Share

Bab 3: Tuduhan Pembunuhan

Rasa panas dan kebas menjalar di pipi kiriku. Bahkan, tubuh ini sedikit terhuyung ke samping pasca mendapat tamparan dari ibunya Alina.

Ada apa dengan beliau? Apa yang membuat dia semarah ini, bahkan sampai menamparku.

"Apa-apaan kamu Sarti? Kenapa nampar anak saya?" tanya Mamah dengan nada tinggi.

Bu Sarti tidak menjawab pertanyaan Mamah, dia tetap menatapku sengit. Pandanganku memburam menatapnya, menandakan air mata telah menggenggang di pelupuk ini.

"Kemarikan cucu saya!" Bu Sarti langsung menyambar Alisa di gendonganku.

"Huwaa ...." Anak itu langsung menangis ketika digendong oleh neneknya sendiri. "Tantan, Tantan, Tantan." Tangan Alisa berusaha meraihku. Bahkan, dia kelihatan takut dengan neneknya sendiri.

Walaupun takut, tetapi aku mencoba merebut paksa Alisa dari gendongan neneknya. Bu Sarti geram dengan ulahku. Matanya memelotot marah.

"Setelah membuat saya kehilangan anak, kamu juga ingin membuatku kehilangan cucu!" Mata wanita itu penuh kilat kemarahan.

"Maksud Bu Sarti apa?" Alisku bertaut.

Kenapa aku merasa ibunya Alina menuduhku yang melenyapkan anaknya. Padahal, baik dia ataupun aku, sama-sama merasakan duka kehilangan. Aku bukan saja menganggap Alina sebagai sahabat, tetapi juga sudah menganggap Alina sebagai saudaraku sendiri. Bagaimana bisa mereka berpikir aku yang melenyapkan Alina hanya karena alasan aku yang pertama kali melihat jasadnya yang bersimbah darah.

"Kalau bukan gara-gara kamu ...."

"Sudah, sudah, Bu. Tidak baik marah-marah di depan mayat Alina dan para pelayat. Nanti saja kita bahas hal ini." Belum sempat Bu Sarti mengeluarkan semua unek-uneknya, Pak Arto---suaminya datang. Meminta dia untuk berhenti.

"Bagaimana bisa Ibu berhenti, Pak? Sedangkan gara-gara anak tidak tau diri ini, putri kita meninggal!" tangis Bu Sarti di dada suaminya.

Alisku bingung mendengar ucapan Bu Sarti yang secara terang-terangan menuduhku. "Bu-bukan aku pelakunya ...."

"Diam kamu pembunuh!" semburnya kepadaku.

"Heh, Sarti, jangan sembarangan memfitnah anak saya. Ingat, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan." Mamah angkat suara. Sudah sedari tadi dia berusaha bungkam karena menghormati tuan rumah.

"Fitnah? Kamu bilang fitnah?" Tatapan Bu Sarti nyalang menatap Mamah. "Gara-gara anakmu ini ...."

"Sudah, Bu. Mending Ibu ke kamar saja. Istirahat."

Pak Arto menarik lengan istrinya, membawa sang istri ke kamar. Walaupun menurut diseret suaminya, tetapi Bu Sarti tetap melemparkan tatapan sengit kepadaku sampai tubuh ini terhalang oleh dinding.

Dengan langkah gontai, aku mendekat ke jasad kaku Alina. Tatapan para pelayat menatapku aneh. Mungkin mereka percaya apa yang dilontarkan dengan Bu Sarti tadi.

Air mataku tumpah begitu saja menatap jasad Alina yang wajahnya tertutup kain putih transparan. Bekas luka bacok di keningnya masih kentara jelas terlihat. Hatiku rasanya tercubit kala membayangkan hal menyakitkan apa saja yang telah ia alami semalam.

"Maaf, aku tidak bisa menolongmu di malam itu. Tapi, aku akan berusaha mencari tau siapa yang telah melenyapkanmu dengan sadis, Lin." Aku mengusap puncak kepala Alina sambil berderai air mata. Dadaku rasanya sesak sekali.

"Kamu masih di sini? Sana pulang! Saya tidak sudi jasad anakku disentuh oleh pembunuh seperti kamu!" Bu Sarti kembali keluar dari kamarnya dan berteriak menuduhku lagi.

Aku tersentak kaget mendengar suaranya yang begitu besar.

"Yuk, kita pulang saja, Tan." Mamah menggenggam tanganku.

"Kemarikan cucu saya, jangan kamu bawa pulang!"

Bu Sarti hendak menarik lagi Alisa dari gendonganku. Namun, anak itu langsung menangis keras, berusaha turun dari gendongan neneknya dan meraih tanganku. Aku jadi kasihan melihatnya.

