Share

Bab 6 - Menjemput Sebuah Maaf

Aku terjaga dengan rasa pusing yang teramat sangat. Samar bisa kulihat jam dinding menunjukkan pukul 04.30 pagi. Kuraba perlahan ke arah samping, dan cepat beralih pada posisi duduk saat tak kutemukan Muffin di sebelahku. Rasa panik mendera seketika, tetapi langsung sirna saat tersadar bahwa aku tidak sedang berada di rumah Dipta.

 

Aku ingat, malam tadi sebelum tidur Bunda mengambil Muffin dari dekapanku. Beliau mempersilahkanku menangis semalaman tanpa harus memikirkan Muffin. Kata Bunda, biasanya setelah air mata tumpah ruah, hati kita akan terasa lebih cerah.

Seminggu lalu, setelah satu jam berkeliling tanpa tujuan dalam taksi online yang kupesan, akhirnya kuputuskan untuk kembali saja ke rumah Ayah. Ide untuk melaju ke bandara dan terbang ke Palembang terpaksa kusingkirkan. Muffin masih terlampau kecil, aku pun tidak yakin bisa mengurusnya sendirian dalam kondisi labil.

Aku tidak sedekat Livia pada Bunda, tetapi beliau segera tahu apa yang terjadi saat aku datang dengan menenteng sebuah tas besar. Aku jelas melihat Bunda memberi isyarat pada Ayah agar tidak menanyaiku apa pun. Ibu sambungku itu mengalihkan situasi dengan menyambut Muffin semeriah mungkin, seolah-oleh memang kedatangan kami telah ditunggu-tunggu sejak lama. Padahal baru sepuluh hari lalu aku dan Muffin berkunjung ke rumah ini saat Dipta berangkat tugas ke Jogja.

Seminggu berlalu dan Dipta tidak sama sekali mencariku. Tidak satu pesan pun ia kirimkan untukku. Aku tahu yang kulakukan ini salah. Namun, tidak ada salahnya pula lelaki itu diberi pelajaran. Setidaknya ia tahu bahwa aku tidak bahagia selama menikah dengannya. Bisa jadi Livia juga tidak bahagia sehingga mempengaruhi kondisi kehamilannya.

Bunda masuk ke kamarku setelah kutuntaskan salat dan dzikir subuh, menggendong Muffin dalam dekapan beliau. Bayi kecil itu sedang merengek, terus menolak botol susu yang diberikan Bunda.

“Mungkin ia mencarimu,” ucap Bunda seraya menyerahkan Muffin padaku.

 

“Ia rewel semalaman?” tanyaku sungkan. Kasihan Bunda jika tidurnya sampai terganggu.

“Sedikit.” Bunda tersenyum sendu. “Tapi ia langsung tenang saat digendong Ayah.”

Malam tadi, setelah enam hari aku pura-pura bersikap tidak terjadi apa-apa atas pernikahanku dengan Dipta, Bunda menemuiku menjelang tidur. Tidak pernah sebelumnya kami berbicara sedekat itu. Bunda membesarkan hatiku untuk tetap menjalani hubungan tanpa cinta.

Dulu, saat baru menikah dengan Ayah, Bunda juga mengakui belum terbit perasaan suka di hati keduanya. Kondisi itu jelas tidak sama denganku. Aku sepenuh hati mencintai Dipta, sampai rela merendahkan egoku selama tiga bulan terakhir demi tetap bisa hidup bersamanya.

Tangis yang kutahan berhari-hari, akhirnya pecah malam itu. Untuk pertama kalinya sejak Bunda memasuki kehidupan kami, kubiarkan perempuan itu memelukku, seperti dulu Ibu selalu mendekapku untuk menghibur saat aku dan Livia berselisih. 

“Dipta menelepon Bunda semalam,” ujar beliau sambil mengusap rambut Muffin yang sedang lahap menyusu dari botolnya. “Dia menanyakanmu.”

“Bunda bilang apa?” tanyaku sedikit penasaran.

“Bunda bilang kamu ada di sini.”

Setelah hampir satu minggu dan ia baru menanyakan keberadaanku sekarang? Ke mana perginya Mahesa Dipta yang dulu selalu gigih  mencari setiap aku bolos latihan basket di lapangan komplek?

“Ia juga bilang akan datang menjemputmu pagi ini.” Bunda meraih kembali Muffin dari dekapanku.

“Mandi dan berbedaklah sedikit. Wajahmu kelihatan muram sekali.”

