Share

Part 3. Menunggu Tak Pasti

Subscribe dan bintang 5 dulu dong sebelum baca..

 

Magrib baru saja usai. Setelah selesai makan malam, dan merapikan meja makan,  Sari berniat untuk bekerja kembali. Pekerjaannya belumlah selesai, masih ada beberapa kerjaan yang terbengkalai. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Sari bekerja sendiri membungkus kecil-kecil snack ringan seharga 1000 per bungkus. Sari menitipkannya di sepanjang warung yang ada di pinggir jalan dekat rumahnya. Bahkan warung yang jauh dari rumahnya pun Sari kejar, tanpa mengenal lelah untuk membiayai hidupnya bersama suami, mertua dan adik iparnya. Sari tak punya pilihan lain, selain melakukan dengan Ikhlas.

 

Ia tidak bisa diam saja menunggu nafkah yang tak kunjung diberi oleh Heru. Sementara kebutuhan perut harus tetap dipenuhi. Tak mungkin bernegosiasi dengan perut, untuk tidak menuntut haknya, karena ketiadaan biaya. Makanya untuk memenuhi itu semua, Sari memutar otak, bagaimana caranya agar ia bisa dapat uang. 

 

Setelah menimbang baik buruknya, akhirnya hanya ini pekerjaan ringan yang bisa ia lakukan. Walaupun hasilnya tak seberapa, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan makan keluarganya. Sari hanya lulusan SMA, bisa saja ia bekerja  di pabrik. Namun, semua kita tau-lah pekerjaan di pabrik itu berat, Sari tak sanggup melakukannya, apa lagi bila kebagian kerja shif malam. Tidur di malam hari itu adalah kebiasaan yang tidak pernah bisa ia ganti dengan siang hari. Mungkin orang lain bisa saja tidur di siang hari dan terjaga di malam hari, seperti kelelewar. Tapi bukan dia orangnya, Sari akan sakit kepala bila tidak tidur di malam hari.

 

8 tahun berumah tangga, Sari belum dikaruniai anak. Ini yang memberatkan langkahnya untuk menuntut cerai, mana ada laki- laki yang mau menikahi janda yang sekian tahun tak jua memiliki keturunan. Inilah penyebabnya,  kenapa ia bertahan, meskipun dimanfaatkan dan dijadikan babu tanpa digaji. Kecuali bila Heru sendiri yang ingin mencampakkannya, maka Sari  tidak akan memaksakan diri untuk tetap bertahan.

 

Heru bekerja di pabrik sepatu, entah apa sebabnya dia di PHK setelah bertanggung jawab penuh kurang lebih 10 tahun di sana. Dengan menyisihkan gaji sedikit demi sedikit, akhirnya di tahun ke 4 pernikahannya, Heru bisa membeli rumah sederhana dari orang yang jual butuh.

 

Heru laki-laki baik dan penuh tanggung jawab sebenarnya, Sari tidak akan menampik dan melupakan semua jerih payah suaminya. Namun, semenjak di PHK 7 bulan lalu, Heru diam saja di rumah tanpa berusaha mendapatkan pekerjaan. Setiap kali ditanya, jawabannya selalu “Tunggu saja, siapa tau ada panggilan kerja.” Sementara kebutuhan perut mana bisa menunggu. Perut tidak akan bisa diajak kompromi. Kalau sudah saatnya minta diisi, ya harus segera diberi jatah.

 

Dalam keadaan rumah tangga yang sedang diterpa badai, papa mertua meninggal dunia, bertepatan dengan pihak bank datang ke rumah menyita semua aset yang dimiliki papa. Papa kena serangan jantung mendadak. Papa tidak bisa menerima semua itu, bagaimana ia bisa memenuhi gaya hidup istri dan putrinya. Selama ini Dela dan Sri hidup serba  berkecukupan. Semua harta ludes disita pihak bank, karena papa terbelit hutang. Nyawanya tidak tertolong, setelah dibawa ke rumah sakit. Sedih memang jika mengingat semua itu. Sari pun merasakan duka mendalam yang dialami oleh suaminya. Setelah jatuh tertimpa tangga, itulah pribahasa yang cocok menggambarkan apa yang menimpa Heru.

 

Melihat kondisi mama yang memprihatinkan itu, dengan berat hati, Sari tak tega menolak keinginan suaminya untuk  mengajak serta ibu dan adiknya untuk tinggal bersama. Sari tahu sekali kondisi kehidupan mertuanya, semua biaya hidup dipenuhi oleh papa mertua. Sekarang tentu akan beda, setelah papa pergi ke pangkuan ilahi.

