Share

Bab 7 - Dekapan Sebagai Pereda

Aku tidak mengerti mengapa Muffin berubah gelisah malam ini. Aku mengira mungkin ia kurang nyaman harus tidur di kamar yang berbeda. Mungkin juga insting bayinya memberi isyarat bahwa sang pemilik kamar tidak benar-benar menerima kehadirannya. Berkali-kali ia terbangun saat kuletakkan dalam ranjang bayinya, dan kembali terlelap saat kubaringkan di sampingku. Memang salahku tidak membiasakannya tidur terpisah sejak lahir. Salah ayahnya juga mengapa tidak menyediakan tempat tidur untuk bayinya sedari awal kelahiran.

Sudah hampir pukul sebelas malam saat Dipta masuk dengan wajah yang terlihat lelah. Pasti ia kesal mendengar rengekan Muffin yang berulang-ulang. Aku sempat merasa bersalah, tetapi cepat menyadari bahwa Dipta pun seharusnya ikut mengatasi kerewelan Muffin.

“Ia tidak mau dipindahkan ke tempat tidurnya sendiri,” keluhku putus asa saat Dipta menatap aneh pada mahkluk kecil yang menguasai tengah ranjangnya. “Mungkin ia masih asing di kamar yang baru.”

Dipta berdiri terpaku dengan mata tak lepas memandang Muffin. “Nanti juga terbiasa,” ujarnya.

“Apa kami pindah kembali saja ke kamarku?” Aku meminta persetujuan Dipta. “Aku khawatir Kak Dipta terganggu.”

“Kalian di sini aja,” ujar Dipta sembari mengambil selimut yang terlipat di ujung tempat tidur. “Biar aku di tempat lain.”

Aku sudah terlalu letih untuk mendebatnya. Segera kubaringkan tubuh saat Dipta sudah menghilang di balik pintu. Entah mulai kapan aku terlelap hingga akhirnya dipaksa terjaga oleh tangis Muffin menjelang subuh. Bayi kecil itu haus. Aku segera beranjak keluar untuk menyeduh susu. Meski Dipta sudah menyiapkan meja perlengkapan di dalam kamar, aku memilih untuk meletakkan semuanya di luar. Aku terlalu sungkan jika aroma kopi dari pengharum ruangan otomatis di kamar Dipta akan berganti bau susu panas milik Muffin.

Salah jika tadinya aku mengira bahwa Dipta akan bertukar kamar denganku. Ternyata lelaki itu memilih tidur di atas sofa di depan televisi. Tubuhnya yang tinggi terlipat tidak beraturan. Sebelah kakinya menjuntai dan sebelah lagi tertekuk. Selimut yang dipakainya tadi malam sudah terletak di lantai.

Selama tiga bulan tinggal bersama, tak pernah sekali pun aku berkesempatan menatap wajah Dipta seleluasa ini. Kuabaikan sejenak keterdesakan untuk menyiapkan susu Muffin.Kuputuskan untuk berdiri di sisi sofa dan memandanginya.

Terakhir kali aku menontonnya tertidur, itu saat Dipta menghabiskan hari terakhirnya di Jakarta sebelum berangkat ke Jogja untuk melanjutkan kuliah. Waktu itu Dipta meminta izin untuk menginap di rumahku, di kamar Lian. Semalaman kami berempat bermain kartu sampai larut dan puas tertawa dengan wajah serba putih penuh coretan dari bedak yang dicampur air. Menjelang tidur, Dipta meminjam salah satu buku novel petualangan milikku. Alasannya ia terbiasa membaca sesuatu untuk memancing kantuk. Kusuruh ia memilih sendiri dari belasan novel di rak buku. Namun, lima belas menit setelah Dipta berlalu, aku tersentak saat teringat dulu pernah menyimpan sebuah coretan tentang perasaanku terhadapnya dalam helai novel itu.

Hampir kakiku terpeleset saat berlari tergesa menaiki tangga untuk mencapai kamar Lian. Untung saja Lian tidak pernah mengunci pintunya. Adik bungsuku itu sudah lebih dulu tertidur. Di samping Lian, Dipta juga sudah terlelap masih dengan buku novel dalam genggamannya. Susah payah kutarik agar tak sampai membuatnya terjaga. Aku terpaku ketika Dipta menggeliat. Dengan mata yang terpejam, wajahnya yang masih separuh bercoret garis putih menghadapku sepenuhnya.

