Share

Tajamnya Lidah Istri
Tajamnya Lidah Istri
Penulis: Firda Wati

Part 1. Emang Aku Babu

Terima kasih teman-teman, talah berkenan mampir diceritaku, semoga suka dengan ceritanya. Jangan lupa kasih vote dan bintang ya. 

 

Selamat membaca...

 

"Bikinin Ayah kopi, Bunda.” Pinta Heru pada Sari istrinya yang tiba-tiba lewat di depannya. Sari menghentikan langkah, lalu menatap tajam wajah suaminya. Kekesalan hatinya makin memuncak tajam, menahan amarah, dadanya bergemuruh hebat.  Sementara lelaki itu  hanya diam sambil memainkan gawainya. Menoleh pun tidak, apalagi berniat menolong.

 

“Emangnya gue Babu, bikin aja sendiri.” Jawab Sari terus melangkah ke teras, membawa ember penuh cucian. Dasar suami kagak ada akhlak, sudah tau gue kerepotan begini, bukannya dibantuin, malah disuruh bikin kopi. Rutuk Sari dalam hati. Emang ya lelaki tak punya hati nurani. Bisanya hanya menyuruh ini dan itu. Mentang-mentang status dan derjatnya lebih tinggi dibanding seorang istri. 

 

“Babu...? Maksudnya gimana bunda. Ngomong yang jelas," sentak Heru menatap punggung Sari yang mulai menjauh, Sari terus saja merepet ga jelas. Sementara pertanyaan Heru tak kunjung dijawab oleh Sari.

 

Setelah selesai menjemur, Sari meletakkan ember tak jauh dari tempat Heru berada. Kemudian menghampiri Heru dan menjelaskan kekesalan hatinya.

 

“Ayah bayangin aja, gimana bunda ga merasa jadi babu, semua pekerjaan rumah bunda kerjakan sendiri. Ayah mana pernah mau membantu. Bunda lelah yah, kalo begini terus, mending ayah kasih bunda uang belanja, ini mah kagak. Bunda harus membiayai hidup bunda dan keluarga ini sendirian. Mana? Tanggung jawab ayah sebagai suami dan kepala keluarga. Bunda capek sendiri, biaya rumah tangga bunda yang siapin, masak, mencuci, beberes juga bunda. Lah! terus ayah ngapain aja. Kerja tidak, ongkang kaki doang di rumah. Mana tanggung jawab ayah," Sari menjelaskan panjang kali lebar, berharap suaminya mau berbenah diri. Mau berusaha lebih baik dan giat lagi untuk mencari nafkah demi kelangsungan keluarga ini.

 

Heru hanya bisa mengurut dada, mendengarkan penjelasan dan keluh kesah Sari. Belakangan ini Sari selalu menyakiti hatinya. Semenjak ia di PHK tujuh bulan lalu, Sari mulai menunjukkan sikap aslinya. Bak kata pepatah, “Ada uang abang sayang, tidak ada uang abang di tendang.” Persis seperti itulah tingkah Sari sekarang. Dulu sebelum ia kena PHK, Sari benar-benar jadi istri yang penuh tanggung jawab, semua kerjaan beres ditangannya. 

 

“Maafin Ayah, Bunda. Ayah lagi usaha, semoga aja ada hasilnya, dan ayah bisa memberikan yang terbaik buat bunda dan keluarga kita. bunda harus sabar, ini adalah bentuk ujian dari Allah."

 

"Sabar-sabar, mau sampai kapan bunda harus bersabar Yah. Biaya hidup jalan terus, kita butuh makan dan biaya keperluan lainnya. Tidak bisa hanya menunggu rezeki dari langit tanpa usaha. Emang rezeki itu datang sendiri tanpa dicari."

 

"Yang penting-kan ayah sudah berusaha, kita serahkan semuanya pada Allah."

 

“Usaha apa, Yah. Perasaan sudah hampir tujuh bulan ayah menganggur.” Kilah Sari, lalu ia berdiri, kemudian melangkah ke kamar mandi, meletakkan ember bekas cucian. Ia malas berdebat dengan suaminya, ujung-ujungnya hanya kekesalan hati yang mendominasi. 

