkaran malam ini. Apalagi mbak Wulan juga membawa nama yang dibenci oleh Linda, bisa- bisanya pertengkaran ini tak akan selesai. Tak lupa ia juga meraih pl
# 28 Sudah kepalang tanggung Bu Mutia malu akibat penuturan sang putra. Selama ini ia berkoar-koar lantaran Anisa tak ku jung hamil nyatanya sang putra sendiri yang tak menyentuhnya. "Nak Bagas, itu sama aja berdosa, jika dari awal tak menyukainya mengaoa nak Bagas menikahi Anisa. Setahu ibu Anisa itu wanita yang begitu baik dan tulus. Cantik itu bukan karena fisiknya tapi hatinya. Jaman sekarang wanita cantik makin banyak asal dapat perawatan. Kemarin saja ibu melihat Nisa begitu berubah, dia cantik, menarik dan semakin bersinar. Ibu yakin sebentar lagi ia akan semakin maju. Andai kamu mau memberikan biaya untuk perawatan tentu Anisa akan menjadi wanita yang cantik." "Maaf, bu. Ibu kok seolah menjelekan aku sih. Aku ini istri mas Bagas loh sekarang, dan saya sekarang sedang hamil anaknya. Kalau tak tahu perjalanan cerita kita jangan membandingkan aku dengan mantan istri gendut mas Bagas." sungut Linda yang tak terima. Ia merasa tersindir akan ucap
"Mas... Pak Karyo telfon ini." teriak Linda yang mana Bagas sedang mandi selepas pulang bekerja. Bagas segera keluar hanya mengenakan handuk yang melingkar di pinggangnya. (Halo, pak Karyo. Bagaimana, pak?)(Ya, mas Bagas. Saya sudah menghubungi Anisa tadi pagi, sudah saya jelaskan semaunya dan daya sudah cukup membantu. Maaf sekali, Anisa tak menginginkannya. Ia tetap bersedia jika anak mas Bagas telah lahir sesuai apa diisi surat wasiat itu. Saya mohon maaf sekali) (Apa? Ya, gak bisa begitu dong, pak. Itu kan ada hak saya juga disana. Biasanya Anisa juga akan menyetujuinya jika aku butuh uang. Gak bisa begitu dong pak?) (Maaf mas Bagas, itu keputusan Anisa) Bagas segera mematikan ponselnya dan melemparkannya di ranjang. Ia tertunduk lemas dengan menutup wajah dengan kedua tangannya. "Mas kenapa? Apa Anisa menolak?" "Sepertinya aku harus kesana dan memaksanya untuk menandatangani surat pencairan tabungan
Anisa tak menggubris teriak bahkan makian dari Bagas dan mantan mertuanya. Ia memilih segera makan karena waktu sudah menunjukan pukul setengah delepan pagi. Tak ingin terlambat gara-gara mantan keluarganya yang mencari masalah. "Mantan mertuamu iku loh nduk, matanya ijo aja kalau bahas duit. Takut banget apa gak dikasih nantinya." gerutu Bu Utari."Biarkan saja, bu. Kalau nanti mereka berbuat yang melebihi batas kita lapor polisi." "Bapak ini loh, lihat pipi anak kita aja memerah begitu, cap tangan lagi. Ini sudah tindakan kekerasan sudah kena pasal loh pak. Bisa ini kalau dilaporkan." Anisa yang masih menahan nyeri di pipinya seketika memiliki ide untuk membuat keluarga Bagas jera. Ia segera mengetik pesan, senyum tersungging disudut bibir Anisa yang sedikit berdarah. "Lihat saja, mas. Ini sedikit pembelajaran untukmu," gumam Anisa dalam hati. Usai sarapan Anisa menengok sejenak keluar dan ternyata diluar sudah tak ada man
Linda terancam keguguranPagi ini Anisa memilih ijin untuk tak bekerja. Rasa trauma masih membekas didalam ingatannya. Apalagi rasa pusing masih mendera di kepalanya akibat benturan saat ia tergelincir belum lagi lemparan batu pada punggungnya terasa sakit. Tok... Tok ... Tok ... "Nis, makan dahulu. Ini tadi Satria mampir kasih kamu bubur gudeg." "Ha, Satria kemari, bu? Kapan? Kok Anisa gak tahu?" "Tadi pagi, dia menemui ibu dibelakang. Takut ganggu kamu istirahat, sekalian mau berangkat narik katanya." "Owh, nanti aku hubungi Satria kalai begitu, bu. Makasih ya bu, sudah dianterin masuk makanannya. Aku bisa kok makan dibelakang." "Kamu lagi sakit, sudah gek habiskan terus minum obat dari bu bidan. Mau ibu rebusin air panas untuk mandi?" "Jangan.... Anisa mandi air dingin saja bu, makin gerah nanti." "Ya sudah kalau begitu. Ibu keluar dahulu, segera habiskan." "Iya, bu." Sete
Bagas dipenjaraTok... Tok ... Tok ... "Selamat siang bapak dan ibu." "Si.. siang pak. Ada apa ya pak?" jawab Bu Mutia yang sedang menunggu Linda dirumah sakit."Maaf bu, saya mencari bapak Bagas." "Ya Pak, saya Bagas. Ada apa ya?" ucap Bagas yang ada dibelakang sang ibu."Bapak bisa ikut saya ke kantor. Ini surat penangkapannya." "A... Apa? Saya gak melakukan apa-apa pak? Bapak salah orang mungkin," sergah Bagas, ia memnag merasa tak melakukan kesalahan apa-apa. "Bapak bisa jelaskan di kantor nanti." Bagas segera digiring oleh kedua polisi untuk segera ke kantor dan memberikan keterangan. "Mas.... Pak! Jangan bawa suami saya. Suami saya gak bersalah, bapak mungkin salah orang." pekik Linda yang kini sudah menangis melihat Bagas dibawa polisi. "Bu, bagaimana ini? Kenapa mas Bagas ditangkap polisi?" "Ibu juga gak tahu, perasaan Bagas anak baik-