Share

Part 2. Dari Bermalas-malasan

Subscribe dulu dong....

 

Pagi ini, Sari bergelung dalam selimut. Hawa dingin pagi hari menambah nikmat untuk tidur dan bermalas-malasan. Rasanya Sari enggan untuk bangun dan menyiapkan sarapan untuk semua anggota keluarga. Lelah bekerja seharian mencari uang, ditambah dengan  mengurus rumah, membuatnya semakin dilanda rasa bosan dan capek sendiri.

 

Pikirannya melalang buana. Sari bingung menghadapi kenyataan hidupnya belakangan ini. Enggan rasanya,  untuk memasak dan beberes. Sementara yang tinggal di rumah ini masih tidur dengan nyenyak. Ga hanya mama mertua dan Dela saja yang masih tidur, bahkan  suaminya, yang seharusnya bertanggung jawab untuk biaya rumah tangga ini pun tidur dengan sangat pulasnya. 

 

Membayangkan suaminya masih lelep dalam tidur, membuatnya semakin di dera rasa malas. Ia mengerucutkan bibir kesal. 

 

Hampir rutinitas suaminya setiap hari, hanya berkisar antara ruang depan menonton televisi, terkadang main handphone ditemani secangkir kopi. Seharusnya dia bekerja untuk membiayai semua kebutuhan keluarganya, tapi nyatanya dia lebih memilih untuk berdiam diri. Alih-alih berusaha, usaha apa?" Setiap kali ditanya, kapan bekerja. Jawabnya selalu sedang berusaha.

 

‘Ini tidak bisa dibiarkan, ia harus selesaikan masalah ini secepat mungkin,’ Sari tidak mau kepalanya pecah memikirkan akhir dari kekisruhan yang terjadi dalam rumah tangganya. Sari segera menyingkirkan selimut yang ada di badan, kemudian membangunkan suaminya.

 

“Yah ... bangun! kita harus bicara.” Sari menggoyang-goyangkan badan Heru, agar suaminya segera bangun. Namun Ia hanya menggeliat sesaat, terus melanjutkan tidurnya. Heru sekalinya tidur, memang selalu pulas. Butuh waktu yang panjang untuk membangunkannya. Ibarat kata orang, tidur kebo. Butuh perjuangan keras untuk membangunkannya.

 

Setelah dibangunkan berkali-kali, namun Heru tak kunjung bangun. Sari mulai naik pitam, dengan langkah memburu sedikit berlari, Sari melangkah ke kamar mandi lalu mengambil gayung, kemudian kembali menuju ranjang dan menyiramkan air segayung penuh ke muka Heru tanpa rasa ampun.

 

Heru gelagapan tak menyangka dapat siraman dari Sari.

 

“Bunda... Apa-apaan sih kamu!  Menyiram ayah seperti ini. Lihat tuh kasur jadi basahkan!” ucap Heru sambil mengibas-ngibaskan air yang ada dirambut dan wajahnya.

 

“Kebo banget sih tidurnya. Sudah dibangunin berkali- kali, tidak bangun juga. Jangan salahkan bunda, kalau bunda siram pake air,” jawab Sari dengan muka dilipat saking esmosinya.

 

“Memang ada apa sih! ini masih pagi! ayah masih mengantuk!” rutuk Heru tak terima dengan perlakuan kurang ajar istrinya. 

 

"Udah siang ini, Yah. Nanti rezekinya keburu dipatok ayam." Imbuh Sari dengan mata melotot. Enak saja suaminya bilang ini masih pagi.

 

“Buruan bangun, kita harus bicara...!” Sari menyingkap selimut yang menutupi badan Heru suaminya. Heru menggeliat kesal.

 

“Harus sekarang! Bun?  ga bisa nanti siang,” tawar Heru harap-harap cemas menolak keinginan Sari.

 

“Tidak bisa, harus sekarang,” titah Sari tegas.

 

Heru segera bangun, lalu memutarkan badannya ke arah Sari. “Mau bicara tentang apa..!” tanyanya menatap Sari kesal.