 

"Mau kemana Bun? Bikinkan ayah kopi dulu," titah Heru segera. 

 

"Tidur," jawab Sari asal. Jangan harap Sari akan membuatkan kopi seperti permintaan Heru suaminya, hatinya terlanjur sakit.

 

Sesampainya di dapur, Sari meletakkan ember bekas cucian ke  dekat pintu kamar mandi. Rasa lapar mulai menderanya. Segera saja Sari mengayunkan langkah kakinya ke ruang makan.

 

'Makan dulu deh, laper, bisik Sari dalam hati.'

 

Sari segera membuka tudung saji, ia terperangah tak melihat lauk yang dimasaknya tadi pagi. Ke mana perginya sepiring gulai tunjang yang ia masak sebelum mencuci tadi. Sari melihat piring kotor tergeletak manis di westafel. Siapa yang tega menghabiskannya. Sari tak habis pikir karenanya. Sari menghembuskan napas memburu, lelah masak dan mencuci,  harusnya terbayar dengan sepiring gulai tunjang yang belum ia icip sedikit pun, sekarang hanya tinggal bekasnya saja. 'Benar-benar tega orang di rumah ini,' bisik Sari dalam hati. Sari menumpahkan kekesalan hatinya dengan menutup kencang tudung saji, sehingga suara berdebam menghiasi pagi ini.

 

Heru yang berada di ruang tamu, terkejut dibuatnya. Ia segera menyusul Sari ke dapur.

 

"Ada apa bunda, kenapa dibanting begitu. Nanti rusak kita juga yang rugi." Imbuh Heru menyesalkan sikap Sari.

 

"Lihat itu, bunda lapar. Setelah bekerja, beberes dan mencuci. Tapi apa yang bunda dapatkan, lauk yang bunda masak tinggal bekasnya saja. Siapa yang tidak kesal dibuatnya."

 

Heru tampak terdiam dan mematung, setelah mendengar penjelasan Sari. Ia pun tak dapat berbuat apa-apa. Ini pasti ulah mama dan adik iparnya. Heru hanya bisa mengurut dada. Sedangkan Sari masih saja dengan raut emosi.

 

Di rumah ini, Sari memang tidak tinggal sendiri. Ada mama mertua dan Dela adik iparnya  tinggal bersamanya,  mertua dan adik iparnya itu terkenal malas sangat ketulungan. Padahal sudah berkali-kali disindir dan diberitahu, tetap saja mereka tak mau peduli.

 

Kali ini air mata tak mampu Sari bendung. Bulir-bulir air mata terjun bebas di wajahnya. Sari tak perduli lagi dengan rasa lapar yang menderanya. Ia berlari menuju kamar dan menghempaskan badan lelahnya di ranjang. Sari mencoba untuk tidur, agar laparnya hilang. Tapi semua itu sia-sia. Mana ada orang bisa tidur dalam keadaan lapar. Sari menerawang menatap langit-langit kamarnya. Berbagai bayangan berkelebat dalam pikirannya. Bagaimana mertua dan adik iparnya memperlakukannya. Pun hari ini, mereka sudah keterlaluan. Siapa yang capek, siapa yang merasakan kenikmatan.

 

Ini tidak boleh terjadi lagi, kalian lihat saja, bahwa aku pun bisa kejam jika sudah saatnya. Sari merasa, dirinya tidak diperhitungkan di rumah ini, hanya dianggap sebagai babu untuk menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Benar-benar ujian kesabaran yang dihadapinya. 

 

Semutpun akan menggigit bila terus saja diinjak. Kalian tunggu pembalasanku. Kini aku tak lagi sama, bisa kalian perbudak seenak perut.

 

Karena rasa lapar semakin terasa, Sari melangkah ke dapur. Membuka kulkas, apa yang bisa dimasak cepat. terlihat olehnya sebungkus mie instan, terbit senyum di bibirnya. Sari segera mengeksekusi dan mengolah mie instan dengan selera yang diinginkannya.

