Share

6. Perlawanan

"Iiiih kamu nyebelin deh Ra. Besok aku balik ke kota aja lah!" Cebiknya.

Ibuku hanya tersenyum saja melihat kami berdua.

"Nanti aja ya Ren ngobrolnya, ibu mau berangkat dulu, udah kesiangan ini," ibuku berucap dan langsung menepuk pundak ku sebagai kode untuk segera berangkat.

"Kenapa Reni tadi?" Tanya ibu.

"Kepo Bu dia, mau tahu kenapa Nara sama Deva putus," jawabku. Dan ibu pun hanya meng OH ria.

Setelah sampai di pasar, aku membantu ibu untuk menata barang dagangan. Hingar bingar hiruk pikuk para manusia berlalu lalang didepan kami. Karena lapak sayur ibu berada di ujung jalan masuk pasar, tak ayal pembeli ibu kadang memang terlalu banyak yang mengantri. Mereka lebih mencari yang dekat dan strategis tidak harus jauh-jauh masuk ke dalam pasar.

Saat hari mulai terang, kulihat Reni datang.

"Hei cantiiik," sapanya.

"Eh ngapain kamu sampai pasar? Nanti alergi loh," jawabku bercanda.

"Ini, disuruh ibu buat beli ikan, tapi nggak jago nawar. Temeni bentar ya Ra?" Pintanya.

"Boleh kan budhe, hanya sebentar aja," rengeknya pada ibuku. Dan ibu langsung saja mengiyakannya tanpa bertanya dulu padaku. Memang dasar kutu kupret ini anak. Karena Reni terus merengek, akhirnya aku menemaninya juga berjalan ke los ikan.

Tidak mau membuang banyak waktu, Aku langsung mengajak nya ke penjual ikan langganan ibu. Karena setiap harinya aku selalu kesini, banyak dari mereka yang sudah mengenaliku. Biasanya aku akan mendatangi Bu Iroh langganan ibuku, tapi Reni mengajakku untuk berbelok ke lapak sebelah karena penjualnya adalah seorang lelaki yang cukup tampan.

"Berapa sekilo mas?" Tanyaku pada mas Jaman.

"Dua puluh lima aja Ra, nih mas tambahin anaknya. Tapi tinggalin nomer wa ya," ucap mas jaman berkelakar.

"Aduh mas, minta nomer wa kok modalnya anakan ikan. Yang agak keren dong, misal emaknya ikan se'empangnya gitu!" Tukas Reni yang kemudian mengundang gelak tawa dari penjual-penjual lain yang ada di sekitarnya. Alhasil mas Jaman pun hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

"Mau kemana lagi nih nona?" Tanyaku pada Reni.

"Eeehm, sayurnya belakangan aja deh ya, kan belinya di Budhe Wati juga" jawabnya.

"Sekarang temenin makan bakso yuk Ra, aku deh yang bayarin," Tanpa menunggu jawaban dariku, Reni langsung saja menarik tanganku ini dengan eratnya. Hingga akhirnya kami berdua sampai di penjual bakso yang sangat enak di sekitar pasar ini. Penjual bakso langganan ku dan Deva...... Ah sudahlah lupakan!

"Kang, bakso komplit yang baksonya segede bola voli dua ya bang!" Reni memesan baksonya. Lagi dan lagi, ocehannya itu bisa membuatku tertawa, mana ada yang segede bola voli, terus kebayang nggak mulutnya selebar apa. Aku hanya bisa menepuk jidat karena kekonyolannya itu.

"Nara"

"Hem"

Dia memulai obrolan saat kami sedang enak-enaknya makan bakso.

"Ra, apa kamu nggak pengen pertahankan hubungan kamu sama Deva to?" Tanya Reni a u a u dengan mulut masih penuh bakso yang masih panas.

"Udahlah Ren, nggak usah bahas Deva ataupun keluarganya lagi, cuma bikin sakit hati tok," jawabku.

"Perjuangin dong Ra, apa nggak sayang tiga tahun hubungan kalian kandas begitu aja?" Tukasnya hingga membuat kuah baksonya nyiprat.

"Ting" aku mulai meletakkan sendok.

"Huuuffh.... Apanya yang mau aku perjuangin Ren? Aku nggak mau maksain kehendak. Sekarang aku hanya memikirkan bagaimana aku dan ibu bisa bertahan untuk hidup. Deva... sudah aku anggap dia bukanlah jodoh untukku. Mungkin benar kata Bu Ratna kalau kami bukanlah makhluk yang diciptakan selevel dengannya," ujarku menjelaskan.

"Eh, opo kamu bilang? Lha nggak selevel gimana? Jangan mencoba untuk hilang ingatan Ra, siapa dia dulu nyaaaaa..."

