Share

Bab 5 - Seperti Ingin Menyerah

Dipta sama sekali tidak keluar kamar setelah kemarin sore ia membanting pintu dengan kerasnya. Padahal aku sudah menunggunya di meja makan. Terpaksa kusimpan kembali dalam lemari pendingin sepanci sup ayam yang susah payah kusiapkan seharian tadi. Kerupuk emping yang sudah terlanjur digoreng, kuhabiskan semuanya sambil memandangi televisi. Kapan lagi bisa kukuasai benda itu tanpa harus berbagi tayangan dengan pemiliknya yang hanya gemar memutar siaran berita. 

Pagi ini aku berdiri di depan pintu kamar Dipta dengan jemari kanan yang siap mengetuk. Sinar matahari sudah hampir mencapai jendela dapur dan ia belum juga bangun. Biasanya lelaki itu sudah duduk untuk sarapan bahkan sebelum pukul tujuh.

Wajah Dipta muncul setelah kuputuskan untuk membangunkannya dengan resiko apa pun. Hanya ada dua kemungkinan yang akan kuhadapi. Jika aku tidak membangunkannya, kemungkinan besar ia akan marah karena pasti terlambat untuk berangkat kerja. Jika aku membangunkannya, kemungkinan besar ia juga akan marah karena aku mengganggu tidurnya. Seperti saat ini, jantungku sudah berdebar kencang saat melihat wajah kusutnya memandangku datar. Meskipun bukan hanya karena takut, kuyakin percepatan detak jantungku juga disebabkan oleh penampilan Dipta yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku cepat-cepat menunduk saat menyadari lelaki itu hanya bertelanjang dada. Sialnya mataku malah berantuk dengan kaki panjang Dipta yang hanya dibalut celana piyama yang tergantung di bawah pusar.

“Hari ini Minggu, Lira,” ucapnya dengan suara yang pasti masih mengantuk. “Aku tidur larut tadi malam.”

“Maaf, Kak,” ujarku cepat. “Aku lupa ini hari Minggu.” 

Setelah lama tidak beraktivitas di luar rumah, kuakui aku sering lupa hari jika tidak melihat kalender. Mungkin aku harus memasang alarm khusus hari libur di ponselku agar tidak salah lagi seperti ini. 

Aku berdiri memandangi Dipta yang masuk kembali ke kamarnya. Tak lama kemudian lelaki itu keluar setelah memakai kaus putih tipis tanpa kerah. Aroma tubuhnya menguar samar-samar saat ia begitu saja melewatiku. Aku mengutuk diri sendiri mengapa selalu saja terpaku setiap merasa canggung di hadapannya.

Dipta lalu duduk di meja makan dan membuka tudung saji. Pagi ini aku berhasil memasak nasi uduk beroma pandan beserta krecek tempe dari resep yang kudapat dari situs masak di internet. Sebenarnya aku ingin membanggakan pencapaianku ini pada Dipta. Namun, saat melihat ekspresinya terlampau biasa pada suapan pertama, kuputuskan untuk menyelesaikan cucian piring sebelum Muffin terbangun. 

Pikiranku ikut mengalir mengikuti derasnya air keran. Sudah tiga bulan berlalu dan hubunganku dengan Dipta tidak mengalami perkembangan yang baik. Padahal dulu, kami terbiasa mengobrol dan bertukar pikiran. Dipta memang lebih sering memilihku sebagai teman diskusi. Meskipun ia akan memilih Livia saat hendak memamerkan permainan gitarnya, atau menceritakan film baru yang ia tonton lebih dulu. Mungkin aku yang terlalu menutup diri. Karena sejak Dipta resmi menjadi suami Livia, kuputuskan untuk menjaga jarak dan tidak lagi bertukar pesan dengannya seperti sebelumnya.

“Kopiku, Lira.” 

Ucapan Dipta membuat lamunanku buyar. Kumatikan keran dan mulai menyeduh kopinya. Kini aku sudah hapal mati  takarannya. Satu sendok kopi dan setengah sendok gula dalam satu cangkir. Di awal dulu, Dipta pernah sampai tiga kali memintaku menyeduh ulang. Meskipun permintaan itu datang dari lelaki yang amat kucintai, tetapi terkadang kala rasa kesal bisa mengalahkan gelora cinta. Terutama untuk cinta yang cuma bergetar searah seperti milikku.

“Sudah selesai kamu kemas semua barang-barang Livia?” Dipta bertanya sembari menyesap kopi yang baru saja kuhidang. Pandangannya bahkan tidak mengarah padaku. “Akan aku bawa sekalian keluar.”