"Sudah, berikan saja Alisa ke Tania, Bu. Kasian kalau dia nangis terus." Pak Arto membela.

Rahang Bu Sarti mengeras. Dia mengembalikan paksa Alisa kepadaku. "Kamu sudah berhasil membuat anak dan cucu saya menjauh, kamu pasti akan mendapat balasan!" ucapnya pelan dan penuh ancaman.

Aku memilih pergi dari rumah Alina dengan perasaan sedih. Sebagai sahabat, aku sangat ingin sekali menemani Alina sampai ke peristirahatan terakhirnya. Namun, jika aku terus berada di sana, pasti suasana akan sangat panas. Aku tidak mengerti kenapa Bu Sarti menuduhku sebagai pembunuh Alina. Membayangkannya saja aku tidak berani, apalagi melakukannya.

Di pekarangan rumah, kami berpapasan dengan Fadli. Dia baru saja datang. Polisi sombong tadi juga bersama dengannya. Polisi itu kembali melemparkan tatapan tajam kepadaku.

"Aku mohon sama kamu, Tan, mohon jaga dulu Alina, yah. Aku belum bisa jaga dia, harus mengurus banyak keperluan tentang kematian Alina," ucap Fadli penuh harap.

"Baik." Aku menyahut singkat seraya menunduk. Tidak tahan dengan tatapan polisi itu yang berada di samping Fadli. Tatapannya kepadaku terlihat begitu mengintimidasi.

Setelah mendengar jawabanku, Fadli bergegas masuk ke dalam rumah. Namun, polisi itu masih diam di tempatnya berdiri. Dia memerhatikan Alisa yang ada di gendonganku.

"Apa kau tidak berniat menjaga ayah dari anak kecil itu juga?" Tiba-tiba saja polisi itu melontarkan pertanyaan yang terdengar konyol.

"Jangan asal bicara!" ketusku menatapnya tajam. Namun, malah timbul seringai di bibirnya, dia terlihat mengejekku.

"Jaga bicara Anda pada anak saya, Pak Polisi!" ujar Mamah memperingati.

"Haha, ok, ok!" Polisi itu malah tertawa sembari mengangkat tangan. Namun, tawanya terlihat seperti seringai.

Mamah menarik lenganku agar segera pergi meninggalkan pekarangan rumah orang tua Alina. Meninggalkan petugas polisi muda itu yang mengejarku dengan tatapan elangnya. Aku segera membuang muka.

****

Malam telah tiba, kembali hujan turun deras disertai angin kencang. Seharian ini aku hanya di rumah. Malas keluar rumah, orang-orang selalu melemparkan tatapan curiga kepadaku usai mendengar perkataan Bu Sarti tadi. Padahal, rencananya aku ingin melihat pemakaman Alina, tetapi kuurungkan.

"Apa mungkin benar yang membunuh Alina itu si Tania? Mereka, 'kan, sahabatan, masa iya makan teman sendiri?" Sempat telingaku menangkap Bu Astuti menghibah seperti itu tadi sore. Membuatku merasa terpojok oleh hal ini.

Aku baru saja menidurkan Alisa. Dia masih bersamaku. Dia akan selalu menangis jika dengan orang lain, termasuk ayahnya sendiri. Kurebahkan tubuh di samping balita manis itu. Mencoba menutup mata dan meringankan perasaan. Rasanya dadaku begitu sesak dengan kematian Alina. Selain terpukul dengan kematiannya, aku juga sangat terpukul atas fitnah yang sebagai pelenyap sahabat sendiri.

"Siapa sebenarnya yang melenyapkan Alina dengan sadis?" gumamku bertanya-tanya pada plafon.

Tiba-tiba terdengar ketukan keras pada jendela kamar yang langsung membuat lamunanku terbuyar. Aku bingung siapa yang mengetuk. Pasalnya tidak mungkin ada orang yang keluar saat hujan deras disertai angin kencang begini.

Ketukan itu makin cepat dan keras. Membuatku terpaksa bangun. Aku menatap pintu jendela yang bergoyang akibat ketukan keras itu.

"Siapa?" tanyaku.

Kaki perlahan turun dari ranjang. Berjalan pelan ke jendela. "Siapa?" Lagi, aku bertanya.

"Tania ...." Sebuah suara melengking dari luar.

Aku langsung mematung di tempat disusul dengan keringat dingin. Itu seperti suara Alina. "Si-siapa? Ja-jangan main-main, yah! Aku enggak suka!"

'Brak!'

Pintu jendela tiba-tiba terbuka paksa. Bersamaan dengan itu, petir berkilat terang menyinari sebuah sosok berpakaian gaun putih berdarah di luar sana. Ia melemparkan tatapan tajam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status