Share

Part 4. Tuduhan Palsu

Subscribe dan bintang 5 dong😊

 

"Eh ... Sari! Jangan menuduh sembarangan. Bisa jadi kamu membelinya dalam keadaan tak terikat kencang,” sela Sri marah, tersinggung dengan tuduhan Sari.

 

Tentu saja Sari makin meradang mendapat sangkalan dari mertuanya. Sudah jelas mereka yang bersalah, masih saja berkelit, pasti nanti mereka minta bukti. 

 

“Aku yakin banget, sudah periksa kondisi barang itu sebelum aku beli, aku tidak akan seceroboh itu,” terang Sari dengan seyakin-yakinnya. "Aku tidak pernah bertindak gegabah, semuanya pasti sudah aku perhitungkan."

 

“Apa buktinya, bila kami yang memakannya, jangan menuduh sembarangan.” Tutur Dela tak mau kalah membela kehormatan keluarga, di mata kakak ipar yang  menuduh mereka seenak jidatnya.

 

Tuh! Benarkan! Mereka pasti mengelak karena tidak ada bukti. 

 

“Ini apa,” ucap Sari sambil menunjukkan mangkok bekas yang masih menyisakan remah-remah yang sama persis dengan makanan yang alot itu. Untung tadi, Sari  tak sengaja melihat mangkok itu tergeletak di meja. Sepertinya, semalam, mereka lupa menyimpan mangkok itu ke belakang.

 

Mama dan Dela terdiam tak bisa berkelit lagi.

Perbuatan mereka telah diketahui.

 

“Makanya pakai ot*k kalian. Kalau mau membuka makanan yang cepat alot, mbok ya tutup lagi dengan rapat.  Aku  tidak akan melarang kalian untuk mencicipinya, tapi harus tau situasi. Sekarang berapa kerugian yang harus ku tanggung, kalian mikir ga. Dasar benalu yang bisanya hanya menjadi beban saja." Sumpah serapah keluar dari mulut Sari. Hilang sudah rasa hormatnya sebagai menantu keluarga ini.

 

“Jangan lebay begitu, Sari ...! Kan bisa kamu goreng lagi,” seru mama mertua dengan mimik emosi. Apa lagi melihat Sari bicara dengannya,  tidak memandang adap dan etika. Ke mana akhlak dan sopan santunnya ketika bicara, apa lagi bicara terhadap orang yang lebih tua. Apa lagi statusnya kini sebagai mertua.

 

“Goreng lagi aja, sama Mama. Aku mah ogah, tambah beban kerjaan aja,” jawab Sari menggebu-gebu. Lalu Sari  mendorong plastik makanan itu ke arah mama mertuanya.

 

“Dasar kau menantu kurang ajar, lempeng amat mulutmu menyuruh-nyuruh mama. Lihat Heru, istri mandulmu ini semakin kurang ajar aja sekarang. Mending kau ceraikan saja. Masih banyak perempuan di luar sana yang antre menunggu pinanganmu.” Bu Sri lalu mengambil kantong makanan itu, kemudian melemparkan kembali ke arah Sari. 

 

Makanan yang dilempar kencang itu tentu saja jatuh berserakan. Sari rasanya ingin melempar balik ke mertuanya, tapi urung dilakukannya. Ia justru lebih tertarik membalas ucapan mandul dari mama mertuanya. 

 

Emosinya sampai naik ke ubun-ubun, setelah mendengarkan kata mandul yang diucapkan Sri, makin panas dan memerah kupingnya. Ia tidak bisa terima, dituduh mandul. Bukan kesalahannya, kenapa sampai saat ini ia belum hamil juga. Siapa sih yang tidak menginginkan anak dalam pernikahannya, tentu semua wanita menginginkan itu. Begitu juga dengannya, sangat menginginkan keturunan dalam hidupnya. Tapi kembali lagi pada takdir dan kuasa Allah, jika Allah belum berkehendak dia hamil, apa yang bisa ia lakukan, selain menerima dengan lapang dada.