 

Dengan begitu, ia harus siap dengan kemungkinan yang muncul nantinya. Harus siap dengan segala biaya yang semakin membengkak. Tadinya ia hanya perlu memenuhi untuk dua orang, sekarang mau tak mau bebannya semakin menghimpit. 

 

Di sinilah, beban ujian makin berat dipikul oleh Sari, sementara suaminya belum juga dapat pekerjaan. Ditambah dengan kedatangan mama dan adik iparnya, menambah daftar biaya yang harus ia penuhi. Sedangkan mama mertua dan Dela tak mau tau dengan semua itu. Mereka taunya hanya bisa menuntut ini dan itu. 

 

Sari ingat, ketika ia baru saja mendapatkan uang dari toko tempat ia menitipkan dagangan, mama mertuanya justru meminta uang itu untuk membeli gamis, yang menurut Dari, belum saatnya ia beli. Seharusnya mama mertua paham, bahwa anaknya kini tidak lagi sama seperti dulu. Sementara Heru tidak ingin memberitahu orang tuanya, tentang situasi dan kondisi  yang dialaminya. 

 

Sari segera mengambil beberapa bungkus besar snack untuk dibungkus, karena beberapa warung meminta untuk dianter setelah titipannya habis. Alhamdulillah Allah memudahkan jalannya di sini, dagangannya laris manis. 

 

Alangkah terkejutnya Sari, ketika mengambil satu bungkus besar snack,  ternyata ikatannya terbuka alias tidak rapat. Sari yakin sekali snack itu pasti alot. Tak menyangka kelalaiannya membuatnya rugi. Kenapa ia tidak memperhatikan lebih teliti saat membeli. Tapi seingatnya, ia sudah sangat berhati-hati mengambil. Tak mungkin ia seceroboh itu, pasti ada yang mengambil dan memakannya. 

 

‘Ya Allah kenapa jadi begini, bisa-bisa makanan ini alot.’ Sari memandang bungkus makanan itu dengan perasaan sedih, hancur dan kecewa yang sangat mendalam. Berapa kerugian yang harus dia tanggung, tak sedikit modal yang sudah ia keluarkan untuk sekantong besar makanan ini.

 

Sari berharap makanan itu tidak alot. Untuk mengetahui kualitas makanan itu, Sari mencomot beberapa biji lalu memakannya, ternyata makanan itu sudah alot. Sari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Butiran air keluar dari sela-sela jarinya. Sari terisak sedih, bagaimana ia harus mengembalikan modal pinjaman. Sari tak ubah bagai prajurit yang kalah sebelum berperang. Sari hanya bisa mengurut dada. Mau marah juga tak ada gunanya.

 

Siapa yang telah berani mengambil stok dagangannya, yang mengakibatkan ia merugi. Sari hanya mampu menggeleng pasrah, tak menyangka ujian ini terus menguji kesabarannya.

 

Sari mengangkat makanan tersebut, lalu membawanya ke ruang keluarga. Di mana suami, mertua dan iparnya sedang berkumpul, untuk menonton acara televisi. 

 

“Siapa yang telah berani membuka makanan ini tanpa seizinku.” Dengan lantang Sari berteriak, lalu melemparkan makan itu ke hadapan suami, mertua dan Dela adik iparnya. Dia sangat yakin, bahwa salah satu dari mereka adalah pelakunya. Mungkin mereka tidak sengaja, tapi kecerobohan itu membawa kerugian baginya.

 

Terlihat suami, mama mertua dan Dela saling pandang. Mereka mengangkat bahu tak mengerti maksud dan tujuan Sari melemparkan makanan itu ke hadapan mereka.

 

“Ada apa Sari, kenapa makanan itu dilempar, kamu ini sekarang benar-benar kehilangan akal sehatmu. Tak biasanya kamu bertingkah semakin brutal begini,” seru  Heru mencoba menenangkan Sari.

 

“Brutal gimana Yah, kalian yang tak punya hati dan perasaan. Sudah jelas makanan ini untuk ku jual, lalu kenapa kalian embat. Tak hanya itu makan ini ikatannya tak rapat, akhirnya jadi alot. Emang siapa yang mau beli makanan alot."  Sari berteriak prustasi dengan kenyataan hidupnya. Ia tak habis pikir, kenapa mertua dan adik iparnya selalu saja membuat emosinya memuncak.

 

"Kalian harus tanggung jawab," sentak Sari marah.

 

“Eh ... Sari! Jangan menuduh sembarangan. Bisa jadi kamu membelinya dalam keadaan tak terikat kencang,” sela Sri marah, tersinggung dengan tuduhan Sari.

 

 

Next...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status