BRAK!Terdengar suara keranjang yang berjatuhan dan berserakan di kejauhan."Heh, ngaca dong, Bu! Masa orang macam kamu mau berbesanan sama saya? Mimpi kamu ya?""Anak kamu nggak ada disini, ya? Sekalian aja tolong nanti anaknya dikasih tahu ya, Bu. Jangan lagi deketin anak saya, Deva. Anak saya sudah punya jodoh sendiri. Dan yang pasti bukan anak dari tukang sayur macam Ibu, nggak pantes! Ngaca dong!"Suara keributan di depan mataku ini kusaksikan dengan jarak hanya beberapa meter saja dari hadapanku. Aku hanya bisa berdiri dan terdiam saat melihat di depan sana Bu Ratna sedang marah-marah kepada ibuku. Sedangkan ibuku, hanya bisa menundukkan kepala sembari memunguti beberapa sayuran yang berceceran di bawah kakinya. Dengan perlahan, ibu menaruh kembali sayuran-sayuran itu ke dalam keranjangnya.Dadaku bergemuruh kencang ketika mendengar itu semua. Aku yang baru saja menyusul ibuku ke pasar untuk mengantarkan makan siang, sungguh sangat terkejut saat melihat Bu Ratna datang ke lapak i
"Sabar Kinara sabar ... sabar ..." Ucapku di dalam hati."Tadinya sih, niatnya saya cuma begitu. Eh dianya malah nolak," Bu Ratna berkata dengan menunjuk ke arah ibu."Eh dasar dianya aja yang terlalu berharap, sampai mempertanyakan apa alasan saya membatalkannya. Tentu saja karena saya tidak ingin punya besan seorang penjual sayur," Ucapnya dengan pongahnya."Dan kamu, Kinara. Mulai sekarang saya minta kamu jangan ganggu-ganggu anak saya lagi. Jangan pernah deketin dia lagi, jangan pernah pula kamu mencoba menghubungi Deva. Anak saya akan saya carikan jodoh yang lain. Yang pastinya selevel sama saya. Paham?" Tanya Bu Ratna di akhir kalimatnya."Jadi, hanya karena itu Bu?"Raut wajah Bu Ratna terlihat kaget, dia melipat keningnya tajam menatapku. Sorot matanya tajam, setajam mata elang yang sedang mencari mangsa. Mungkin, jawabanku barusan tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya."Kalau cuma itu yang Bu Ratna mau, nggak apa-apa, Bu, silahkan ibu mencari jodoh untuk Deva yang selevel
"Huh! Dasar anak kurang ajar!" Gerutu Bu Ratna yang pergi meninggalkan kami sembari melangkah dengan menghentakkan kakinya.Setelah perdebatan panjang yang kami lalui tadi, akhirnya Bu Ratna memilih untuk pergi meninggalkan kami. Hal itu bisa membuktikan bahwa ternyata ia tidak gila. Aku hanya terkekeh sambil menggelengkan kepala melihat kelakuannya itu.Para pembeli dan juga pedagang yang dari tadi melihat aksi ca ci cu ca ci cu pun mulai membubarkan diri tanpa harus diberi komando.Andai saja tadi ibu tidak menahanku, mungkin pertikaian itu akan terus berlanjut lebih parah daripada hanya sekedar beradu mulut. Aku benar-benar merasa sakit melihat Bu Ratna merendahkan dan menghinaku dan juga ibuku seperti itu. Seolah kami begitu tidak ada artinya, sehina itukah? Tanyaku pada diri sendiri.Apa yang dikatakannya tadi? Tidak selevel? Apakah aku harus mengingatkannya tentang bagaimana ia dahulu selalu datang kerumah setiap harinya? Dengan wajah memelas untuk meminta bantuan kepada almarhum
Setelah Bu Ratna pergi, aku dan ibu menata kembali barang dagangan yang tadi sempat kocar-kacir, kami memutuskan untuk menutup lapak lebih awal dan bergegas pulang.Huh ...Ku sandarkan kepalaku di sofa, ku hela nafas panjang untuk sekedar melemaskan otot yang tegang."MBREEEM BREM"Baru saja ku letakkan pan**t di atas sofa, terdengar suara sepeda motor yang sudah sangat ku kenali berhenti di halaman depan, ku toleh sekilas lewat pintu yang masih terbuka. Ya, aku tahu betul siapa yang baru saja datang."Assalamualaikum ... tok tok tok," terdengar suara ketukan di pintu."Wa'alaikumsalam," jawabku singkat tanpa menoleh ke arahnya. Aku malah mengambil remote televisi dan menyalakannya. Sedangkan ibu masih berada di belakang, meletakkan barang dagangan.Deva bergegas masuk meski belum ku persilahkan. Dia memang begitu, menganggap rumahku seperti rumahnya sendiri, dan ibuku seperti ibunya sendiri. Dia langsung duduk di sampingku dan membalikkan badanku untuk menatapnya. Hal tersebut tentu