 

“Begini, bunda lelah harus memenuhi semua keperluan keluarga ini sendiri. Dari biaya hidup sampai urusan kerjaan rumah tangga, juga bunda yang menyelesaikannya. Sekarang kita ganti posisi, karena bunda sudah mencari nafkah,  bagaimana kalau kerjaan rumah tangga dialihkan ke ayah.  Biar sama-sama enak, bila perlu mama dan Dela juga ikut membantu.”

 

"Enak saja mereka bertingkah kayak majikan, sudahlah hidup menumpang, tak tahu diri. Harusnya mereka ikut andil membereskan dan merapiian rumah. Bukan dibebankan padaku sendiri. 

 

“Maksud bunda, ayah mengerjakan semua pekerjaan perempuan. Mulai dari masak, mencuci dan beberes? Bunda ga salah. Itu kan bagian dari tanggung jawab seorang istri.” 

 

“Jangan bicara masalah tanggung jawab, ayah bisa ngaca tidak. Tanggung jawab seorang suami itu, memenuhi segala keperluan rumah tangga, sekarang tanggung jawab itu berpindah ke pundak bunda. Jadi tanggung jawab bunda harusnya dialihkan ke ayah, itu baru adil namanya.”

 

“Ya Allah bunda, ayah tidak bekerja tuh baru tujuh bulan. Jangan lupakan jerih payah ayah selama ini. Jangan kayak kacang lupa sama kulitnya. Siapa yang membiayai segala keperluan kita  selama 8 tahun ini.” Heru tentu saja tidak terima dengan ide gila yang baru saja disampaikan oleh Sari. Ia tak bisa bayangkan turun ke dapur untuk memasak dan mencuci, Heru bergedik ngeri membayangkannya.

 

“Bunda mengerti, waktu ayah kerja, semua urusan rumah tangga beres di tangan bunda tanpa secuil pun bantuan dari ayah. Bunda juga tidak mengeluh, bukan? Cuman sekarang keadaannya berbalik, boleh dong bunda  minta keadilan di sini.”

 

“Tidak bisa, ayah tidak biasa mengerjakan semua pekerjaan itu,  apa kata tetangga melihat ayah mengerjakan semua pekerjaan wanita.” Heru menolak mentah-mentah keinginan gila Sari.

 

“Jadi maunya ayah, semua ini harus bunda pikul sendiri, begitu!" ucap Sari nyaring mempertegas maksud ucapan Heru. “Enak di ayah ga enak di bunda dong. Itu sama saja kayak pisau, “tajam sebelah.” 

 

"Saat ayah kerja banting tulang, bunda pun tak kalah repotnya, sedikit pun bunda tidak mengeluh pada ayah. Sekarang giliran bunda yang kerja cari nafkah, harusnya kerjaan bunda ayah ambil alih. Jangan mau enaknya sendiri.

 

Sari benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya, kalau tidak mau melakukan pekerjaan perempuan, mbok ya berusaha sepenuh tenaga untuk memenuhi tanggung jawabnya. Bukan malah melimpahkan semua di pundaknya. Giliran ganti posisi, ia menolak mentah-mentah. Padahal masak dan mencuci itu tidak harus perempuan yang mengerjakan. 

 

"Sekarang ayah menginginkan semuanya bunda pikul sendiri. Benar begitu.....!

Heru mengangguk cepat, memandang Sari yang wajahnya mulai memerah karena marah. Heru segera melangkah keluar kamar, ia tidak mau berdebat lagi dengan Sari.

 

Sesampainya di luar, Heru melihat Dela dan mamanya baru keluar kamar menuju dapur. Terlihat mamanya menyingkap tudung saji, tanpa ada makanan tersaji di sana.

 

Bu Sri...mama mertua Sari menghempaskan tudung saji ke lantai. 

 

“Gubrak” 

 

Sari yang tengah berada di kamar, kaget! dengan jatuhnya benda ke lantai. Ia pun melangkah keluar. Setelah melihat apa yang terjadi di dapur, Sari hanya tersenyum masam, tanpa memperdulikannya, Sari balik badan menuju kamar.

 

Terdengar di kuping Sari sumpah serapah dari mertuanya. Sari hanya mencebikkan bibir sembari menaikkan mata.