Aku melompat menuju cermin begitu Bunda keluar. Beliau benar, kelopak mataku hampir tidak terlihat tertutupi sembap. Area mataku membengkak seperti baru saja digigit serangga beracun. Bagaimana mungkin aku berhadapan dengan Dipta dengan wajah berantakan begini. Bahkan dalam penampilan paling sempurna pun aku masih kurang percaya diri saat berada di depannya.

 

Akh, ke mana perginya rasa marahku kemarin, mengapa aku justru lebih mempermasalahkan perihal penampilan. Aku akan menemuinya dengan wajah apa adanya. Biar saja Dipta melihat hasil ulahnya.

***

Bunda benar. Setelah selesai mandi dan berpakaian, kudapati Dipta sudah duduk di meja makan bersama Ayah sambil menyantap sarapannya. Lelaki itu mengobrol santai seperti tidak sedang punya masalah denganku. Ia dan Ayah membahas seru hasil pertandingan bola Liga Eropa yang berlangsung tadi malam.

Aku mengambil nasi gorengku langsung dari wajan, lalu duduk menyuap di bangku kecil di dapur. Bunda memberi isyarat agar aku ikut bergabung dengan Dipta dan Ayah di meja makan, tetapi cepat kugelengkan kepala. Aku tidak ingin berbincang dengannya sebelum ia yang lebih dulu menegurku dan minta maaf.

Dipta membawaku pulang tak lama setelahnya. Ia bilang pada Ayah ada seorang temannya yang berjanji akan berkunjung, sehingga tidak bisa tinggal lebih lama. Kalimat pertama yang Dipta ucapkan untukku hanya pada saat ia mengingatkanku untuk memakai sabuk pengaman di dalam mobil. Ia membantuku sejenak saat aku sedikit kesulitan untuk menarik tali dan mengancingnya. Sisanya aku hanya diam sepanjang perjalanan dalam jarak tempuh tak sampai lima kilometer itu. Dipta juga diam tak berusaha mengobrol apa pun denganku.

 

Sekilas aku melihat meja kerja Dipta telah berpindah ke samping penyekat ruangan saat telah tiba di rumah. Padahal, kemarin aku berniat meletakkan satu buah pot tanaman di lokasi yang sama untuk memberi kesan ramai. Hanya saja pot itu telalu berat untuk diangkat seorang diri, dan aku terlampau sungkan untuk meminta bantuan Dipta.

Rasa sedih menderaku saat melihat tak ada sehelai pun lagi pakaian Livia tersimpan di dalam lemari. Dipta benar-benar telah menyingkirkannya. Aku memutuskan untuk tidak lagi mempermasalahkan itu. Pertengkaran seminggu lalu benar-benar menyiksa batinku. Segera kuraih tas besar yang kubawa kemarin dan mulai menyusun ulang pakaianku dan pakaian Muffin ke dalam lemari yang menjadi sangat lapang ini.

 

Suara dehaman di depan pintu membuatku menoleh. Dipta sudah berdiri bersandar dengan tangan bersedekap. Raut wajahnya sedikit terlihat serba salah. Beberapa saat kami hanya berpandangan sampai akhirnya dia berbicara.

“Jangan pernah memakai pakaian Livia lagi,” ucapnya. “Itu akan membuatmu terlihat seperti dia.”

Jadi, benar tebakanku. Dalam hati Dipta masih bersarang kenangan indah mereka. Aku mengangguk menyanggupi sambil terus menyusun. Andai kemarin Dipta menjelaskan dengan baik, pasti pertengkaran itu tak perlu terjadi.

“Dan jangan lagi susun baju-bajumu di lemari itu,” lanjut Dipta datar. “Mulai hari ini kamu pindah ke kamarku.”

Aku tertegun dengan pandangan tak percaya. Dipta mengabaikan keterkejutanku dan segera berlalu. Aku masih duduk bersimpuh di lantai sambil berusaha meyakini bahwa yang kudengar memang benar. Baru kuberanikan diri untuk beranjak keluar saat suara mobil Dipta terdengar menjauh dari halaman.

Kini aku tahu mengapa meja kerjanya Dipta letakkan di samping kayu penyekat ruangan. Sebuah tempat tidur bayi telah menggantikan meja itu. Berikut rak kecil yang Dipta sediakan untukku meletakkan perkakas Muffin.

 

Meski tidak terucap, semua ini telah melebihi sebuah permintaan maaf dari seorang Mahesa Dipta. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status