 

“Anakmu itu yang mandul, enak aja mengatai aku yang mandul. Bisanya hanya menyalahkan orang saja,” terang Sari dengan amarah yang meluap-luap dalam dadanya.

 

“Percaya diri sekali kamu,  mana buktinya jika memang Heru yang mandul. ingat!! Keturunan kami tidak ada yang mandul." Sri kembali meradang, setelah mendengar pembelaan yang diucapkan Sari.

 

“Jika memang aku yang mandul, apa buktinya,” Saripun menagih bukti atas tuduhan mandul yang dilontarkan Sri. 

 

“Kita sama-sama tidak punya bukti, jadi jangan asal nuduh,” lontar Sri sambil memandang sinis ke arah Sari.

 

“Aku tidak nuduh sembarangan, toh buktinya mama yang nyerang duluan dengan kata mandul.” Balas Sari lantang. 

 

Heru yang mendengar perdebatan antara mama dan istrinya, datang melerai.

 

“Sudah Bunda, Mama, jangan diteruskan. Malu sama tetangga,” ucap Heru menengahi pertengkaran antara istri dan ibunya yang tiada habisnya.

 

Sebagai laki-laki yang notabenenya sebagai kepala kaluarga, harusnya Heru bisa bersikap lebih tegas. Tapi ia bagai dihadapi makan buah simalakama, serba salah. Siapa yang harus dituruti lebih dulu. Dua-duanya punya arti khusus dalam hatinya.

 

**

 

Setelah melaksanakan sholat subuh, Sari meraih keranjang pakaian yang tergeletak di sudut kamar. Kesibukannya membungkus snack, membuat pakaiannya menggunung untuk di setrika. 

 

Beberapa kali ia meminta bantuan Dela, tapi Dela selalu beralasan, "Sibuklah, sedang mengerjakan tugaslah, ngantuklah dan capeklah." Akhirnya mau tak mau Sari juga yang menyelesaikan sendiri.

 

Biasanya Sari bangun lebih awal untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah, mulai dari mencuci piring, masak nasi, cuci baju dan masak untuk seluruh anggota  keluarga. Saat mereka bangun, semua sudah rapi. Makanan terhidang di meja. Pakaian pun telah tergantung rapi di tali jemuran. Namun mereka tiada habisnya menyuruh ini dan itu, membuat fisiknya makin tersiksa dengan beban kerjaan yang tiada henti datang menyapanya.

Semenjak itu, Sari tidak mau lagi diperbudak mereka. Dengan berbagai cara Sari selalu berkelit, seolah-olah mengerjakannya, padahal tidak. 

 

Tanpa menunda lagi, Sari bergegas mengambil alat setrikaan yang biasa ia letakkan di bawah kolong tempat tidur. Biasanya, Sari menyetrika pakaian di ruang keluarga. Namun, semenjak benalu itu datang ke rumah ini, ia tidak mau lagi melakukannya di sana. 

 

Sebelum Sari memulai menyetrika, ia memilah dan memisahkan bajunya dan baju suaminya. Pakaian mama mertua dan Dela, ia biarkan tergeletak di keranjang. Biarlah baju itu mereka sendiri yang akan menggosoknya.

 

Di tengah asyik setrika, Sari mendengar  teriakan dari mama. “Sari ...! baju mama yang kemaren kamu cuci ada, di mana?” teriak Sri dari luar. 

 

“Ada dipojok dapur, Ma” jawab Sari tanpa menghentikan aktivitasnya.

Hening sejenak, Sari melanjutkan kegiatannya.

 

“Sari ... ! Ternyata baju mama, belum kamu cuci ya,” teriak Sri nyaring. 

 

“Maaf, Ma. Belum sempat kemaren. Kerjaanku banyak sekali."

 

“Ya udah! kamu cuci sekarang...!”

 

“Tidak bisa, Ma. Sekarang aku sedang setrika," jawab Sari dari dalam kamar. “Suruh Dela aja, Ma,” usul Sari dalam kamar tanpa berniat meninggalkan pekerjaannya. Tangannya dengan lincah maju mundur, menyelesaikan tugasnya.