 

“Menantu  kurang ajar, sudah jam segini  belum ada makanan yang terhidang di meja. Ga tau dia,  perut mertuanya ini sudah keroncongan. Benar-benar menantu tidak berbakti dan tidak ada akhlak. Menyesal aku merestui mereka dulu.” Sri terus saja meracau sambil menendang tudung saji yang tergeletak di lantai.

 

'Hhhhmmm emang enak digituin,' bisik Sari dalam hati sambil tersenyum penuh kemenangan. ‘Jangan dikira saya akan diam saja, bila diperlakukan semena-mena.’

 

“Heru...mama lapar, beli makanan sana.” Perintah Sri yang datang tak terduga,  membuat Heru kelimpungan. Heru memandang gusar ke arah mamanya, mau beli pake apa, selama ini uang dipegang oleh Sari. 

 

“Maaf Ma, Heru tidak pegang uang saat ini. Pake uang mama dulu ya.” Dengan raut malu, Heru memohon pertolongan mamanya.

 

“Uangmu habis..? Terus tabungan masih ada...kan?”

 

Heru menggeleng lemah, “Maaf Ma, uangku sudah ludes tak bersisa, 7 bulan jadi pengangguran, membuat tabunganku pun ikut terkuras. Selama ini Sari yang biayai semua kebutuhan keluarga.

 

"Apa? Jadi tabunganmu sudah ludes, terus biaya hidupmu bagaimana?"

 

"Sari yang menanggung semuanya Ma."

 

"Bagus itu, suami istri itu harus saling bahu membahu, istri juga harus turun tangan membantu bila diperlukan. Jangan hanya bisa meminta dan menadahkan tangan pada suami. Gantian sekarang, biar tugas sari yang memenuhinya. Selama ini kami sudah cukup bertanggung jawab."

 

Aku melongo mendengar perkataan mama mertua, bukannya meminta Heru untuk mencari kerja. Justru membenarkan sikap anaknya. Orang tua aneh menurutku.

 

“Ya sudah, mama ambil dulu uang di kamar.” Mama mertau pun melangkah ke kamar, tak lama berselang ia kembali dengan dompet di tangannya.

 

"Ini uangnya, kamu belikan mama dan adekmu sarapan. Ingat hanya mama dan adekmu, istrimu itu biar ia usahakan sendiri. Jangan coba-coba pakai uang mama, kamu akan tahu akibatnya." Heru hanya menarik nafas kalut. Masak ia tega istrinya tidak sarapan, sementara ia tidak memiliki uang.

Ia menerima uang 15 ribu rupiah dari mama. 

 

"Selama ini siapa yang memberinya makan, giliran dia tidak  memasak saja, mama mertua enggan melebihkan untuknya. Sungguh keterluan sikap mama mertuanya. Semakin kuat semangatnya untuk melawan dan memalas perlakuan mereka dengan strategi, ibarat kata orang main cantik.

 

Heru segera pergi ke luar membeli sarapan nasi uduk dekat pengkolan tak jauh dari rumahnya. Tak lama kemudian ia telah kembali ke rumah. 

 

Heru segera menyerahkan kantong belanja ke tangan mamanya. Bu Sri meraih dan membawanya ke meja makan. 

 

"Lhoh! Kok ada tiga, kamu belikan buat menantu kurang ajar itu," tanya Bu Sri geram.

 

"Tidak Ma, itu buatku." Sahut hari kecut.

 

"Oh baguslah, mama kira kamu beli buat dia, tak rela mama."

 

Aku hanya tersenyum meringis dari kamar, ia pikir aku kelaparan, jika tidak dibelikan makan. Segera saja aku memesan makanan via gofood, lihat nanti pasti kalian akan keluar air liur, melihatku menikmati makan yang begitu enak.

 

Benar saja, setengah jam kemudian, paket gofood datang. Kebetulan aku berdiri tepat di depan pintu. Jika tidak, mungkin dua perempuan itu akan menyambarnya dan menikmati berdua saja.

 

Aku membawa makanan itu masuk, dari aromanya sudah tercium aroma yang begitu menarik selera. Kulihat Dela dan mama menelan ludah karenanya. Aku tersenyum membayangkan tingkah mereka yang melihatku menyantap makanan itu sendiri.

 

Hahaha...

 

 

Next..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status