Seperti saat ini, rasanya tak percaya bahwa aku sedang memandangi sosok yang bertahun-tahun kurindukan. Biarlah dulu seperti ini. Setidaknya raganya milikku meskipun hatinya belum bisa kupastikan milik siapa.

***

Sudah lewat dua minggu sejak Muffin terbiasa tidur di ranjangnya sendiri, baru malam ini bayi kecil itu bertingkah gelisah. Aku terpaksa menggendongnya terus menerus. Tidak ada yang salah dengan Muffin, badannya pun tidak panas. Entah apa yang membuatnya berulang kali merengek.

Jangan tanyakan bagaimana reaksi Dipta. Lelaki itu tidur tanpa terganggu, baik itu atas keberadaanku di sampingnya, atau pun tangis Muffin yang terjaga karena haus. Dipta selalu bangun menjelang subuh dan kembali ke kamar hanya saat tiba waktunya akan mandi setelah sarapan. Tidak banyak beda sebenarnya kepindahanku ke kamar Dipta, karena tetap saja aku mengurus Muffin sendirian.

Aku sedikit lega karena setelah selesai subuh, Muffin kembali tenang dan terlelap. Mataku sangat mengantuk, sehingga kuputuskan untuk tidur sebentar dengan alarm terpasang. Tiga puluh menit kuperkirakan cukup sebelum aku harus kembali bangun untuk menyiapkan sarapan Dipta.

Sayangnya tidak. Tidurku terlampau nyenyak, sampai baru tersentak saat Muffin menangis pada pukul delapan pagi. Sekali lagi kulirik tampilan penunjuk waktu di ponsel, dan mataku memang tidak salah. Sekarang sudah mencapai pukul delapan lewat tujuh menit. Kuharap Dipta tidak marah karena bahkan kopi untuknya pun belum sempat kuseduh.

Kuraih Muffin cepat untuk keluar mencari Dipta. Benar saja, lelaki itu sudah lebih dulu berangkat kerja. Aku harus memikirkan beragam cara untuk mengambil hatinya kembali saat ia pulang nanti atau … mungkin tidak. Karena saat aku terduduk lunglai di meja makan, kudapati segelas susu coklat yang masih hangat beserta sepiring mie goreng terhidang dengan sederhana. Senyumku terbit perlahan. Bersama Muffin yang menyusu dari botolnya, kusuap satu per satu isi piring hingga tuntas seluruhnya.

Hei, Muffin, ayahmu mulai memperhatikanku. Selanjutnya kita akan membuatnya memperhatikanmu. Aku butuh kerjasamamu untuk membuat suasana rumah lebih hangat agar mampu melelehkan hatinya.

***

Kuakui seharian ini memang ada yang semakin hangat, tapi bukan suasana melainkan suhu tubuhku dan suhu tubuh Muffin. Rencanaku untuk membuat sedikit cemilan demi membalas sepiring sarapan yang disiapkan Dipta, pupus karena Muffin kembali rewel. Kukirimkan pesan pada Dipta bahwa Muffin sakit dan aku juga tidak enak badan. Kuminta agar lelaki itu bersedia membeli lauk untuk makan malam karena aku tidak sempat memasak apa pun. Seperti biasa, pesanku hanya dibaca tanpa dibalas.

Aku memutuskan untuk menunda memberikan Muffin obat demam saat alat pengukur suhu tubuh menunjukkan angka 38 derajat. Dokter anak pernah menyampaikan, cukup memakai plester pereda panas dan memberinya minum yang cukup. Tenggorokanku juga terasa sedikit perih, sayangnya tidak tersisa satu tablet demam pun di tempat Dipta menyimpan obat-obatan. Kuikuti Muffin tidur siang setelah seharian berdiri menggendongnya tanpa jeda.