 

“Ga mau, aku banyak tugas,” jawab Dela,  ketika Sari menyebutkan namanya.

 

“Ya sudah... selesai setrika,  kamu cuci ya,” pinta  Bu Sri lembut bagaikan kapas. "Mama meletakkan di depan kamar mandi ya, supaya kamu tidak lupa lagi." Sari diam bergeming, namun tangan lincahnya maju mundur meneruskan setrikaan. “Dasar mertua aneh, giliran ada maunya aja  bicaranya lembut bagaikan sutra. Andai dia baik dari dulu, aku pun akan senang hati mengerjakannya. Emang gue babu, yang bisa di suruh-suruh, harusnya dia tau diri, numpang aja belagu,” Sari terus saja merepet dan sumpah serapah tak henti keluar dari mulutnya.

 

"Iya Ma, nanti aku kerjakan." Sahutnya.

 

Selesai menggosok pakaian, Sari segera menuju dapur. Dapur dan kamar mandi memang letaknya berdekatan. 

 

Di depan pintu kamar mandi, Sari melihat pakaian mama mertua teronggok manis. Tapi Sari tidak berniat mengerjakan permintaan mama mertua, tapi justru ia menyumpalkan ke dalam kantong plastik dan meletakkan dekat mesin cuci.

 

Jam menunjukkan pukul 07.30. Berarti Sari menghabiskan waktu untuk menggosok selama 2 jam lebih. Sekarang lapar menyerangnya. Setelah meregangkan otot tangannya, Sari membuka kulkas,  melihat bahan apa yang bisa ia masak untuk makan sekeluarga. Eit...! Tunggu dulu, untuk makannya dan Heru maksudnya. Benalu yang berdua itu, biarin mereka urus sendiri perutnya.

 

Setelah memperhatikan stok bahan di kulkas, Sari segera mengeluarkan, lalu menyiangi bahan itu, kemudian mengolahnya.

 

Tak lama berkutat dengan bahan makanan, akhirnya makanan siap di santap. Tiada lelahnya Sari bekerja, mulai dari menyetrika, kemudian masak. Sementara dua perempuan yang berada di rumah ini tak punya rasa peduli dan empati. Miris memang menghadapi kenyataan hidupnya.

 

Baru saja Sari selesai menata makanan di meja, kedua perempuan itu datang mendekat. Tadi entah di mana mereka berdua, giliran sudah matang tiba-tiba muncul tanpa tahu rasa malu. 

 

"Alhamdulillah akhirnya matang juga, ayo Dela kita sarapan sekarang," ajak perempuan paruh baya itu antusias.  Rasa lapar dari tadi telah menyerangnya, tapi makanan belum tersaji di meja makan. 

 

"Maaf Ma, aku masak hanya sedikit. Jika mama mau makan, silakan masak terlebih dahulu. Ini hanya cukup untukku dan bang Heru." Ucap Sari pura-pura menyesal.

 

"Apa maksudmu, kamu tidak lebihkan untuk mama dan Dela. Lalu kami harus makan apa? Mana perut mama sudah keroncongan dari tadi."

 

"Gampang Ma, tinggal masak. Apa lagi mama bisa masak berdua dengan Dela. Pasti cepat selesai. Jangan berdebat lagi. Langsung masak saja " usul Sari tersenyum kecil sembari menyeringai.

 

"Kamu ya, dasar menantu tak punya akhlak." Setelah melontarkan makian dan hujatan. Bu Sri dan Dela. Akhirnya mulai memasak untuk mereka berdua. Sedangkan Sari pergi meninggalkan mereka dengan piring di tangan. Mending makan di ruang keluarga saja sambil meneonton drama Korea favoritnya. Tak cukup hanya itu, Sari sengaja mengencangkan suara Televisi. Biar perempuan di dapur itu ikut terpancing dan batal masak. Bia perutnya keringan sampai sore.

 

 

 

Next...

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status