"Eh, itu dia Deva sudah datang. Panjang umur kamu, Nak, baru juga diomongin udah langsung nongol," Ayah Deva menyambutnya dari kursi ruang tamu saat Deva mulai masuk melangkah memasuki rumah. Akan tetapi Deva hanya menanggapinya dengan senyum yang hambar."Sini, Nak. Duduk dulu disini," Bu Ratna melambaikan tangan kepada Deva dan lantas menyuruhnya untuk mendekat."Ini ada Pakdhe Samsudin loh, sama Budhe Atun. Ayo Salim dulu," Titah Bu Ratna dengan senyum yang lebar. Demi menghormati ibunya, Rafa kemudian mencium tangan pasangan suami istri itu secara bergantian."Klek"Rafa sedikit melirik ke samping tempat duduk Budhe Atun. Disana duduklah seorang wanita cantik berkulit putih yang tersenyum malu-malu saat menatap Rafa."Hayo, inget nggak kamu nak sama Vanya? Iya, ini Vanya anaknya Pakdhe Samsudin dan budhe Atun. Kamu pasti masih ingat kan kalau dulu kalian itu sering bermain bersama?" tanya Bu Ratna.Apa-apaan ini. Untuk sekarang ini Deva benar-benar sedang merasa sesak di dalam dada
"Iiiih kamu nyebelin deh Ra. Besok aku balik ke kota aja lah!" Cebiknya.Ibuku hanya tersenyum saja melihat kami berdua."Nanti aja ya Ren ngobrolnya, ibu mau berangkat dulu, udah kesiangan ini," ibuku berucap dan langsung menepuk pundak ku sebagai kode untuk segera berangkat."Kenapa Reni tadi?" Tanya ibu."Kepo Bu dia, mau tahu kenapa Nara sama Deva putus," jawabku. Dan ibu pun hanya meng OH ria.Setelah sampai di pasar, aku membantu ibu untuk menata barang dagangan. Hingar bingar hiruk pikuk para manusia berlalu lalang didepan kami. Karena lapak sayur ibu berada di ujung jalan masuk pasar, tak ayal pembeli ibu kadang memang terlalu banyak yang mengantri. Mereka lebih mencari yang dekat dan strategis tidak harus jauh-jauh masuk ke dalam pasar.Saat hari mulai terang, kulihat Reni datang."Hei cantiiik," sapanya."Eh ngapain kamu sampai pasar? Nanti alergi loh," jawabku bercanda."Ini, disuruh ibu buat beli ikan, tapi nggak jago nawar. Temeni bentar ya Ra?" Pintanya."Boleh kan budhe
"Plak! Lancang sekali mulutmu!"Sebuah tamparan keras dari tangan Bu Ratna mendarat tepat di pipi kananku. Dan dengan refleks kupegangi pipiku yang terasa memanas ini. Sensasi 'nging' terasa masuk sampai ke dalam telinga."Memangnya kamu pikir siapa kamu? Berani-beraninya seorang anak ingusan seperti kamu membicarakan tentang hutang piutang sama saya! Memangnya kapan saya punya hutang sama bapakmu?" Tanya Bu Ratna dengan gigi yang saling bergemelatuk."Coba kamu tunjukkan, apa kamu punya bukti jika saya pernah meminjam uang ke Bapakmu? Kalau ngomong jangan asal kamu ya, Kinara! Bisa saya tuntut nanti, mau kamu?!" Serunya sambil menunjuk-nunjuk wajahku."Begitukah Bu?" Tanyaku sedikit lirih dengan kepala yang sedikit kucondongkan ke depan."Apa jika saya punya buktinya dan juga bisa untuk membuktikannya, bisa membuat Anda untuk membayar dan mengembalikan hutang-hutang Anda kepada kami, Bu lurah?" Tantangku sambil menahan rasa panas yang masih terasa di pipi dan menjalar hingga ke dalam
"Plak! Lancang sekali mulutmu itu!"Sebuah tamparan keras dari tangan Bu Ratna mendarat tepat di pipi kananku. Dan dengan refleks kupegangi pipiku yang terasa memanas ini. Sensasi 'nging' terasa masuk sampai ke dalam telinga."Memangnya kamu pikir siapa kamu? Berani-beraninya seorang anak ingusan seperti kamu membicarakan tentang hutang piutang sama saya! Memangnya kapan saya punya hutang sama bapakmu?" Tanya Bu Ratna dengan gigi yang saling bergemelatuk."Coba kamu tunjukkan, apa kamu punya bukti jika saya pernah meminjam uang ke bapakmu? Kalau ngomong jangan asal kamu ya, Kinara!Bisa saya tuntut nanti, mau kamu?!" Serunya sambil menunjuk-nunjuk wajahku."Begitukah Bu?" Tanyaku sedikit lirih dengan kepala yang sedikit kucondongkan ke depan."Apa jika saya punya buktinya dan bisa untuk membuktikan apa yang ibu tanyakan saat ini, bisa membuat Anda untuk membayar dan mengembalikan hutang-hutang Anda kepada kami, Bu Lurah?" Tantangku sambil menahan rasa panas yang masih terasa di pipi da