Share

Part 6. Keputusan Sari

Flashback

 

“Bang, kamu yakin mamamu akan menerimaku. Aku takut dan tak siap menerima penolakannya.”

 

“Jangan khawatir, kan ada aku! Aku akan membela dan menjagamu,” jawab Heru antusias sambil menepuk dadanya. Heru sudah tak sabar ingin mengenalkan Sari pada ibunya. Heru sudah kebelet nikah.

 

“Tapi janji ya, apa pun yang terjadi, kamu tidak boleh meninggalkanku. Kamu udah janji untuk tetap bersama.”

 

“Iya, aku janji,” ucap Heru sambil mengaitkan jari kelingkingnya.

 

Sari dan Heru tersenyum bahagia. Mereka segera melangkah masuk ke rumah. Di sana mama dan papa Heru telah menunggu. 

 

“Assalamualaikum,” ucap mereka serentak. Sari kembali mencengkeram tangan Heru, perasannya tidak enak. Sari mundur berbalik ke belakang, tapi dengan sigap Heru menahan langkahnya.

 

“Ayo lah Sari...! Jangan biarkan rasa takut mengalahkanmu. Percaya sama aku, aku akan melindungimu, jika mama tidak menyetujuinya. Ayo...! Coba dulu, siapa tau kenyataannya di luar perkiraanmu.

 

Akhirnya Sari mengikuti langkah Heru kembali masuk ke rumah dengan perasaan  tenang.

 

“Waalaikumsalam.”

 

“Ma ... Pa ... Kenalin ini Sari, calon istriku,” jelas Heru pada papa dan mamanya.

Sri memperhatikan tubuh Sari dari kepala sampai kaki, tak ada yang istimewa di matanya. 

 

“Gimana, Ma. Mama setuju-kan jika aku menikah dengannya,” ujar Heru tersenyum bahagia.

 

“Tidak,” jawab Sri pendek.

 

Sari dan Heru saling pandang, “Setuju ga setuju, aku akan tetap menikahi Sari,” ucap Heru lantang. Kemudian Heru menarik tangan Sari untuk segera pergi dari sana.

 

Sejak saat itu, Sari tidak bisa hidup 

berdampingan dengan Sri. Setiap kali bertemu hanya penyiksaan yang Sari terima. Sekarang papa sudah di panggil yang maha kuasa, bisa jadi Heru mengajak Sri dan Dela untuk tinggal bersama mereka. 

 

“Bunda ... Papa telah tiada, gimana kalau mama dan Dela ikut tinggal bersama kita. Kamu setuju ga.”

 

“Yah ...! Kamu tau sendiri kan! Kalau mama,  dari dulu tidak menyukaiku, bagaimana aku bisa tinggal satu rumah dengannya.”

 

“Ayah tau! Bun, dari dulu mama tidak suka padamu, ini karena terpaksa aja. Siapa tau, setelah tinggal bersama, mama berubah. Allah maha pembolak balik hati. Banyak berdoa dan meminta kepada Allah.”

 

“Bunda ragu, Yah.”

 

“Bunda ... ! Ayah harap kamu mau mempertimbangkan kembali, siapa yang akan menjaga dan melindungi mama dan Dela. Apa lagi rumah dan segala isinya telah di sita pihak bank, mama sama Dela akan tinggal di mana. Jadi boleh ya, mereka ikut tinggal bersama kita,” ucap Heru dengan  perasaan cemas dan penuh harap. Cuman ini satu-satunya jalan yang muncul di kepalanya.

 

“Beban hidup kita makin berat dong, sementara ayah tidak bekerja. Dari mana kita bisa membiayai segala kebutuhan mereka?”

 

“Bunda jangan khawatir, ayah akan berusaha lebih keras,” jawab Heru antusias.

 

“Ya sudah ...! Mama dan Dela boleh ikut tinggal  bersama kita.” Jawab Sari berbisik, berharap suaminya tidak mendengar ucapannya barusan.

 

“Benar! Bun. Alhamdulillah. Terima kasih atas pengertian bunda.” Betapa Heru bahagia dan terharu mendengar keputusan Sari, bagaimanapun ia mengerti sulit bagi Sari untuk bisa menyatu dengan mama, bagaikan air dan minyak. Tapi tidak ada yang tidak mungkin, kalau Allah sudah berkehendak.

 

Sejak saat itu, mama dan adik iparnya tinggal bersama mereka. Sejak saat itu juga  mertuanya mulai menyiksa batinnya. Harapan mertua akan berubah sirna seketika, yang ada malah menunjukkan kekuatannya sebagai mertua.

 

Apa yang ditakutinya, benar-benar jadi kenyataan.

 

“Sari ...! Cuci in baju mama dan Dela,” titah mama lantang sambil membuang baju kotor miliknya dan Dela tepat di muka Sari.

 

Sari yang tidak siap mendapat serangan mendadak dari mamanya itu terdorong dan jatuh ke lantai bersamaan dengan baju kotor tepat mengenai wajah beningnya. Sudah pasti aroma pakaian bekas itu, sungguh mengganggu penciuman Sari.