Lelapku terganggu saat Muffin menangis. Bukan itu saja sebenarnya. Sebuah sentuhan di dahi dan leherku membuatku sontak membuka mata. Dipta duduk di tepi ranjang, sudah berganti pakaian. Entah sejak kapan lelaki itu tiba di rumah.

“Kamu demam,” gumamnya pelan. “Sudah minum obat?”

Aku menggeleng dan memaksa untuk duduk. Kepalaku berdenyut, embusan napasku juga terasa panas.

“Sudah makan?” tanyanya lagi. Aku mengangguk kali ini.

Kuraih alat pengukur suhu tubuh untuk memeriksa perkembangan Muffin. Sudah hampir delapan jam dan panasnya belum juga turun. Tidak ada pilihan lain selain memberinya dosis paracematol.

“Mau ke mana?” cegah Dipta saat aku menggeser kaki untuk turun dari ranjang.

“Ambil obat Muffin,” jawabku.

“Di mana obatnya?” Ia sudah lebih dulu berdiri menggantikanku.

“Di rak kayu, dekat kaleng susu,” jawabku lagi. “Kak, biar aku saja—“

Dipta sudah berlalu sebelum kalimatku selesai. Tak lama ia kembali membawa obat Muffin, segelas air putih hangat, dan obat untukku. Ponselnya menempel di telinga, entah sedang menelepon siapa. Sambil terus memberi respon pada lawan bicara, Dipta menyobek kemasan obat dan memberi isyarat padaku untuk meminumnya.

Ini pertama kalinya aku memberi obat untuk Muffin, untunglah bayi kecil itu tidak menolak. Aku juga bersyukur selera menyusunya pun tidak berkurang. Kuharap esok demamnya sudah mereda.

“Lepaskan bajunya.” Dipta menunjuk Muffin setelah selesai dengan ponselnya.

Aku terdiam sesaat. Pandanganku sedikit terbelalak karena lelaki di depanku pun melepas begitu saja kaus tanpa kerah yang ia kenakan. Dipta lalu mengambil alih melepaskan kancing depan baju Muffin saat aku tak juga bertindak. Dengan cekatan Dipta meraih Muffin dari dekapanku, menggendongnya tanpa ragu seolah hal itu sudah berkali-kali ia lakukan.

“Bunda bilang ini cara terbaik untuk menurunkan suhu tubuhnya,” jelas Dipta tanpa kutanya.

Ah, ternyata Bunda yang ia hubungi. Benar, aku ingat itu. Dulu pun aku sering melihat Ayah mendekap Lian kecil bertelanjang dada setiap si bungsu itu panas tinggi.

Pemandangan di hadapanku seketika memancing haru. Kualihkan tatapan agar tidak terus berantuk pada sosok Dipta yang mondar-mandir dengan canggung menggendong Muffin. Sebaiknya aku beranjak ke dapur dan menyeduh secangkir kopi untuk lelaki yang hari ini menjelma baik hati.

“Obat kamu sudah diminum?” Dipta bertanya saat melihatku hendak bangkit.

Aku tidak terbiasa menelan obat hanya dengan air putih. Sejak dulu selalu begitu. Harus ada sesuatu untuk dikunyah agar bisa bersamaan meluncur ke tenggorokan. Sewaktu kecil, aku pernah mencoba menelannya hanya dengan air. Yang terjadi selanjutnya adalah obat tersebut tersangkut di langit-langit dan menimbulkan rasa pahit.

Sebutir pisang di meja makan mungkin bisa membantu. Kuraih gelas air hangat dan tablet obat untuk kuminum di dapur. Namun, aku kembali duduk saat mendengar teguran Dipta.

“Minum sekarang.” Lelaki itu menatapku penuh perintah. “Jika satu jam ke depan panas badanmu pun tidak turun, aku terpaksa melepas bajumu dan memperlakukanmu seperti ini.”

Entah dari mana keberanianku muncul, cepat-cepat kulemparkan tablet kecil itu ke dalam mulut dan menenggak air sampai habis. Tak lagi kuhiraukan trauma akan rasa pahit dan tenggorokanku yang seperti tercekat. Semua terabaikan saat kudapati Dipta tersenyum selama memperhatikanku.

Tersenyum, meskipun tipis sekali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status