Share

Part 5. Suamimu Perisaimu

Terima kasih seudah berkenan mampir, semoga suka. Selamat membaca. 

 

Walaupun sekarang Heru tidak punya penghasilan, Sari masih tetap melayani segala kebutuhan Heru.  Ia tidak mau di cap istri durhaka. Selama ini suaminya cukup bertanggung jawab dalam memenuhi segala kebutuhan keluarga. Hanya semenjak Heru di PHK saja, tanggung jawabnya jadi berkurang. Hanya tanggung jawab nafkah lahir yang tidak ia berikan. Sementara yang lain masih dipenuhi oleh Heru.

 

Sari ingat nasehat ibunya, bahwa tugas istri itu cuman 1, yaitu taat kepada suami. Walaupun suami itu tidak memberikan nafkah lahir, tidak ada alasan bagi istri untuk tidak menaatinya. Masalah nafkah, biarlah jadi urusannya sama Allah. “Ingat! Nak... Jangan sekali-kali kamu meminta cerai, karena suami itu adalah perisaimu nanti di akhirat, dia yang akan menanggung semua dosamu.”

 

Makanya Sari berusaha sabar dan menerima keadaan ini dengan ikhlas, meskipun suaminya tidak lagi menafkahinya.

 

Sari segera membuka kulkas, terlihat olehnya udang yang besar, sungguh menerbitkan selera. Segera saja Sari mengeluarkan udang dari kulkas agar batu es yang menempel bisa cair. Sambil menunggu udang mencair... maksudnya esnya mencair, Sari meraih cabe, bawang dan tomat. Kemudian menggilingnya. Tak lama berkutat di dapur udang samba lado akhirnya matang. Kemudian Sari  menghidangkan di meja, tak lupa tumis kangkung pun turut serta. Aroma udang samba lado buatan Sari menguar ke seantero ruangan. 

 

Tak lupa ia memanggil Heru untuk sarapan. Sari segera menyendok nasi dari magic com, lalu menuangkannya ke piring.  Sari menikmati hasil olahannya dengan peluh membanjiri keningnya. Nikmat banget setelah lelah bekerja. 

 

Heru pun datang, bersama benalu tak tau malu itu ke meja makan. Terbit selera makan di wajah Dela, melihat udang terpampang di depan mata.  Tanpa sungkan Dela pun mengambil piring, nasi dan udang. Belum juga tangannya sampai ke piring udang, Sari menjauhkan udang itu dari jangkauan tangan Dela. 

 

Dela memberengut kesal, “Ma, lihat Mbak Sari tuh. Aku mau makan, piring udang malah dijauhkan. Emang aku ga boleh makan, Ma!” tanya Dela, sambil menatap udang penuh nafsu. Tangannya pun berusaha menjangkau piring udang itu, tapi Sari selalu menjauhkannya.

 

“Kamu mau makan ini,” tanya Sari dengan mata mengarah ke piring udang yang ada di tangannya.

 

“Iya...!” jawab Dela, dengan raut muka masam melihat kakak iparnya ini.

 

“Ada syaratnya, jawab dulu pertanyaanku. Siapa yang menghabiskan gulai tunjang yang kumasak kemaren.”

 

“Apaan sih!  Bun, kalau mau makan ya tinggal makan, pakai syarat segala,” ujar Heru menengahi.

 

“Ga bisa ... Yah, bunda penasaran aja. Kalau ga mau jawab, ya sudah, jangan harap kalian bisa makan udang yang super enak ini.” Balas Sari memutar-mutar piring itu di meja.

Mama dan Dela saling menatap Sambil mengedikkan mata. “Oke, kami akan menjawabnya, yang menghabiskan gulai tunjang itu kami berdua,” jawab mereka kompak. 

 

“Apa...! Jadi kalian yang menghabiskan gulai tunjang itu,” seru Heru kaget. “ Bagaimana mungkin kalian setega itu, sudah tidak ikut memasak, tapi justru menghabiskannya. Kalian benar-benar tidak punya hati, pantesan Sari semarah ini pada kalian,” lanjut Heru dengan rona muka memerah menahan amarah. Pantes saja akhir-akhir ini Sari meradang. Siapa pun yang ada di posisi Sari pasti akan melakukan hal yang sama. Sudah capek masak dan kerja. Ketika mau makan lauknya sudah habis.

 

“Eh ... Heru! Ngapaian kamu bela wanita kampung ini. Kamu mau jadi anak durhaka... Hah...!”

 

“Bukan gitu, Ma. Masak kalian tidak berfikir sedikit pun, yang masak dan kerja, Sari. Lalu kenapa kalian yang habiskan. Emang apa hak kalian.

 

“Emang kami pikirin,” ledek mama dan Dela sambil mengibaskan tangan ke muka Heru. Haru hanya bisa mengurut dada, melihat perlakuan ibu dan adiknya pada Sari.

 

“Eh ... Sari! Kami sudah jawab kan! Berarti kami bisa makan sekarang?” ujar mereka memelas, sambil meremas perut yang mulai berteriak minta diisi. Huh ... benar-benar parasit kalian, tidak punya rasa malu, mungkin urat malunya sudah dicabut sama Allah.

 

“Baiklah ...! Ini ambil,” ucap Sari sambil menyodorkan piring itu ke tangan Dela.

Dela segera mengulurkan tangannya untuk mengambil udang.  Sebelum tangan Dela menyentuh piring, piring berisi udang jatuh tanpa sengaja terlepas dari tangan Sari.

 

Prangk...

 

“Ops ... maaf! Ga sengaja,” ucap Sari merasa menyesal, telah menjatuhkan udang itu.

Heru yang melihat perbuatan Sari pun meradang.  “Kenapa dibuang, Bun ...! Sayang banget udangnya jadi kotor.”

 

“Cocok untuk kalian yang berjiwa kotor, silakan nikmati,” ucap Sari, kemudian berlalu meninggalkan mereka dengan perasaan puas, karena ia telah berhasil membalaskan sakit hatinya.

 

Sri dan Dela terperangah melihat udang yang tergeletak di lantai. Mereka sudah tak sabaran menunggu dari tadi, dengan banyak drama, bahkan sampai berkata jujur hanya untuk sepiring udang. Tapi sekarang udang itu sudah kotor bercampur dengan serpihan kaca. Sia-sia usaha mereka menunggu, untuk mencicipi udang yang sungguh menggiurkan itu. Apa lagi dalam keadaan perut yang keroncongan. Oh nasib....nasib...!

 

Sementara Sari di kamar, menangis sesengukan. Tak sampai hati melakukan semua itu pada mama dan Dela. Terlebih udang itu bisa dinikmati sampai siang nanti. Sekarang perbuatan mubazirnya itu sungguh disesalinya. Tapi bila ingat perlakuan mereka selama ini. Sungguh, lebih baik udang itu jadi santapan semut, dari pada mereka yang nikmati, Sari tak rela hasil keringatnya dinikmati para benalu itu.

 

 

Next...

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status