Aku pikir Dipta sudah melupakan perihal kemarin. Semalaman aku mencoba berpikir positif bahwa amarah Dipta kemunginan besar hanya terpicu oleh rasa kehilangan yang tak mampu dibendung. Namun, ini sudah lewat tiga bulan. Semestinya seorang lelaki tidak terus berlarut dalam kesedihan. Lagi pula apa gunanya aku di sini. Bukankah ia menikahiku untuk menggantikan Livia.

“Kenapa harus dibawa?” Kuberanikan bertanya. “Apa akan disumbangkan?”

Dipta bangkit sambil membawa cangkir kopi di tangannya.  “Kemarin, kan, aku sudah bilang. Barang-barang itu akan aku bakar.”

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba aku merasa ada sebuah amarah yang menggelegak di ubun-ubun kepala. Kuabaikan tumpukan piring yang belum sempat terbilas, dan kuikuti langkah Dipta dengan cepat. Tanpa ragu aku berdiri di depan televisi yang baru saja ia nyalakan. Tak kuhiraukan saat Dipta menengadah dan memandangku tajam. 

“Lebih baik kamu duduk di sini dari pada berdiri menghalangi pandanganku seperti itu, Lira.” Dipta menggeser duduknya sambil menepuk sofa di sampingnya, seperti ingin menyediakan tempat untukku. 

“Kenapa harus dibakar?” cecarku tanpa memedulikan tawaran Dipta barusan.

“Itu urusanku.” Dipta tertawa sinis. Tangannya mengarahkan remote televisi ke depan untuk mematikan siaran. “Kamu tidak perlu tahu.”

“Aku perlu tahu.” Kuusahakan sekuat tenaga agar suaraku tidak gentar. “Kita tinggal dalam satu rumah. Aku ingin semua hal bisa dibicarakan.”

“Livia istriku. Urusannya akan menjadi urusanku.” Dipta seperti sengaja menekankan kata terakhir.

“Aku istri Kak Dipta sekarang,” ucapku tak mau kalah. “Livia kembaranku. Urusannya juga urusanku.”

Dipta tertawa keras kali ini. Ia mengubah posisi duduknya menjadi berbaring, sehingga kakinya menjuntai melewati lengan sofa. Ia sengaja mengabaikanku. Aku tidak boleh menyerah begitu saja seperti sebelumnya. Jika Dipta bisa terdengar mengintimidasi, aku akan membuat pembicaraan ini lebih mengancam untuknya.

“Aku tidak akan mengemasi barang-barang Livia. Semua akan aku simpan untuk Muffin,” tegasku. “Saat Muffin sudah cukup mengerti, aku akan menjelaskan perihal Livia. Aku ingin Muffin tahu bahwa Livialah ibu kandungnya. Aku ingin Muffin—“

“Stop calling him Muffin.” Dipta sengaja memotong ucapanku. “He’s not a cake.”

Suara Dipta terdengar cukup mengejek di telingaku. Darahku semakin mendidih. Serbet kotak-kotak yang sejak tadi kugenggam erat, kulemparkan begitu saja ke arah sofa. 

“Then you better give him a name!” hardikku sebelum berlalu dari hadapannya.

Sengaja kubanting pintu kamar sekuat mungkin. Muffin sontak menangis. Kuraih tubuh mungilnya dan mulai menggendonnya sebelah tangan. Sebelah tangan lagi kupakai untuk meraih tas besar di atas lemari. Aku tidak mengemas pakaian Livia, tetapi pakaianku sendiri, juga baju-baju Muffin. Air mataku sudah mengalir sejak tadi. Kami berlomba menangis, dan Muffin yang berhenti lebih dulu untuk lanjut tertidur. Kuletakkan bayi itu kembali dan mulai fokus memikirkan apa saja yang harus kubawa pergi. 

Suami macam apa kamu, Mahesa Dipta. Dulu sebelum mengajakku menikah, katamu kita berdua akan bergantian mengurus Muffin. Kini, bahkan untuk berada dalam satu kamar pun kamu tidak bersedia.

Aku memang mencintaimu, tapi cinta saja tidak cukup untuk membuat hatiku bertahan lebih lama lagi. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
benet Lira kmu kn istri nya sekarang juga adik nya Livia dn tante nya muffin .lebih baik kmu tinggalin Dipta d rmh nya sendirian percuma kmu d nikah g pernah d aggap istri .cuma d aggap baby sitter muffin ..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status