"Klunting" sekarang gantian sendok ditangan Reni yang terjatuh. Dengan mulut ber bakso yang masih menganga lebar.

"Heh, kenapa kamu Ren? Itu bakso ditelan dulu lah". Seruku sambil menepuk pundaknya.

"I-itu bukannya Bu Ratna ya Rum" Reni menunjuk ke arah seorang wanita glamor dengan emas renteng-renteng di tangannya. Entah darimana wanita itu berasal, tapi yang aku tahu sekarang dia sedang menuju kemari.

Semua penjual di pasar yang mengenal perempuan yang sekarang sering dipanggil dengan sebutan Bu lurah itu sudah sangat hafal dengan gaya dan penampilannya. Bu Ratna yang selalu memakai kalung, gelang, cincin layaknya toko emas berjalan itu, seringkali kena tegur kalau penampilannya itu norak. Tapi apakah dia peduli? Ah tentu saja tidak.

Entah karena memang tatapan kami yang tak sengaja bertemu, ataukah Bu Ratna merasa kalau kami berdua sedang memperhatikannya, membuat ia datang mendekat ke arah meja yang kami tempati.

"Ra... Kinara.... Si toko emas berjalan kesini Ra" bisik Reni lirih sambil menyikut lenganku. Meskipun tanpa Reni memberitahu, akupun sudah tahu bahwa memang Bu Ratna sedang menuju kemari.

Bu Ratna langsung berdiri dihadapanku sekarang. Dengan tatapan mata angkuhnya dia menatapku dan Reni bergantian. Seolah ia sedang melihat kuman atau bakteri yang sedang makan bakso.

"Oh, baguslah. Kebetulan kita ketemu disini Kinara. Kamu ngomong apa sama Deva kemarin? Sampai-sampai dia berani melawan orangtuanya sendiri?" Tanyanya.

Meskipun suara Bu Ratna saat ini tidak terlalu keras, tetapi masih saja bisa di dengar oleh pengunjung lain yang ada di kedai bakso ini.

"Mohon maaf ibu, apa maksud ibu? Saya tidak mengerti bu?" Tanyaku balik kepada Bu Ratna. Karena memang sesungguhnya aku benar-benar tidak tahu apa yang sudah kukatakan pada mantan tunanganku itu. Aku pun merasa tidak mengatakan apa-apa selain putus.

"Halah!! Nggak usah berlagak bodoh kamu Nara!" Bodoh beneran baru tau rasa. Nggak usah pura-pura nggak tahu deh. Saya tahu kalau kamu sebenarnya nggak ikhlas kan kalau ditinggal sama Deva?" Sekarang nada Bu Ratna mulai meninggi.

"Kamu sengaja kan Ra menghasut Deva agar dia menolak perjodohan dengan wanita pilihan kami? Sadar diri kamu Kinara! Punya apa kamu untuk tetap bersaing ingin menjadi menantu saya?" Ucap Bu Ratna yang semakin menjadi-jadi.

"Ayok Ra, balas Ra, jangan diam aja Ra," batin Reni dan juga batin Mak author nya kompak. Sudah gemas sekali pengen gigit tuh mulut Bu Ratna.

"Nggak usah keras-keras Bu, nggak takut ibu kalau suaranya habis di pasar?" Jawabku yang entah mendapatkan keberanian darimana. Apa mungkin karena mendapat bisikan dari setannya mak author, ah entahlah. Tapi memang aku tidak suka jika diinjak-injak seperti ini.

"Saya benar-benar tidak merasa mempengaruhi Deva, saya juga tidak berbicara macam-macam sama Deva bu,"

"Saya akui saya memang tidak punya apa-apa Ibu Lurah yang terhormat. Karena semua orang tahu kalau yang seharusnya yang menjadi apa-apa untuk saya sudah ibu kuasai. Hampir separo lebih harta dari mendiang bapak saya dipinjam oleh ibu dan suami ibu untuk kampanye pencalonan lurah. Hingga akhirnya kini pak Rudi sudah sukses menjadi lurah. Dan sampai detik ini pun, kalian tidak pernah mengembalikannya barang sepeserpun kepada kami. Apa Bu lurah sudah lupa? Atau pura-pura lupa jika hutang itu harus dibayar? Atau ibu mau jika bapak akan menagihnya di akhirat nanti Bu?!"

Dalam seketika saja wajah Bu Ratna langsung berubah menjadi merah padam saat aku mengungkit perihal hutangnya kepada mendiang bapakku, pak Budi. Sedangkan mata Reni berbinar-binar dengan senyum yang berusaha ditahannya. Dia pasti tidak mengira bahwa aku, seorang Kinara berani adu bicara sama Bu Ratna, seorang Bu Lurah.

"Plak!!! Lancang kamu!!!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status