 

Dengan sempoyongan Sari segera bangun, kemudian meraup semua baju kotor itu dengan kedua tangannya. Tanpa menunggu lama, Sari segera membawanya ke kamar mandi dan mencucinya. 

 

Tetesan air di mata mengalir bersamaan luruhnya kotoran dibaju. Entah sampai kapan deritanya ini akan  berakhir. Ujian datang bertubi-tubi tiada habisnya. Allah Sedang mengujinya, belum lama suaminya di PHK, sekarang mama menyiksanya. Cukup sudah penderitaan Sari.

 

Sari kembali terisak, tak sanggup rasanya bertahan lebih lama.

 

“Sari ... Ngapain aja sih di dalam. Cuci baju segitu aja lama amat.” Teriak mama di luar,  menyadarkan Sari dari lamunan.

 

“Iya, Ma. Ini udah selesai, kok,” jawab Sari, tak lama berselang Sari keluar dari kamar mandi.

 

“Masakin nasi goreng untuk Dela. Sekarang ...!  Ga pake lama, titah Sri garang, sekalian kamu anter ke kamarnya.

 

“Baik,  Ma.” Sari pun pergi ke dapur. Di dapur kembali air matanya luruh membasahi pipi.

 

“Kenapa menangis, Bun” tanya Heru yang datang secara tiba-tiba. 

 

Sari kaget dan tersentak, lalu segera dihapusnya air mata yang membanjiri pipinya.

 

“Tidak, kok Yah. Ini gara-gara bawang,” jawab Sari beralasan.

 

“Oh ya sudah, mana kopi buat Ayah,” tanya Heru sambil tersenyum.

 

**

 

Pagi itu, Sari berkutat di dapur. Memasak gulai nangka kesukaan mama mertua. Sari mempersiapkan segala bahan yang diperlukan. Setelah beres, Sari menuangkannya ke mangkok, lalu menatanya di meja makan.

 

Saat makan siang, semua anggota keluarga telah kumpul di ruang makan. Tiba-tiba ...  “Wueeeeek ... ! Fcuih ...” Sri melepehkan makanan yang baru masuk ke mulutnya. 

 

Heru, Dela dan Sari memandang mama dengan mimik heran.

 

“Kenapa? Ma,” tanya mereka kompak.

 

“Minum dulu! Ma.” ucap Dela sambil menyodorkan segelas air ke tangan Sri.

 

“Sari ... Kenapa pahit gini rasanya. Kamu campur racun ya,” sentak Sri melotot ke arah Sari.

 

Sari terbelalak mendengar tuduhan mertuanya. Sakit ulu hatinya, bukan pujian yang ia dapatkan tapi tuduhan yang ia terima.

 

“Ti- tidak  Ma,” jawab Sari tergagap.

 

“Bohong ...! ” Teriak Sri sambil terus saja meludah ke tisyu.

 

“Nih ...! Kamu rasakan sendiri,” ucap Sri lalu menyiramkan semangkok gulai nangka ke kepala Sari.

 

“Heru yang melihat perbuatan mamanya tidak bisa berbuat apa-apa, melongo dan tak tau harus melakukan apa. Sungguh terlalu ...

Sari berlari ke kamar mandi, menyalakan shower,  dengan air mata tak berhenti mengalir. 

 

“Sudah cukup penyiksaan ini, Ma...! Aku akan balas perbuatan kalian lebih kejam dari ini. Kalian tunggu saja pembalasanku,” jerit Sari dalam hati.

 

“Kalian tunggu saja, satu persatu perbuatan kalian akan kalian tuai.”

 

“Tunggulah pembalasanku ...! Kalian tidak akan menduga, bahwa aku pun bisa berlaku kasar. Kalian yang mengajariku. Kalian harus tahu, semut juga akan menggigit jika terinjak. Aku bagaikan semut yang akan menggigit kalian tanpa ampun.” 

 

Sari terus saja mengeluarkan kekesalan dan kemarahan.  Dinginnya air tak mampu meredam emosi yang membakar dadanya.

 

“Lidahku lebih tajam dari sembilu. Kalian tunggu pembalasanku.”

 

Malam baru saja menjelang, kejadian siang tadi masih saja terbayang-bayang di pelupuk mata. Mata enggan terpejam, yang ada kesedihan masih membayangi.

Sari terisak-isak dalam diam.

 

“Kamu kenapa, Bun? Kok nangis” Heru terbangun. Mungkin mendengar isak tangisku.

 

"Yah ...! Rasanya bunda sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan mama juga Dela. Kamu tolong bilangin mama jangan menyiksaku terus. Lama-lama bunda bisa gila, Yah,” ujar Sari sambil terus terisak sedih.

 

“Sabar! Bunda, ayah ga tega bilang seperti itu pada mama. Kita tunggu waktu yang tepat ya,  bunda bersabar aja dulu. Sekarang sudah malam, ayo tidur,”  ajak Heru pada Sari agar segera istirahat.

 

 

Next...

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status