 

“Wah... Wah ... Mbak Sari mau masak mie ya, lebihin buat aku ya Mbak.” Pinta Dela yang muncul tiba-tiba. Lalu ia menghempaskan bokongnya di kursi, menunggu mie itu matang.

 

“Masak aja sendiri, bisa kan?” jawab Sari kasar.

 

Dela memberengut kesal, padahal sudah terbayang enaknya mencicipi mie hangat, di tengah cuaca dingin begini. Dela mengadu pada ibunya.

 

“Ma, mbak Sari tuh bikin kesal, aku lihat, dia sedang masak mie, aku cuman minta lebihin malah suruh masak sendiri."

 

“Apa...! Menantu kurang ajar, ga tau sopan santun. Biar Mama yang suruh.” 

 

Sri mamanya Heru dan Dela segera melangkah ke dapur. Lalu berteriak sekeras mungkin, “Sari...!  Masakin sekalian buat Dela, cepat tanpa ada bantahan.” Perintahnya segera, kemudian duduk di meja makan.

 

Sari diam saja tanpa menjawab pertanyaan mertuanya. Emosi jiwa dalam dadanya sudah sampai puncaknya, sebentar lagi akan meletus. Dia terus saja mengaduk mie dan mencampurkan bumbu.

 

Setelah selesai masak mie instan, Sari membawanya ke meja makan dan melahapnya dengan santai. Sementara ibu mertua melongo, kayak sapi ompong. 

 

“Eh.. Sari! mana jatah mie buat Dela, kenapa tak kau lebihkan. Paling tidak kau bagi dualah mie itu." Cerocos mama mertua dengan mulut maju sampai air liur muncrat kemana-mana.

 

“Masak aja sendiri,” jawab Sari ketus. Lalu melanjutkan makannya sambil tutup kuping sebelah.

 

“Ada apa ini,” tiba-tiba Heru datang mendekati Sari dan ibunya.

 

“Tau tuh istrimu, Dela hanya minta lebihin masak mie, malah suruh masak sendiri. Kebangetan sih istrimu.”

 

Heru melihat wajah Sari yang memberengut.

 

“Benar, apa yang dikatakan mama, Sari.” Tanya Heru memandang Sari yang terus saja asyik melahap mie yang tinggal separo.

 

“Gimana bunda ga marah, yah, dari pagi bunda masak, beberes terus cuci baju. Karena lapar bunda mau makan,  tapi gulai tunjang yang bunda masak tadi pagi habis tanpa sisa, siapa yang tidak gondok dibuatnya. Sisain kek barang sedikit, tapi ini justru dihabiskan. Ngapain nanya lagi, seharusnya ayah nasehati mereka berdua.

 

“Makanya kalo masak itu jangan sepiring,” sembur mama mertua sengit tak terima dengan perlakuan Sari kepada putri bungsu yang sangat disayanginya. 

 

“Gimana mau masak banyak, stok di kulkas hanya tinggal yang itu.” Jawab Sari tak mau kalah.

 

“Makanya Yah, kasih bunda uang tuk belanja. Biar, bunda bisa masak banyak.” Dengan membuang rasa malunya, Sari berkata jujur dengan kondisi keuangan di depan mertuanya, tujuannya agar mertuanya itu mengerti dengan kondisi keuangan yang dihadapi anaknya. Jangan terus, semena-mena terhadap dirinya. Jangan selalu saja meminta ini dan itu, tanpa mau tahu kondisi keuangan anaknya.

 

Heru memandang iba pada istrinya, tak tega meminta Sari untuk membuatnya. Sari sudah lelah bekerja seharian, tak sepantasnya mama dan adiknya memperlakukan Sari seperti pembantu.

 

“Sudah Ma, Suruh Dela masak sendiri. Jangan selalu bergantung pada Sari. Kasihan dia sudah lelah bekerja dari pagi. Jangan biarkan Dela bersikap seenak perutnya, ajar dia untuk bisa mengurus keperluannya sendiri. Jangan biarkan dia bersikap manja tanpa bekerja." 

 

 

Next...

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status